webnovel

Ikut ke Kampus

"Seperti itu lah Om kamu. Keras kepala kalau dibilangin. Mama tidak mau kamu juga seperti Om kamu."

"Iya Ma."

Marko diam dan kembali sibuk dengan sarapannya. Marko memilih diam karena nasib yang dialami omnya, itu pun juga dialami Marko. Yah, Marko mencintai Debi, namun cintanya terhalang status Debi yang sudah pasti tidak akan mendapatkan restu dari orang tuanya. Selain itu, baru saja Marko meyakinkan dirinya, tapi cintanya sudah langsung ditolak Debi.

Buru-buru Marko menghabiskan makanannya. Yah, Marko tidak ingin berlama-lama dan mendengarkan mamanya yang tengah ngomel. Biasalah, jika Om Rafa datang dengan masalah baru. Mamanya tidak akan berhenti untuk membicarakannya.

"Aku berangkat kuliah dulu Ma."

"Kenapa buru-buru?"

"Iya Ma, karena hari ini aku ada janji sama dosen pembimbingku. Aku berangkat dulu ya Ma."

Setelah Marko meminta izin. Marko langsung berjalan keluar dari dalam ruang makan.

Tap tap tap

Langkah Marko berderap keluar dari dalam rumah. Marko berjalan menuju mobilnya yang sudah terparkir di depan rumah.

"Ngapain Om Rafa masih di sini? Masih kurang diomelin Mama?" kata Marko saat melihat omnya yang tengah menunggunya di samping mobilnya.

"Kamu pikir telinga Om gak sakit setiap kali mendengar Mama kamu ngomel? Sakit. Malas Om mendengarnya."

"Terus kenapa Om masih ada di sini?"

"Om kan tadi sudah bilang sama kamu, Om mau ikut kamu berangkat ke kampus."

"Om mau ngapain ikut aku ke kampus?"

"Om itu lagi naksir sama cewek. Katanya dia satu kampus sama kamu."

"Yang bener Om? Siapa namanya?"

"Siapa ya namanya? Om lupa."

"Gimana sih Om. Suka sama cewek kok gak tahu namanya?"

"Maklumlah Marko, Om itu baru ketemu dia tadi malam. Jadi wajar lah Om lupa namanya. Sudahlah, kamu tidak usah banyak tanya. Lebih baik kita berangkat sekarang. Om sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengannya."

"Baiklah, tapi Om harus janji. Kalau Om sudah jadian sama dia, Om jangan lupa untuk mengenalkan aku sama calon Tanteku."

"Kalau itu beres."

Marko dan juga Rafa langsung masuk ke dalam mobil.

Setelah siap dengan bajunya yang rapi. Debi berjalan keluar dari dalam kos-kosannya.

"Mana ya Bu kos? Biasanya kalau pagi kayak gini kan beli belanjaan?"

Debi mengedarkan pandangannya. Sebelum Debi berangkat ke kampus. Debi sudah harus menyicil kos-kosannya.

Saat itu Debi melihat Bu kos yang tengah pulang dari belanja. Debi tersenyum dan berjalan mendekatinya.

"Selamat pagi Bu."

"Ada apa? Tumben pagi-pagi sudah nemuin saya? Mau minta keringanan uang kos ya? Gak ada kamu, harus bayar uang kos secepatnya."

"Ih, Bu kos ini. Su'udzon saja sama saya."

"Terus kamu mau apa nemuin saya pagi-pagi begini?"

"Saya mau nyicil uang kos Bu."

"Nah, ini baru saya suka. Mana uangnya."

Debi mengeluarkan uang yang sudah ia siapkan dari dalam dompetnya.

"Ini Bu uangnya."

"Nah, gini dong. Saya kan tidak perlu marah-marah sama kamu."

"Iya Bu, tapi sebagiannya saya bayar nanti lagi ya Bu?"

"Iya, Bokeh. Tapi jangan lama-lama."

"Iya Bu, siap. Ya sudah, kalau begitu saya berangkat kuliah dulu Bu."

"Iya, hati-hati di jalan."

Debi melangkahkan kakinya dengan riang gembira.

Ojek yang Debi naiki terus melaju di tengah jalan raya yang tengah ramai. Hari semakin siang, membuat sinar matahari terasa membakar kulit putih Debi.

"Panas sekali ya! Perasaan ini baru jam 08.00."

"Memang akhir-akhir ini cuacanya panas Mbak," kata tukang ojek.

"Iya Pak, pantesan jam segini rasanya udah panas banget. Apalagi kalau macet kayak gini, jadi tambah panas."

"Sabar Mbak, sebentar lagi juga akan jalan kok."

"Iya Pak."

Debi menggunakan kedua tangannya untuk menghalau sinar mentari membelai wajah cantiknya.

Mobil yang dinaiki Marko dan juga Rafa masih melaju, hingga akhirnya mereka harus bersabar saat mereka terjebak macet.

"Sial, selalu saja kejebak macet," kata Marko sembari memukul kemudi.

"Sabar Marko. Tunggu saja, nanti juga akan bergerak sendiri."

"Iya, setelah menunggu lama."

"Kamu itu harus melatih diri kamu untuk sabar. Jangan apa-apa maunya cepat."

"Kayaknya kalau masalah kayak gini aku harus belajar dari Om Rafa deh."

"Maksud kamu?"

"Iya, belajar dari Om Rafa untuk masalah kesabaran. Soalnya Om Rafa kan orangnya sangat sabar. Saking sabarnya sampai bertahun-tahun ngejomblo pun Om Rafa masih betah sendiri."

"Sial kamu Marko."

"Habisnya aku itu sudah tidak sabar ingin melihat Om Rafa menikah."

"Sabar, sebentar lagi kamu akan melihat Om menikah kok."

"Setelah Om berhasil mendapatkan teman kampusku itu?"

"Iya."

"Mau berapa lama Om? Iya kalau teman kampusku mau sama Om, kalau tidak bagaimana? Om akan menjadi bujang lapuk," kata Marko yang semakin tertawa keras. Yah, Marko memang sangat suka mengejek omnya. Bukan untuk menghina, tapi hanya sekedar bercanda.

"Sialan kamu Marko. Ponakan gak tahu diuntung."

"Habisnya Om aneh sih. Masak Om suka sama temanku yang usianya jauh banget sama Om."

"Tidak apa-apa, Om kan masih tampan dan juga modis. Om yakin, tidak akan ada yang bisa menolak karisma Om."

"Pretttttt, tetap saja Om sudah tua."

"Bisa tidak sih kamu ini tidak usah membawa-bawa umur? Om tidak suka."

Rafa mengalihkan pandangannya sebagai sikap kesalnya.

"Oke Om, maaf. Aku kan hanya bercanda. Om tidak perlu marah kayak anak cewek tahu."

"Nah kan, kamu ngejek Om lagi."

"Iya-iya Om, bercanda."

Di tengah obrolan mereka. Rafa yang mengalihkan pandangannya tidak sengaja melihat wanita pujaan hatinya yang juga terjebak diantara kendaraan lainnya. Rafa pun tersenyum senang. Tanpa pikir panjang Rafa langsung membuka pintu mobil.

"Om mau kemana?"

Tidak menjawab pertanyaan keponakannya. Rafa bersiap turun dari dalam mobil. Tapi sayangnya saat itu Rafa melihat kendaraan yang dinaiki wanita pujaan hatinya melaju pergi, dan seiring itu juga kendaraan yang lainnya juga mulai melaju.

Tin tin tin

"Om masuk. Bisa dimasa banyak orang kalau kita gak jalan-jalan."

Rafa pun masuk ke dalam mobil, namun pandangannya masih melihat kendaraan yang dinaiki wanita pujaannya. Meski sudah semakin jauh dari pandangannya. Rafa tetap melihatnya.

"Om lihatin apa sih? Sampai Om mau turun dari dalam mobil?"

"Tadi Om melihat wanita yang Om suka."

"Benarkah? Aku kok tidak melihatnya ya Om?"

"Kamu kan fokus sama jalan. Jadi ya gak lihat."

"Kalau aku gak fokus sama jalan. Om mau aku menabrak kendaraan lainnya?"

"Amit-amit jangan sampai. Om masih mau hidup, ucapan kamu itu dijaga."

"Salah sendiri Om tadi bilang gitu."

"Sudah, lebih baik kamu fokus sama jalan. Om sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengannya."

"Om-om, gayanya kayak anak muda saja."

"Cerewet kamu. Sudah, jangan membantah."

"Iya Om, siap."