webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · Teen
Not enough ratings
251 Chs

Tidak pernah ada keraguan dihati saya sedikitpun

Suasana hening sejenak, Alfa menyeruput minumannya membasahi tenggorokannya yang kering.

"Saya harus jujur. Sejauh karir saya, saya tidak pernah melakukan operasi membahayakan seperti ini. Saya hanya tahu teorinya saja sejauh ini", Alfa bicara jujur. Alfa bukanlah tipe orang yang jumawa, dia selalu terbuka tentang keadaan pasien kepada pihak keluarga pasien.

"Sekarang saya punya satu pertanyaan. Dengan keadaan yang seperti ini. Apa bu Devi masih mau mempertaruhkan nyawa pasien ditangan saya...?", Alfa langsung bertanya keintinya, tidak mau berputar-putar lagi.

"Tidak pernah ada keraguan dihati saya sedikitpun", Devi menegaskan kata perkata yang keluar dari bibirnya.

Alfa bersandar di sandaran kursi, berusaha membuat dirinya senyaman mungkin. Alfa menarik nafas panjang mengisi penuh otaknya dengan oksigen.

"Dokter Firman, bisa pesankan ruang operasi segera. Dan... Saya bisa kembali meminjam staf yang pernah membantu saya saat operasi lalu", Alfa bertanya penuh keyakinan. Alfa tidak melihat ada jalan untuk mundur lagi saat ini.

"Baik dokter, segera", dokter Firman langsung keluar dari ruangannya.

Alfa langsung mohon diri, menekan salah satu nomor yang ada di HPnya.

"Kenapa Ko...?", terdengar suara perempuan yang selalu bisa menjungkir-balikkan dunianya selama ini.

"Kamu lagi dimana dek...?", Alfa bertanya pelan.

"Lapangan merdeka, kan habis ikut upacara 17-an Ko", Erfly menjawab pelan.

"Kamu di bagian mananya...?", Alfa bertanya lagi.

"Ini lagi nongkrong ditukang bakso dekat perumahan", Erfly menjawab santai.

'Penjual bakso dekat perumahan...? Itu kan pas disamping rumah sakit', Alfa bicara dalam hati. Dia ingat ada penjual bakso gerobaan yang mangkal di depan perumahan sebelum Alfa kerumah sakit. Alfa melangkah perlahan kesamping rumah sakit, Alfa bisa melihat Erfly sedang duduk ditrotoar jalan dengan mangkuk bakso ditangannya.

"Ko...? Ada apa...?", Erfly membuyarkan lamun Alfa.

"G'ak apa-apa dek, ya udah Koko tutup dulu ya. Koko ada jadwal operasi sebentar lagi", Alfa menyudahi hubungan telfon.

"Yang semangat dokter Erfly yang terbaik sedunia", Erfly berteriak memberi semangat.

"Hahahaha... Iya, terima kasih", Alfa bicara pelan sebelum menutup hubungan telfon.

Alfa tetap tidak bisa mengalihkan tatapannya dari wajah Erfly. "Terima kasih dek, kamu sudah menyingkirkan keraguan Koko untuk menjalani operasi ini", Alfa bergumam pelan.

"Maaf, dokter sudah ditunggu diruang operasi", seorang suster menghampiri Alfa.

"Oh... Iya. Mari suster Nazwa", Alfa bicara disela senyumnya, kemudian melangkah menuju ruang operasi dengan penuh keyakinan.

***

Gama duduk disamping Erfly, kemudian merebut mangkuk bakso Erfly, tanpa permisi memakan bakso Erfly.

"Pesan sendiri kenapa sih bang...?", Erfly mengajukan protes.

"Kamu aja yang pesan lagi, sekalian pesan buat Gama semangkok. Laper...", Gama bicara dengan mulut yang penuh makanan.

Erfly kembali menghampiri penjual bakso, dan memesan 2 mangkok lagi.

"Abang dari mana...?", Erfly bertanya pelan, sambil meneguk minuman yang dia beli.

"Habis dari kos-kosan. Ada penghuni baru yang mau masuk. Tapi... Tadi dia minta dianterin ke kosannya yang lama, katanya mau ngambil barang-barangnya dulu", Gama menjelaskan dengan mulut yang berisi penuh makanan.

"Pesanannya Erfly", penjual bakso mengantarkan pesanan Erfly.

Erfly menerima pesanannya, sedangkan yang satu mangkuk lagi langsung diambil oleh Gama.

"Terima kasih mas", Erfly bicara pelan. Kemudian langsung melanjutkan makan.

"Cakya mana...?", Gama melihat kiri kanan tidak menemukan keberadaan Cakya.

"Masih di dalam gedung nasional. Katanya ada jamuan makan siang sama Walikota", Erfly bicara sambil mengunyah makanannya.

"O...", Gama bergumam pelan.

"Erfly...? Gama...? Ternyata benar kalian", Mayang bicara pelan setelah turun dari motor kakaknya.

"Mayang...? Kak Rheno...", Erfly langsung menyalami kakak Mayang dengan santun. "Mayang sama Kak Rheno dari mana...?", Erfly bertanya bingung.

"Nganter ketringan ke rumah sakit", Rheno menjawab santai.

"Kak Rheno sama Mayang mau bakso...? Erfly pesanin", Mayang menawarkan.

"G'ak, kak Rheno mau balik. Soalnya ibuk minta dianter ke pasar buat pesanan besok", Rheno menjawab disela senyumnya.

"Kak Rheno, Mayang disini dulu boleh...?", Mayang bertanya ragu.

"Ya udah, kalau gitu kak Rheno pulang duluan aja", Rheno langsung pamit.

"Ntar Erfly yang anterin pulang kak. Tenang aja, g'ak akan kita cemilin kok. Balik dengan utuh. Hahahaha", Erfly tertawa renyah.

Rheno hanya mengacungkan jempol kanannya sebelum pergi.

"Mas, satu mangkuk lagi", Erfly memesan bakso untuk Mayang.

"Gimana ketringannya...?", Erfly bertanya lagi.

"Alhamdulillah lancar", Mayang menjawab pelan. "Erfly... Terima kasih", Mayang bicara lagi.

"Aduh... Kepala Erfly tiba-tiba pusing nih, perutnya tiba-tiba mual", Erfly mulai dengan candaannya.

Gama langsung tertawa terbahak-bahak melihat tingkah Erfly. Mayang malah mengerutkan keningnya karena tidak mengerti.

"Gara-gara kamu ngucapin makasih, jadi dia tiba-tiba sakit", Gama kembali tertawa lagi.

"Maaf...", Mayang merasa bersalah.

Kali ini Erfly dan Gama yang malah tertawa terbahak-bahak melihat Mayang merasa bersalah.

Cakya menyelip duduk ditengah Erfly dan Gama. Kemudian merebut mangkok bakso Erfly.

"Om sama keponakan sama aja ya. Hobbynya ngerebut makanan Erfly", Erfly memasang muka kesal.

Cakya dan Gama malah tertawa puas melihat wajah kesal Erfly.

"Mas...! Satu lagi...!!!", Erfly berteriak kepada penjual bakso.

***

Candra menandatangani surat kuasa untuk penjualan perusahaan. Candra menyerahkan semua urusan kepada Sinta.

Sinta kembali ke kediaman Wiratama. Langsung masuk kedalam ruangan kerja Wiratama. Didalam sudah menunggu beberapa orang.

Proses jual beli berlangsung dengan mulus. Setelah semua pembeli pergi. Hanya tinggal Sinta, Dirga dan Wika diruangan tersebut.

"Mbak... Wika bisa minta tolong...?", Wika bertanya pelan.

"Selagi mbak bisa", Sinta menjawab dengan keyakinannya.

"Semua urusan perusahaan Wika serahkan sama mbak. Terserah mbak mau buat seperti apa. Wika mau fokus dengan kehamilan Wika mbak", Wika bicara pelan.

"Jangan khawatir dek. Kan masih ada Dirga...", Sinta melemparkan tanggung jawab kepada Dirga.

"Kamu saja. Dirga sama sekali tidak mengerti tentang perusahaan", Dirga langsung menolak permintaan Sinta.

"Baiklah kalau begitu. InsyaAllah Sinta dan pengacara almarhum ayah kamu yang akan menyelesaikan semuanya", Sinta memberikan jaminan kepada Wika dan Dirga.

Sinta langsung menghubungi pengacara pak Wiratama. Setelah mendapat persetujuan dari pengacara pak Wiratama, Sinta langsung memesan tiket menuju ke beberapa kota.

Sinta kembali kerumah tahanan menemui Candra.

"Mbak...? Ada apa...?", Candra bertanya bingung saat melihat Sinta kembali lagi.

"Mbak mau kasih tahu, perusahaan ayah sudah berhasil di jual", Sinta bicara pelan.

"Iya mbak", Candra bicara dengan ketenangan yang sama seperti sebelumnya.

"Wika dan Dirga menyerahkan semua urusan perusahaan sama mbak. Satu lagi, mbak mau ngasih tahu, mungkin selama 2 minggu kedepan mbak g'ak bisa kesini. Karena mbak harus ke beberapa kota. Menyerahkan gaji terakhir pegawai. Dan... Sekaligus pamit sama mereka", Sinta menjelaskan panjang lebar.

Candra mengangguk pelan, "Hati-hati mbak", Candra bicara lirih.

"Kamu do'a kan mbak ya, semoga semuanya lancar", Sinta kembali bicara sebelum pamit.

"Aamiin allahuma Aamiin", Candra bicara pelan. "Terima kasih mbak untuk semuanya", Candra bicara lagi.

***

Erfly mengantarkan Mayang pulang kerumahnya.

"Masuk dulu Erfly", Mayang bicara pelan, setelah turun dari motor.

"Iya, sekalian Erfly mau minta dibungkus makan malam. Hahahaha", Erfly tertawa renyah, kemudian mengikuti Erfly masuk kedalam rumah.

Erfly disambut dengan pemandangan yang tidak menyenangkan, seorang perempuan berumur sekitar 45 tahun sedang menangis dihadapan ibu Mayang.

"Assalamu'alaikum", Erfly bicara lantang, kemudian menyalami semua orang yang ada didalam ruang tamu.

"Wa'alaikumsalam", ibu Mayang memeluk Erfly erat.

"Ada apa buk...?", Erfly bertanya bingung menatap kearah wanita yang sedang menangis.

"Ini tetangga ibuk, lagi kena musibah. Anak sulungnya jadi korban tabrak lari. Sekarang anaknya harus menjalankan operasi, dia kesini mau pinjam uang 20 juta. Ibuk g'ak punya uang sebanyak itu nak...", ibu Mayang bicara apa adanya.