Alfa masih fokus dengan operasi pada pasien, berusaha keras mengeluarkan peluru yang pertama. Peluru tersebut terletak begitu mendekati jantung, salah sedikit berakibat fatal.
Perjuangan Alfa selama 5 jam dimeja operasi terbayar lunas, akhirnya Alfa berhasil mengeluarkan peluru yang pertama. Semua yang ada didalam ruang operasi menghembuskan nafas lega.
"Tolong ditutup lukanya", Alfa memberi perintah kepada asistennya yang sedari tadi fokus mendampinginya.
"Baik dokter", lelaki 35 tahunan itu mengangguk hormat.
"Suster tolong gunting benangnya", lelaki tadi memberi instruksi kepada Nazwa.
Baru saja Alfa mau keluar ruangan terjadi kegaduhan di meja operasi. Nazwa salah meletakkan posisi gunting, sehingga merobek salah satu arteri dan menyebabkan terjadinya pendarahan.
Mesin langsung memberikan peringatan, kalau kondisi pasien langsung drop. "Kamu bisa hati-hati tidak...!!!", dokter lelaki yang menjadi asisten Alfa sedari tadi membentak Nazwa tanpa belas kasihan.
"Maaf dokter. Saya tidak sengaja", Nazwa gemetar ketakutan.
Alfa langsung mengambil alih posisi asisten dokter, Alfa segera bertindak mencari sumber yang membuat pendarahan terjadi. "G'ak apa-apa, tinggal diberhentikan sumber pendarahannya", Alfa bicara dengan santainya.
"Maaf dokter saya...", kata-kata Nazwa terputus karena Alfa sudah menyela.
"Maaf suster Nazwa, bisa tolong jarum Tapered...?", Alfa menadahkan tangan kirinya kehadapan Nazwa.
Nazwa menyerahkan apa yang diminta Alfa, dengan cekatan Alfa menjahit kembali pembuluh darah yang robek. Hanya dalam hitungan detik pendarahan sudah berhasil dihentikan, keadaan pasien kembali normal kembali. Alfa memutuskan menyelesaikan operasinya. Menutup kembali bekas luka bedah sebelumnya.
"Dengan berteriak dan marah, tidak akan menyelamatkan pasien. Di meja operasi, satu detik sangat berarti untuk pasien", Alfa mengingatkan dokter yang menjadi asistennya selama operasi.
"Saya minta maaf dok", lelaki itu tertunduk malu, tidak berani menatap wajah Alfa sedikitpun.
"Tolong pindahkan pasien ke ICU, kita perlu mengawasi perkembangan pasien sebelum melakukan operasi yang kedua", Alfa memberi perintah.
"Baik dok", semua yang ada di dalam ruangan menjawab serentak.
Alfa berjalan keluar dari ruang operasi dengan langkah gontai. 5 jam diruang operasi cukup menguras tenaganya.
"Dokter...", Nazwa memanggil saat Alfa hampir masuk kedalam mobilnya.
"Yah...", Alfa menoleh kearah Nazwa.
"Terima kasih dokter sudah membela saya", Nazwa bicara pelan, dia tidak berani menatap wajah Alfa.
Alfa tersenyum mendengar ucapan Nazwa, "Boleh saya mengajukan satu pertanyaan...?", Alfa bicara pelan, kemudian menyilangkan kedua tangannya di dada.
"Silakan dokter", Nazwa menjawab sungkan.
"Kenapa saya tadi malah memilih jarum Tapered bukannya jarum Cutting...?", Alfa bertanya diluar dugaan Nazwa.
Nazwa tampak bingung, merasa heran kenapa Alfa malah mengajukan pertanyaan seperti itu kepadanya. Akan tetapi Nazwa tetap menjawab dengan sungguh-sungguh pertanyaan dari dewa penolongnya hari ini.
"Jarum Cutting digunakan untuk menjahit kulit atau luka luar. Karena memiliki tip yang sangat tajam, sehingga mempermudah proses penjahitan pada bagian kulit.
Sedangkan jarum Tapered mempunyai tip yang panjang, dengan bentuk yang agak halus dan tidak memberikan trauma pada jaringan, pembuluh darah dan saluran cerna", Nazwa menjelaskan panjang lebar.
Alfa manggut-manggut pelan.
"Selamat, suster dapat vocer makan siang dari saya. Suster mau makan dimana...?", Alfa bicara antusias.
"Hah...?", Nazwa terbengong dengan ucapan Alfa barusan.
"Saya tanya, suster mau makan dimana...?", Alfa mengulang pertanyaannya lagi. "Jangan sampai saya harus mengulang yang ketiga lho...? Ntar dapat bonus piring cantik", Alfa mengusap pelan dagunya yang panjang.
"Saya harus minta izin dulu sama dokter Firman...", Nazwa keberatan.
Alfa langsung mendorong bahu Nazwa menuju kursi penumpang, kemudian membuka pintu mobilnya mempersilakan Nazwa untuk masuk. "Gampang, nanti saya yang telfon, buat kasih tahu', Alfa bicara santai.
Kemudian duduk dibelakang setir. "Keputusannya...?", Alfa menatap Nazwa.
"Ada kafe yang bagus menjelang arah puncak", Nazwa angkat bicara.
"Oke, kita berangkat", Alfa langsung menjalankan mobilnya dengan perlahan.
Alfa menelfon dokter Firman saat di perjalanan.
"Iya dokter...?", terdengar suara dokter Firman di ujung lain telfon.
"Suster Nazwa saya culik paling lama 2 jam. Buat nemenin saya makan siang, hahahaha... Makan sore lebih tepatnya, karena hampir jam 3...", Alfa bicara disela tawanya.
"Balikin utuh", dokter Firman bercanda.
"Siap...!", Alfa menyanggupi perintah dokter Firman, kemudian memutuskan hubungan telfon.
Hanya butuh 10 menit, Alfa dan Nazwa sampai ketempat tujuan. Alfa dan Nazwa langsung memesan makanan, Alfa memutuskan untuk duduk di saung yang ada diluar.
"Suster sudah lama bekerja dengan dokter Iqbal...?", Alfa bertanya memecahkan kesunyian.
"Ini sudah tahun ketiga dokter", Nazwa menjawab santun.
"Santai saja, jangan kaku begitu seperti pegawai baru, hahahaha...", Alfa tertawa renyah.
"Baik dok", Nazwa menjawab pelan.
"Apa dokter Iqbal selalu seperti itu selama ini...?", Alfa kembali menyelidiki.
"Dokter Iqbal termasuk dokter andalan di rumah sakit DKT, karena selain anak dari ketua yayasan rumah sakit. Beliau juga lulusan terbaik di angkatannya. Mungkin karena itu dokter Iqbal tidak pernah bisa menerima kesalahan, sekecil apapun itu", Nazwa menjelaskan.
"Seorang atasan, punya kewajiban untuk mengingatkan bawahan kalau berbuat salah. Tapi... Dengan cara yang santun, jujur saja saya tidak suka seorang dokter yang marah di meja operasi.
Walaupun sedang di bawah pengaruh obat bius, saya percaya pasien sesungguhnya mendengarkan semua ucapan kita selama operasi berlangsung", Alfa mengungkapkan alasan perbuatannya mengapa mengambil alih operasi kembali, padahal sudah menyerahkannya ketangan asistennya yaitu dokter Iqbal.
"Kalau boleh jujur, saya kagum sama dokter. Bukan hanya muda, lulusan terbaik dengan dua gelar sekaligus, dokter juga tidak pernah merendahkan kami yang bukan siapa-siapa", Nazwa menahan keras agar air matanya tidak jatuh.
"Jangan suka merendahkan diri sendiri", Alfa protes kali ini mendengar ucapan Nazwa.
"Itu adanya dok, mau diapakan lagi", Nazwa menjawab pelan dengan kepala tertunduk.
"Rumah sakit itu ibarat pohon. Dan kita semua adalah bagian dari pohon itu. Ada yang jadi akar, batang, cabang, dan daun. Jika salah satunya tidak ada maka pohon itu tidak akan utuh", Alfa memberikan analogi yang selalu dia jelaskan kepada pegawai rumah sakit yang drop seperti Nazwa sebelumnya.
"Terima kasih dokter", Nazwa mengucapkan rasa terima kasihnya.
"Akhirnya, makanannya datang. Silahkan dimakan suster", Alfa memberi instruksi.
Setelah makan, Alfa kembali mengantar Nazwa kerumah sakit. Alfa langsung menuju ICU mengecek keadaan pasien yang baru saja di operasinya beberapa jam yang lalu. Setelah melihat keadaan pasien, Alfa keluar dari ruang ICU.
"Dokter...! Bagaimana kondisi Ardi...?", Devi menghadang Alfa.
"Dokter, yang bertanggung jawab mengoperasi Ardi...?", pak Lukman angkat bicara kali ini.
"Apa kabar pak Jendral...?", Alfa menyalami pak Lukman.
"Alhamdulillah, saya baik dokter. Bagaimana keadaan Ardi...? Kenapa dia belum sadar juga...?", pak Lukman bertanya cemas.
"Saya baru mengeluarkan 1 peluru pak, masih ada 2 peluru lagi yang bersarang ditubuhnya. Makanya saya mengawasi keadaan pasien. Kalau semua baik-baik saja, besok kita bisa lakukan operasi kedua, mengangkat peluru yang kedua", Alfa bicara terus terang.
"Kenapa tidak sekalian saja tadi dokter...?", pak Lukman protes, dia merasa gusar mendengar Alfa harus menjalani 3 kali operasi untuk mengeluarkan peluru yang bersarang didadanya.
"Posisinya sangat berbahaya pak Jendral, jadi saya tidak mau ambil resiko", Alfa menjelaskan duduk persoalannya.
Pak Lukman langsung terduduk lemas mendengarkan ucapan Alfa barusan. "Astagfirullah...! Ini salah Om Ardi, maafkan Om...", pak Lukman bicara pelan, dia menyesali keputusannya yang mengirim Ardi ke misi yang berbahaya. Sehingga saat ini Ardi terbaring tidak sadarkan diri diruang ICU.
"Berdo'a yang terbaik pak Jendral, untuk kesembuhan pasien", Alfa memberi saran. Alfa menepuk-nepuk pelan pundak pak Lukman memberi kekuatan.