Naya terkekeh puas, ia tidak bisa menyembunyikan kelucuan saat ibu Dito--bu Asih--memukul lengan anaknya itu dengan kuat.
"Gue juga kangen sama Lo! Ka … "
"Serius?!" Dito langsung memotong ucapan Naya yang belum sempurna.
"Dengerin dulu kelanjutannya!!" Ibu Asih langsung memukul lengan Dito lagi. Membuat Dito meringis kesakitan. "Mi, plis lah don't gebuk-gebuk terus lengan I. I masih sakit ini, Mi." Tegur Dito.
"Mami, mami, mami. Biasanya juga Ema, ibu, mamah. Kegaulan bahasa kamu," omel ibu Asih dengan terus menepuk pipi Dito tipis-tipis.
Naya kembali terkekeh, akhirnya ia memberikan kresek makanan yang dibelinya tadi. Membuat Dito mengernyit hebat dan langsung membukanya.
"Mie seuhah!!" Ucap Naya dan Dito berbarengan, membuat Bu Asih menggeleng tak karuan.
"Kalian ini, jika sudah kompak seperti ini membuat ibu ingin mundur. Ibu gak mau menghilangkan kebahagiaan kalian." Ibu Asih bangkit dari duduknya dan perlahan mundur menjauhi Naya dan Dito.
Naya mendekati Asih dan mengelus lengannya, "Ibu, gak papa ibu ikut aja di sini. Kan ini ada kursi satu lagi!" Bujuk Naya sambil menarik kursi tunggal yang ada di dekat tempat minum.
"Mami Weh, Mami!!" Tegur Dito tanpa ragu. Tapi teguran itu langsung mendapat pelototan dari Ibu Asih.
Asih tersenyum sambil mengangguk kepada Naya. Lalu ia ikut duduk bersama dengan Naya.
Di sisi lain, Seno sedang sibuk mengurus pekerjaannya di kantor. Ia tidak bisa diganggu gugat, kecuali urusan Naya. Karena di dalam hatinya sudah ditekankan, waktunya akan diprioritaskan untuk Naya.
Ketika ia sedang sibuk seperti itu, handphone-nya berdering.
"Hallo! Ya?! Ah, oke, oke. Tapi, tidak bisakah berangkatnya malam besok?" Tanya Seno pada seseorang yang ada di seberang telepon.
Sesaat kemudian Seno terkejut ketika mendengar pernyataan orang di seberangnya jika dirinya tidak bisa menunda keberangkatan.
Orang yang menelepon Seno mengatakan jika Seno harus pergi ke luar kota sebelum pergi ke luar negeri di beberapa minggu yang akan datang. Dan keberangkatannya harus berangkat malam ini juga.
"Baiklah." Seno mengakhiri sambungan teleponnya.
Seno benar-benar sedang dilanda kesibukan. Beberapa klien ingin Seno bekerja dengan gesit dan tepat waktu.
Akhirnya Seno pun bangkit dan pulang ke rumah untuk menyiapkan kebutuhannya selama di luar kota. Ia pun memerintahkan kepada bi Nami agar bisa merapikan kebutuhannya yang sudah dilist oleh dirinya sendiri.
Di sore harinya, Seno siap pergi ke bandara. Ia pun meninggalkan sepaket bunga mawar kepada bi Nami untuk Naya. Tentu bi Nami menerimanya dan akan memberikannya tepat waktu di esok hari kepada Naya.
Di sisi lain, Naya sedang kebingungan karena Jack meneleponnya lagi untuk memastikan semua peserta bisa menghadiri acara tehnikal meeting atau tidak.
"Gak mungkin aku bilang sama Dito soal ini, kalau bilang dia pasti kekeh mau nganterin ke tempat acara. Kemarin aku mau ngasih tau Dito, tapi keburu dikasih tau kalau Dito kecelakaan" Naya membatin.
Di sana Asih langsung mengelus lengan Naya lembut, ia melihat Naya melamun sejak tadi.
"Ah enggak Bu, hanya saja ada yang mengganjal di pikiran Naya. Malam ini Naya punya janji sama seseorang, tapi Naya belum bisa meninggalkan Dito." Ungkap Naya.
Asih menoleh ke arah Dito yang sedang tidur, kemudian ia kembali menoleh ke Naya yang ada di sampingnya.
"Naya, pergilah nak. Mumpung masih sore. Dito biar ibu yang jagain, nanti kamu hubungi ibu kalau ada apa-apa." Ucap Asih meyakinkan.
Akhirnya Naya pun pamit sambil menggendong Mauren. "Maafin aku Dit, kalau kamu tau pasti marah besar." Lirihnya sambil menoleh ke kanan dan kiri mencari angkutan umum. Dito memang tidak pernah mengizinkan dirinya untuk naik umum, Naya harus selalu diantar oleh Dito. Kali ini terpaksa, ia naik angkutan umum setelah mendapatkan mobilnya dan melaju menuju terminal.
Setibanya di terminal, Naya bolak-balik menunggu angkutan umum kedua. Tapi suasana di sana sangat sepi sekali, Naya tidak mungkin kembali lagi ke rumah sakit. Karena mobil tadi adalah mobil terakhir menuju arah sana.
Naya pun menanyakan kepada salah satu pedagang yang ada di sana soal mobil kedua menuju tempat tujuannya, tapi pedagang itu mengatakan jika hari ini tidak ada pemberangkatan menuju tempat yang dituju oleh Naya. Jantung Naya berdetak kencang, ia benar-benar takut.
Karena rasa khawatirnya terlalu tinggi, tanpa sadar ia membuat status emot khawatir. Dan sesaat kemudian, status itu dibaca oleh Seno. Membuat Seno penasaran dan langsung menelepon Naya.
Sebelumnya Naya enggan untuk menerima panggilan telepon dari Seno, tapi akhirnya ia menerima panggilan itu karena terlalu khawatir.
"Aku mau ke suatu tempat untuk menghadiri acara tehnikal meeting." Ucap Naya dengan nada yang sangat lemah.
"Pak Rim, bawa koper saya ke dalam mobil. Lalu arahkan mobilnya ke terminal Simbrin. Sekarang juga!" Titah Seno yang dapat didengar oleh Naya.
"Maaf tuan, bukannya tuan harus segera pergi ke luar kota untuk bertemu dengan klien? Ini sangat penting tuan!" ucapan pak Rim pun terdengar oleh Naya.
Di sana pak Rim kebingungan, tapi karena Seno kembali berteriak, akhirnya ia mengangkat koper itu dengan cepat.
"Apa?! Seno mau pergi ke luar kota? Gak, ini gak boleh dibiarin. Seno harus tetap pergi ke luar kota, aku gak mau nanti dia malah menggunakan kekhawatiran ku." batin Naya.
"Seno! Sebaiknya kam ... " belum saja ucapan Naya selesai, Seno sudah mematikan sambungan teleponnya terlebih dahulu dan secara sepihak.
Naya terus berusaha menelepon pun Seno tetep tidak mengangkatnya. Rasa kekhawatiran itu pun terus bertambah di dalam diri Naya.
Seno rela menunda keberangkatannya menuju tempat penting. Ia pun rela kehilangan uang hanya untuk kepentingan Naya. Sekarang sudah tidak ada lagi prioritas di dalam hidup Seno kecuali Naya, Naya, dan Naya.
Saat mobil Seno datang tepat di hadapan Naya, Naya langsung berbalik arah dan tak mau melihat Seno datang menghampirinya.
Dalam keadaan gerimis, Seno turun dan langsung menghampiri Naya. Ia bertanya keadaan Naya yang lumayan lama menunggu di terminal Simbrin seorang diri.
"Ya Allah, kenapa jantung ini tiba-tiba berdetak tak karuan?!" batin Naya keheranan.