Istri Dirga kembali menyerahkan kwitansi pembayaran ketangan Dirga, "Bisa aku ketemu sama Erfly...?", istri Dirga bertanya pelan.
"Dirga coba telfon sekretarisnya dulu", Dirga bicara pelan, kemudian meraih HPnya.
"Assalamu'alaikum buk, saya Dirga", Dirga bicara sangat sopan.
"Mohon maaf buk, apa bisa istri saya minta waktu untuk bertemu dengan bu Erfly sebentar...? Kita... Kita... Mau berterima kasih sama beliau", Dirga bicara panjang lebar.
Dirga diam sejenak, sebelum mengakhiri hubungan telfon.
"Terima kasih buk, Assalamu'alaikum", Dirga menutup hubungan telfon dengan senyum yang lebar.
Daun pintu ruang rawat inap dibuka, ayah dan ibu mertua Dirga muncul dari balik daun pintu segera mengucap salam.
"Jadi... Pulang hari ini kan...?", ibu mertua Dirga bertanya penuh keraguan.
"InsyAllah jadi buk", istri Dirga menjawab dengan senyuman terbaiknya.
"Em... Ibuk... Dirga bisa minta tolong, kita... Mau menemui teman dulu di ruang VVIP. Em... Bapak sama ibuk...", ucapan Dirga terputus karena ayah mertuanya sudah menyela terlebih dahulu.
"Kita tunggu di kantin samping parkiran saja, barang-barangnya sekalian kita yang bawa saja agar tidak repot", ayah mertua Dirga mengambil alih tas yang ada di tangan Dirga.
"Terima kasih pak", Dirga bicara sungkan, melepaskan kepergian ayah dan ibu mertuanya.
Dirga segera membantu istrinya naik ke kursi roda yang dia pinjam sebelumnya, kemudian dengan perlahan Dirga mendorong kursi roda menuju ruang rawat inap Erfly.
"Assalamu'alaikum...", Dirga bicara sungkan.
"Wa'alaikumsalam...", semua yang ada di ruangan menjawab hampir bersamaan.
"Bunda... Kita kembali ke hotel dulu", Erfly kecil bicara enggan untuk melepaskan bundanya.
"Teh, titip anak-anak ya", Erfly bicara lembut.
"Kamu jangan khawatir dek", Nadhira bicara pelan.
Si kembar segera menyalami semua yang ada di dalam ruangan, kemudian berlalu pergi bersama Nadhira dan Pasya.
Erfly mengerutkan keningnya, masih memutar ingatannya.
"Ini Dirga", Satia segera menyela.
"Oh... Maaf, Erfly sedikit lupa. Lama tidak ketemu soalnya", Erfly tertawa renyah.
"Em... Ini istri Dirga, Naura", Dirga segera memperkenalkan istrinya.
Erfly segera mengulurkan tangan kanannya, "Butterfly, bisa panggil Ilen atau Erfly", Erfly melemparkan senyuman terbaiknya.
"Ini... Ada sedikit buah", istri Dirga bicara malu-malu.
"G'ak perlu repot-repot", Erfly tertawa renyah menerima pemberian istri Dirga.
Satia sigap mengambil alih buah dari tangan Erfly, kemudian meletakkan di lemari kecil di samping tempat tidur Erfly.
"Kita kesini mau ngucapin terima kasih, saya tidak tahu harus membalas kebaikan Erfly sekeluarga bagaimana. Padahal saya...", Dirga menelan ucapannya karena Satia sudah menyela.
"Jangan sungkan, sesama kenalan lama sudah sepantasnya kita saling membantu. Bukan begitu dek...?", Satia mengedipkan matanya memberi isyarat kepada Dirga agar tutup mulut.
"Iya mas, jangan sungkan. Lagian... Kita juga lagi butuh orang sekarang. Dari pada pusing-pusing mencari lagi, lebih baik Dirga kan yang sudah jelas-jelas kota kenal", Erfly kembali tertawa renyah.
"Em... Dirga... Soal biaya rumah sakit, nanti InsyAllah akan Dirga Cicil dengan gaji Dirga", Dirga bicara pelan.
"G'ak perlu. InsyaAllah kalau Dirga bergabung dengan kita, itu fasilitas kesehatan dari kantor. Jangan di jadikan beban, kalaupun Dirga ada tawaran lain yang jauh lebih menjanjikan dari kita, silakan saja. Mungkin kita belum jodoh untuk bekerja sama", Erfly bicara panjang lebar.
"InsyAllah Dirga akan terima tawaran Erfly yang di Lombok", Dirga bicara dengan penuh keyakinan.
"Alhamdulillah, Erfly senang dengarnya. Tapi... Silakan Dirga pikiran matang-matang, diskusikan lagi dengan pihak keluarga. Erfly mau Dirga bergabung dengan kita murni karena Dirga tertarik kerja sama kita, bukan karena merasa hutang budi karena Erfly sudah membayarkan biaya rumah sakit istri Dirga", Erfly kembali mengingatkan.
"Dirga...", Dirga bicara lemah.
"Santai saja. InsyaAllah Erfly akan kembali lusa ke Lombok. Erfly tunggu jawaban Dirga sampai lusa", Erfly bicara pelan.
***
Nadhira memilih untuk duduk di balkon kamar setelah si kembar tertidur.
"Anak-anak udah tidur buk...?", Pasya bertanya pelan.
Nadhira hanya mengangguk pelan.
Pasya segera merogoh kantong celananya, membakar rokoknya. Melemaskan otot-ototnya sejenak setelah bekerja seharian.
"Buk...", Pasya bicara lirih.
"Hem...", Nadhira bergumam pelan, tidak melepaskan tatapannya dari layar HPnya, jemari tangannya masih sibuk mengetik di kipet HPnya.
"Bagaimana keadaan bu Ilen...?", Pasya memulai basa-basinya.
"Alhamdulillah hanya butuh pemulihan, makanya kepulangan kita di tunda sampai lusa", Nadhira menjawab pelan, tetap sibuk dengan HPnya.
"Em... Buk... Bagaimana hasil wawancara kerja Dirga kemarin...?", Pasya memberanikan diri untuk bertanya.
"Dirga...?", Nadhira bicara pelan, kemudian meletakkan HPnya keatas meja. "Pada dasarnya dia sudah di terima kerja. Hanya saja... Kita sedang menunggu keputusan Dirga nya maunya bagaimana", Nadhira bicara pelan.
"Maksudnya...?", Pasya bertanya bingung, karena tidak mengerti kemana arah pembicaraan Nadhira.
"Kita nawarin 2 posisi buat Dirga. Owner kafe yang kemarin tempat kita makan itu. Sama Direktur Pemasaran untuk kantor cabang yang di Lombok", Nadhira menjelaskan panjang lebar.
"Terus... Jawabannya Dirga bagaimana...?", Pasya bertanya penasaran.
"Dia belum jawab, minta waktu untuk diskusi dulu sama keluarganya", Nadhira menjawab santai.
***
Setelah sholat isya, Dirga melangkah perlahan masuk kedalam kamar. Jagoan kecilnya sudah terlelap tidur, istri Dirga melemparkan senyuman terbaiknya kepada Dirga begitu melihat Dirga muncul dari balik daun pintu kamar.
"Udah tidur jagoan...?", Dirga berbisik pelan.
Istri Dirga hanya mengangguk pelan. "Dirga mau makan sekarang...?", istri Dirga bertanya pelan.
"Boleh", Dirga bicara pelan.
Istri Dirga dengan hati-hati melangkah keluar kamar, diikuti oleh Dirga yang mengekor di belakang.
Istri Dirga menyiapkan makanan untuk Dirga makan, beruntung ibunya menyiapkan makanan sebelum pulang.
Dirga memasukkan suapan penuh kedalam mulutnya.
"Dirga sudah bicara sama bapak soal tawaran kerja yang di Lombok...?", istri Dirga bertanya pelan.
"Udah", Dirga menjawab pelan.
"Tanggapan bapak sama ibuk apa...?", istri Dirga bertanya lagi.
"Pada dasarnya mereka tidak ada masalah. Kamunya sendiri bagaimana...?", Dirga malah balik bertanya.
"Dirganya sendiri maunya bagaimana...?", istri Dirga malah balik melemparkan pertanyaan.
Dirga meletakkan sendok keatas piring yang telah kosong. "Kalau mau jujur... Dirga sebenarnya ingin kita sekeluarga pindah ke Lombok. Kita mulai lagi dari awal disana. Dirga... Ingin melupakan semua yang kurang enak disini", Dirga bicara lirih.
"Tapi... Kalau kamu keberatan kita pindah ke Lombok, ya sudah... Dirga terima kerjaan yang jadi owner kafe itu saja", Dirga melanjutkan lagi.
Dirga menatap lekat wajah istrinya.
"Kata Dirga... Dirga lebih minat yang kerjaan di Lombok, sesuai dengan skill yang Dirga punya", istri Dirga bicara lirih.
"Atau... Kamu mau disini sama jagoan kecil kita. Biar Dirga kerja di Lombok. InsyaAllah sebulan sekali Dirga usahakan kesini jenguk kalian berdua", Dirga menawarkan opsi lainnya.
"Bismillah, kita mulai dari awal lagi", istri Dirga bicara dengan deraian air mata.
Dirga menatap lekat wajah istrinya, berusaha menebak keputusan apa yang ada di kepala istrinya saat ini.