webnovel

Pemilik Senyuman

Maya langsung menutup telinganya saat suara musik yang begitu keras memekakkan telinganya. Rasanya Maya ingin secepatnya pergi dari dalam sana jika ia tidak mencari tahu keberadaan Debi.

"Di mana anak haram ya!"

Maya mengedarkan pandangannya. Ada banyak sekali pengunjung yang keluar masuk di tempat itu, membuat Maya kesusahan dibuatnya.

"Susah banget sih nyari anak haram itu."

Maya hampir saja menyerah. Saat ia hendak keluar dari dalam club malam itu. Maya tidak sengaja melihat Debi.

"Bukankah itu anak haram? Bajunya kok sudah ganti ya! Apa dia kerja di sini?"

Maya mengedarkan pandangannya. Baju yang dipakai Debi mirip sekali dengan karyawan yang bekerja di tempat itu. Selain itu Maya juga melihat Debi yang tengah mengantarkan minuman ke setiap pengunjung.

"Sepertinya Debi memang bekerja di tempat ini. Aku harus mengabadikannya dan memamerkannya ke banyak orang."

Maya buru-buru mengambil ponselnya. Maya tersenyum senang setelah dia mendapatkan foto Debi yang tengah melayani pengunjung di tempat itu.

"Mampus kamu Debi. Besok aku akan membuat kamu malu."

Setelah puas. Maya memutuskan untuk keluar dari dalam tempat itu.

Debi berjalan dari satu meja ke meja yang lainnya. Debi melakukannya dengan senang hati, dan tersenyum manis. Hingga Debi melupakan jam yang terus berdetak meninggalkan putarannya. Yah, malam semakin larut dan pengunjung pun saat itu semakin ramai berdatangan. Debi sampai kelelahan dibuatnya.

Di saat ada waktu untuk istirahat. Debi memilih duduk di kursi yang ada di pojok ruangan.

"Capeknya badanku."

Malam ini Debi harus memaksimalkan tenaganya. Setelah ia bekerja di cafe. Sekarang Debi harus berpindah di tempat ini. Rasanya sekujur tubuh Debi terasa pegal.

Debi mengusap wajahnya yang dipenuhi keringat. Mungkin tidak banyak orang yang berada di posisi Debi. Berjuang seorang diri untuk menghidupi kebutuhan hidupnya, tanpa orang tua atau pun keluarga. Jika mengingat hal ini, rasanya Debi ingin menangis. Debi merasa iri dengan mereka yang memiliki keluarga lengkap.

"Mungkin Tuhan punya rencana kenapa aku dilahirkan tanpa orang tua. Tuhan ingin mengajarkan aku untuk menjadi seorang wanita kuat. Yah, mungkin seperti itu rencana Tuhan kepadaku."

Debi berucap seperti itu untuk menghibur dirinya yang tengah bersedih memikirkan takdir hidupnya.

"Kamu capek Debi?"

Debi mengalihkan pandangannya saat mendengar seseorang yang bertanya kepadanya.

"Eh, Kak Renata."

Saat Debi hendak beranjak dari duduknya. Renata langsung menghalanginya.

"Duduk saja. Kamu tidak perlu berdiri. Aku tahu kamu pasti capek."

"Iya Kak. Maaf."

"Tidak apa-apa, untuk apa kamu harus minta maaf."

"Jika aku jadi kamu, pasti aku juga capek. Sehari harus bekerja di dua tempat."

"Iya Kak, mau bagaimana lagi."

"Meski Lisa tidak memberitahu aku sepenuhnya, tapi setidaknya aku tahu bagaimana kehidupan kamu."

"Ya, seperti itu lah kehidupan saya Kak."

"Tidak apa-apa, hidup memang penuh perjuangan. Yang penting modalnya semangat dan juga kuat."

"Iya Kak."

"Ya sudah, ayo kita bekerja lagi. Nanti jika sudah jam 03.00. Kita bisa siap-siap untuk pulang."

"Iya Kak."

Meski sebenarnya Debi masih sangat lelah. Namun Debi tetap harus bekerja demi lembaran rupiah yang ia butuhkan.

Debi kembali mendatangi satu meja ke meja yang lainnya. Debi terus melakukan itu berulang kali, hingga jam yang ditunggu pun tiba. Dengan badan yang lelah. Debi menyeret kakinya untuk masuk ke dalam ruangan.

Debi mengganti bajunya dengan baju miliknya, dan menggantung baju kerjanya di dalam lokernya.

Cklek

Debi membalikkan badannya saat mendengar suara pintu terbuka. Saat itu Debi melihat Renata yang berjalan mendekatinya.

"Ini gaji malam ini."

"Langsung dapat gaji Kak?"

"Seperti yang aku katakan tadi. Jika kerja kamu bagus, kamu akan mendapatkan bonus. Dan itu bonus untuk kamu malam ini."

"Wah, terima kasih ya Kak," kata Debi tersenyum senang.

"Iya, semangat bekerja biar kamu mendapatkan bonus terus."

"Iya Kak."

"Kamu tahu, kata Pak Juna beliau sangat suka dengan kinerja kamu malam ini. Karena itu lah Pak Juna memberikan kamu bonus malam ini."

"Pak Juna?"

"Iya, Pak Juna. Pak Juna itu pemilik club malam ini."

"Tapi tadi kok aku tidak melihat Pak Juna ya Kak?"

"Itu mungkin karena kamu belum pernah melihat Pak Juna sebelumnya, karena itu lah kamu tidak melihatnya."

"Iya Kak, Kak Renata benar."

"Kalau kamu melihat Pak Juna, aku yakin kamu pasti akan langsung jantung cinta kepadanya. Karena Pak Juna itu sangat tampan. Selain itu Pak Juna juga masih singgel."

"Benarkah?"

"Iya, benar. Banyak sekali karyawan di sini yang suka sama Pak Juna."

"Aku malah jadi penasaran sama Pak Juna."

"Jika ada kesempatan. Aku akan memberitahu kamu."

"Iya Kak, biar aku tidak penasaran."

"Iya, tenang saja. Ayo kita pulang."

"Iya Kak."

Debi dan juga Renata melangkahkan kaki mereka berjalan keluar dari dalam ruangan.

Mereka terus melangkahkan tanpa menyadari seseorang yang mendengarkan percakapan mereka sedari tadi. seseorang itu pun tersenyum.

"Oh, jadi kamu penasaran dengan Pak Juna ya!"

Di parkiran club. Debi dan juga Renata berjalan mendekati kendaraannya, namun minus Debi yang hanya diam sembari melihat kearah Renata.

"Kok kamu diam saja? Memangnya kamu tidak mau pulang?"

"Iya Kak, aku pulang kok."

"Terus kenapa kamu masih berdiri di situ? Kamu tidak mengambil kendaraan kamu?"

"Aku tidak punya kendaraan apapun kak."

"Terus tadi kamu ke sini sama naik apa?"

"Aku bonceng Lisa Kak."

"Ya sudah, kalau begitu biar aku antar kamu pulang."

"Tidak usah Kak. Rumah kita kan berlawanan arah. Aku tidak mau merepotkan Kak Renata."

"Tidak apa-apa, aku antarkan kamu pulang. Jam segini sudah jarang ada ojek, kalau kamu tidak mau aku antarkan pulang. Kamu nanti jalan kaki pulangnya."

"Tidak apa-apa Kak. Aku sudah biasa jalan kaki kok."

Renata terus membujuk Debi, namun Debi tetap tidak mau diantarkan pulang. Yah, Debi merasa tidak enak hati merepotkan orang yang baru dia kenal.

"Baiklah kalau kamu tidak mau aku antarkan pulang. Tapi kamu harus berjanji harus pulang dengan selamat."

"Iya Kak, pasti itu."

"Ya sudah, kalau begitu aku pulang dulu ya!"

"Iya Kak, hati-hati di jalan ya!"

"Iya, kamu juga."

Renata menghidupkan mesin motornya dan melajukannya pergi meninggalkan Debi seorang diri.

Debi mengedarkan pandangannya. Saat itu keadaan di sekitarnya sudah sangat sepi. Maklumlah jika semua orang sudah kembali ke rumah mereka, termasuk karyawan lainnya. Melihat keadaan sepi seperti ini Debi menjadi takut.

"Lebih baik aku segera pulang deh."

Dengan jalan kaki, Debi mulai melangkahkan kakinya berjalan sendirian.

Tap tap tap

Langkah Debi berjalan menyusuri jalan raya yang terlihat sangat sepi. Tidak ada satu pun kendaraan yang Debi lihat, kecuali lampu penerang di pinggir jalan.

"Kok aku jadi serem ya!"

Angin berhembus kencang membelai tubuh kurus Debi. Debi melipat kedua tangannya untuk mengurangi rasa dinginnya.

Tin tin tin