webnovel

Dibohongi

Ketika tombak cinta menghujam hati. Di saat itu lah tangis pecah tak terelakkan. Meski bibir berucap aku tak mencinta. Nyatanya Debi tak sanggup membendung tangisnya. Di depan pintu kos-kosannya yang ia kunci rapat-rapat. Debi menangis histeris. Dadanya terasa sakit dan juga perih melihat Marko bersama Maya tadi.

"Apakah yang dimaksud Maya tadi adalah Marko? Tapi kenapa? Kenapa tiba-tiba Marko bisa bersama dengan Maya? Bukankah dulu jelas-jelas Marko tidak tertarik sama sekali dengan Maya?"

Sekeras apapun Debi memikirkannya, tetap saja hatinya terluka. Ini terlalu menyakitkan, dan Debi baru pertama kalinya merasakan.

"Ya Tuhan, kenapa rasanya sesakit ini? Mungkinkah selama ini aku mencintai Marko tanpa aku sadari? Tidak. Itu tidak mungkin terjadi. Dulu, aku dan Marko hanya bersahabat, dan tidak ada cinta di hatiku."

Debi menepis perasannya, meski air matanya tak bisa membohonginya.

Marko melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Marko terus menambah kecepatan motornya yang beriringan dengan perasaan kesal memenuhi hatinya.

Bayangan wajah Debi tak hentinya memenuhi pikiran Marko. Sakit rasanya melihat wajah sendu Debi. Marko tidak tega jika kejadian tadi sampai melukai hati wanita pujaannya.

"Marko, naik motornya jangan kencang-kencang. Aku takut."

Mendengar suara itu, Marko baru menyadari jika ia tengah memboncengkan seseorang. Dan seseorang itu lah yang membuat Debi sedih seperti tadi. Marko yang kesal dengan Maya, menambah kecepatannya lagi.

"Marko, aku benar-benar takut. Tolong jangan kencang-kencang."

Marko sengaja ingin membuat Maya ketakutan. Yah, Marko ingin membalas kebohongan yang Maya lakukan kepadanya.

Bayangan itu masih teringat jelas di benak Marko. Di tengah jalan raya yang sepi. Marko mengingat kejadian tadi.

Dretttt dretttt dretttt

Marko yang tengah nongkrong bersama teman-temannya pun mengalihkan pandangannya. Ponselnya yang ia taruh di atas meja bergetar. Di dalam layar terlihat jelas nomor baru yang tengah menghubunginya. Meski pun seperti itu, Marko tahu siapa pemilik nomor itu.

"Siapa yang menelpon kamu, Marko? Kok tidak ada namanya?"

"Oh, itu hanya orang yang tidak penting."

Marko mengambil ponselnya, dan beranjak dari duduknya.

"Kamu mau kemana?"

"Mau mengangkat panggilan dulu."

"Tadi katanya dari orang yang tidak penting. Kenapa kamu malah ingin mengangkatnya?"

"Siapa tahu ada hal penting."

Marko menjauhi teman-temannya agar mereka tidak mendengar percakapannya.

"Ada apa?" tanya Marko to the poin setelah ia mengangkat panggilannya.

"Marko, kamu bisa mejemputku hari ini tidak?"

"Kenapa tiba-tiba kamu ingin aku menjemput kamu?"

"Karena motorku rusak."

"Kamu kan bisa naik taxi atau pun ojek. Kenapa harus meminta aku menjemputmu?"

"Ayolah Marko, aku juga ingin merasakan seperti pasangan lainnya. Dijemput sama pacarnya gitu."

Huh, Marko mendesah panjang. Malas rasanya jika sudah seperti ini. Apalagi Maya bekerja di tempat yang sama dengan Debi. Hal yang tidak mungkin jika Debi bisa melihatnya. Marko tidak mau jika Debi sampai tahu hubungannya dengan Maya.

"Marko," kata Maya yang merengek manja.

"Aku tidak bisa mejemput kamu, aku lagi sibuk."

"Kamu pasti lagi sama teman-teman kamu kan? Jadi teman-teman kamu lebih penting daripada pacar kamu sendiri?"

"Bukan begitu."

"Kalau bukan begitu berarti jemput aku sekarang juga."

Marko malas berdebat dengan Maya. Percuma karena dia tidak akan menang melawan wanita cerewet yang banyak sekali maunya.

"Iya, aku akan mejemput kamu. Tapi ada syaratnya."

"Syarat apa?"

"Kamu tahu kan jika aku tidak ingin hubungan kita diketahui banyak orang. Jadi aku harus memastikan jika cafe tempat kamu bekerja sudah sepi dari teman-teman kamu."

"Kenapa? Kamu tidak mau mengakui aku ya?"

"Tidak perlu aku menjelaskannya lagi Maya. Kamu sudah tahu kan jawabannya?"

"Tapi kan aku tidak mau pacaran secara diam-diam begini."

"Ya sudah, kalau begitu aku tidak mau mejemput kamu."

"Iya deh, tidak apa-apa kalau begitu. Tapi kamu tetap akan mejemput aku kan?"

"Iya, tapi cafe tempat kamu bekerja sudah harus sepi."

"Iya, tempat aku bekerja sudah sepi kok. Teman-teman kerjaku sudah pada pulang semua, karena itu lah aku meminta kamu untuk mejemput aku."

"Iya, aku akan mejemput kamu sekarang."

"Terima kasih ya Marko! Aku sayang banget sama kamu."

Marko bisa mendengar betapa bahagianya Maya terdengar di sebrang sana. Namun tidak dengan Marko yang ingin muntah mendengar ucapan sayang dari Maya.

"Ya sudah, aku perjalanan dulu."

"Iya, hati-hati di jalan ya!"

"Iya."

Panggilan pun terputus, dan Maya dengan perasaan bahagianya.

"Marko, stop!" teriak Maya yang memekakkan telinga Marko.

Cittttttt

Marko mendadak mengerem motornya, membuat Maya hampir saja terpental dari duduknya. Maya yang ketakutan turun dari motor Marko. Sementara Marko tersadar dari lamunannya.

"Apa yang kamu lakukan Marko? Kamu mau membunuhku ya?"

Marko melihat Maya dengan tatapan penuh kemarahan.

"Kenapa kamu membohongi aku?"

"Membohongi apa?"

"Jangan pura-pura tidak tahu. Kamu sengaja melakukan itu kan?"

"Iya, aku memang sengaja melakukan itu, tapi aku melakukan itu karena aku ingin membuat Debi sadar jika dia tidak boleh merindukan pacarku lagi."

"Apa maksud kamu?"

"Tadi siang aku tidak sengaja mendengar Debi bilang kalau dia merindukan kamu, karena itu lah aku membohongi kamu agar Debi tahu kalau sekarang kamu pacarku, dan dia tidak boleh lagi merindukan kamu."

Marko terdiam. Marko sempat tidak percaya dengan yang diucapkan Maya.

"Benarkah Debi merindukan aku?" bisiknya tersenyum tipis, dan nyaris tidak terlihat.

"Aku tidak suka ada wanita lain yang merindukan kamu. Aku cemburu."

Marko tidak perduli dengan ocehan Maya. Marko hanya perduli dengan ucapan Maya tadi yang membuat perasaannya sebagai ini. Bahkan Marko yang tadinya marah pun tiba-tiba menghilang.

"Marko kok kamu malah senyum-senyum sih."

Seketika itu Marko tersadar dari khayalannya. Marko melihat Maya yang juga melihatnya.

"Kenapa kamu senyum-senyum? Pasti kamu sedang memikirkan Debi ya! Ih, Marko. Kamu jahat benget sih. Bisa-bisanya kamu memikirkan Debi. Padahal kamu sudah punya aku."

Maya memukul badan Marko. Tidak hanya itu saja. Maya juga tidak berhenti ngomel.

"Aduh. Maya, hentikan."

"Biarin. Salah sendiri kamu memikirkan wanita lain."

"Maya, jika kamu tidak mau menghentikannya. Aku akan meninggalkan kamu di sini."

Seketika itu Maya langsung menghentikan tangannya untuk tidak memukul Marko.

Marko memperbaiki bajunya yang ditarik Maya. Huh, Marko melihat Maya dengan tatapan kesal.

"Baru jadian saja, badanku sudah sesakit ini. Kalau terus berlanjut, bisa remuk badanku," bisiknya.

"Marko, jangan tinggalkan aku di sini ya?"

Marko masih diam. Marko benar-benar kesal dengan Maya.

"Marko."

"Iya, aku tidak akan meninggalkan kamu pulang. Sudah ayo naik. Kita pulang sekarang."

"Iya."

Maya kembali membonceng Marko. Setelah Marko menghidupkan mesin motornya. Marko melanjutkannya pergi meninggalkan tempat itu.

Berulang kali Marko menyingkirkan tangan Maya yang melingkar di perutnya. Marko benar-benar merasa tidak nyaman diperlakukan Maya seperti itu.

"Maya, lepaskan tangan kamu."

"Kenapa? Aku kan pacar kamu."

"Aku tidak nyaman. Cepat lepaskan."

"Tidak mau."

"Kalau kamu tidak mau melepaskan tangan kamu. Aku akan menurunkan kamu di sini."

Mantra itu pun langsung mujarab membuat Maya melepaskan tangannya. Meski Maya terlihat memanyunkan bibirnya. Marko yang melihat itu di kaca spion tidak mempedulikannya.