webnovel

Tidak Dapat Restu

Tin tin tin

Debi mengalihkan pandangannya saat mendengar suara klakson. Debi melihat ada sebuah mobil yang berhenti di sampingnya. Saat itu Debi melihat seorang laki-laki yang membuka kaca mobilnya. Laki-laki itu tersenyum kepada Debi.

"Mau bareng sama saya?" tawarnya.

Debi merasa asing dengan laki-laki itu. Ini pertama kalinya Debi melihatnya. Mendapatkan tawaran seperti tadi. Debi malah menjadi takut. Siapa tahu laki-laki itu orang yang tidak baik yang ingin berbuat jahat kepadanya.

"Kenapa kamu diam? Ayo masuk. Biar saya antarkan kamu pulang."

"Tidak perlu, saya bisa pulang sendiri."

"Malam-malam begini, gadis kecil seperti kamu tidak baik pulang sendiri. Kamu tidak usah khawatir, saya bukan orang jahat kok."

"Tidak. Terima kasih."

Debi melangkahkan kakinya kembali. Debi tidak ingin meladeni laki-laki yang tidak ia kenal itu.

Debi mempercepat langkahnya, namun mobil itu malah mengikutinya. Debi semakin takut. Debi yakin jika pemilik mobil itu ingin berniat tidak baik kepadanya.

"Bagaimana ini? Tidak ada yang bisa aku mintai pertolongan."

Mobil itu terus mengikuti Debi, dan itu terlihat jelas dari cahaya lampu yang meneranginya dari belakang. Padahal Debi sudah berjalan jauh, tapi mobil itu masih terus mengikutinya. Debi semakin mempercepat langkahnya, hingga akhirnya Debi sampai juga di depan kos-kosannya. Debi membuka pintu kos-kosannya, dan langsung berjalan masuk ke dalam kos-kosannya.

"Huh, selamat," ucapnya yang bernafas lega.

Setelah Debi mengunci rapat kos-kosannya. Debi berjalan mendekati jendela kaca yang tertutup tirainya. Debi membuka tirai jendelanya sebagian, dan melihat mobil tadi juga berhenti di depan kos-kosannya.

"Sebenarnya siapa laki-laki itu? Kenapa dia mengikutiku sampai ke kos-kosanku? Jika dia ingin berbuat jahat kepadaku, seharusnya dia sudah melakukan kejahatannya tadi saat masih di jalan?"

Debi tidak beranjak dari sana. Debi masih melihat mobil itu yang tak kunjung juga pergi. Entahlah apa yang dilakukannya di sana.

"Ah, sudahlah. Lebih baik aku istirahat saja. Aku capek, dan besok aku harus berangkat kuliah."

Rasa lelah yang sudah tidak tertahankan, membuat Debi menutup tirai jendelanya. Debi melangkahkan kakinya menuju kamarnya.

Laki-laki yang mengikuti Debi tersenyum. Dia memang sengaja tidak kunjung beranjak dari sana dan menunggu Debi berhenti memperhatikannya dari balik jendela.

"Jadi di sini dia tinggal."

Setelah memastikan Debi pulang sampai selamat. Laki-laki itu menghidupkan mesin mobilnya, dan melajukannya pergi meninggalkan tempat itu.

Brukkkk

Debi menghempaskan tubuhnya di atas ranjang tidurnya. Huh, rasanya sangat nyaman. Rasa lelah yang Debi rasakan perlahan menghilang dari badannya.

"Ya Tuhan, badanku rasanya capek sekali."

Rasa lelah Debi langsung hilang saat dia teringat dengan bonus yang didapatkannya tadi. Debi bangun dari tidurnya, dan mengambil tas miliknya.

Debi mencari amplop putih dan mengambilnya. Debi yang merasa tidak sabar langsung membuka amplop itu.

"Wah, banyak sekali bonusnya."

Debi tersenyum senang saat melihat lima lembar seratusan ada di tangannya.

"Besok pagi aku langsung cicil bayar kos deh. Sekarang tidur dulu, biar besok semangat kuliahnya."

Debi menyimpan uangnya dan setelahnya Debi membaringkan badannya. Tidak perlu menunggu lama. Debi langsung memejamkan matanya.

Deg

Mata Debi terbuka saat ia dikejutkan dengan suara alarm ponselnya. Debi meraih ponselnya dan mematikannya. Debi melihat jam yang terlihat di layar ponsel sudah menunjukkan pukul 06.00.

"Ya Tuhan, cepat sekali paginya. Perasaan tadi aku baru saja tidur."

Debi merasa malas untuk beranjak dari tidurnya, namun Debi harus bangun karena pagi ini ia ada janji dengan dosen pembimbingnya.

"Jika bukan karena skripsi. Aku tidak akan mungkin mau bangun jam segini. Huh, tinggal dua bab lagi Debi. Kamu harus semangat."

Setelah menyemangati dirinya. Debi langsung beranjak dari tidurnya. Debi menyambar handuk miliknya dan berjalan keluar dari dalam kamarnya.

Tap tap tap

Marko berjalan menuruni anak tangga. Wajahnya yang fresh siap untuk bertemu dengan dosen pembimbingnya. Yah, sebagai mahasiswa semester akhir. Marko harus bergelut dengan skripsi yang hampir membuatnya frustasi.

"Selamat pagi Marko," sapa Bu Enggar, mamanya Marko.

"Pagi Ma."

Marko ikut bergabung di ruang makan bersama keluarganya.

"Lo, ada Om Rafa? Sejak kapan Om Rafa di sini?" kata Marko yang baru menyadari keberadaan omnya.

"Sejak tadi."

"Tumben Om ke sini?"

"Tahu tuh, tiba-tiba Om kamu mau ikut kamu kuliah. Mungkin dia mau mengulang masa mudanya," sahut Bu Enggar.

"Mau ngapain Om Rafa mau ikut aku kuliah?"

"Om cuma mau mengantarkan kamu, Marko."

"Om Rafa tidak perlu mengantarkan aku kuliah, aku bisa berangkat sendiri kok."

"Kamu ini Marko. Tidak bisakah kamu menyenangkan hati Om kamu?"

"Mau ngapain Om Rafa mengantarkan aku kuliah? Mau lihat teman-temanku? Udah gak pantes Om. Om Rafa itu pantasnya sama seumuran Om Rafa."

"Betul itu, sana buruan nikah. Kamu itu sekarang sudah tua."

"Tua apaan sih Kak, aku itu baru 38."

"38 kok baru. Itu sih sudah tua Om."

"Anak kecil jangan ikut campur."

Mendapatkan tatapan tak bersahabat dari omnya. Marko memilih diam dengan menahan tawanya.

"Yang dikatakan Marko itu benar Rafa. Kamu itu sudah tua, sebentar lagi mau kepala empat. Kapan kamu akan mengakhiri masa lajang kamu? Jika Papa dan Mama tahu kamu belum menikah sampai sekarang. Pasti mereka sangat sedih di sana."

"Belum ada wanita yang bisa membuat aku jatuh cinta Kak."

"Memangnya kamu menginginkan wanita yang bagaimana agar kamu bisa jatuh cinta? Nanti kakak bantu."

"Tidak perlu Kak, aku bisa mencarinya sendiri. Dan sekarang aku sedang berusaha untuk mendapatkan hatinya."

"Maksud kamu, kamu sudah cocok dengan seorang wanita?"

"Iya Kak, bisa dikatakan seperti itu."

"Siapa dia? Dia dari kalangan mana?" tanya Bu Enggar bersemangat.

"Tidak dari kalangan mana-mana Kak."

"Apa? Maksud kamu, wanita yang kamu sukai itu tidak berstatus seperti keluarga kita?" kata Bu Enggar yang langsung beranjak dari duduknya. Bu Enggar terlihat terkejut dan wajah tidak sukanya mulai kelihatan.

"Kenapa aku harus mencari wanita yang berstatus jika wanita biasa saja bisa terlihat seperti wanita terhormat."

"Kakak tidak setuju kalau kamu mencintai wanita miskin yang tidak berstatus seperti keluarga kita."

"Kakak mau setuju atau tidak. Ini hidupku."

"Rafa, jangan membantah ucapan kakak. Kakak tidak mau wanita yang kamu pilih secara asal-asalan sampai membuat keluarga kita malu."

"Aku tidak perduli. Aku mencintai dia, dan aku menginginkannya. Kakak mau setuju atau tidak. Aku tidak butuh persetujuan kakak."

"Rafa, kakak tidak suka kamu membantah ucapan kakak."

"Terserah."

Rafa beranjak dari duduknya. Rafa memilih melangkahkan kakinya keluar dari dalam ruang makan, dan mengabaikan kakaknya yang marah kepadanya.

"Rafa, kembali. Kakak belum selesai bicara."

Meski saat itu Rafa mendengar panggilan dari kakaknya. Rafa memilih mengabaikannya, dan terus melangkahkan kakinya.