webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · Teen
Not enough ratings
251 Chs

Saya berhutang banyak sama Erfly

Dirga diantar oleh Pasya kembali ke rumah sakit tepat setelah isya. Pasya langsung meninggalkan Dirga tanpa pengawasannya dan anggota lainnya.

Dirga melangkah gontai menuju ruang rawat inap istrinya. Begitu membuka pintu, Dirga di sambut dengan istrinya yang sedang menyusui anaknya.

"Kamu sudah kembali nak...?", ibu Dirga menyambut putranya.

"Ibu sama bapak pulang saja, biar saya yang disini", Dirga bicara pelan.

"Nak... Kamu ada waktu...? Ayah perlu bicara sama kamu", ayah Dirga angkat bicara.

Dirga tidak menjawab hanya mengangguk pelan. Kemudian mengikuti ayahnya menuju keluar ruangan. Ayahnya memilih duduk di kursi yang ada di lorong rumah sakit, karena tidak ada siapa-siapa.

"Ada apa Yah...?", Dirga bertanya pelan tak bertenaga, tenaganya habis terkuras akibat permainan emosi yang di lakukan oleh Satia beserta anggotanya.

"Mungkin besok atau lusa istrimu sudah boleh pulang, kamu sudah ada biaya untuk rumah sakit...?", ayah Dirga langsung bertanya to the point.

"Dirga belum tau yah", Dirga menjawab jujur apa adanya.

"Lalu bagaimana kehidupan kalian kedepannya...? Istri dan anak kamu perlu di beri makan, perlindungan", ayah Dirga bicara putus asa.

"Dirga... Dapat tawaran kerja Yah, tapi... Di luar kota", Dirga bicara jujur.

"Lalu istri dan anakmu...?", ayah Dirga kembali bertanya.

"Dirga akan bicarakan dulu dengan dia, mau ikut Dirga atau bagaimana", Dirga bicara pelan.

"Kalian akan tinggal dimana nantinya...? Butuh biaya besar untuk pindah", ayah Dirga kembali memberikan pendapat.

"Perusahaan yang menanggung semuanya Yah", Dirga bicara lirih.

"Lalu untuk hidup kalian selama disana bagaimana...?", ayah Dirga kembali bertanya putus asa.

"Dirga masih punya sedikit tabungan. Yang Dirga bingung sekarang, biaya rumah sakit. Dirga akan coba cari pinjaman nantinya", Dirga bicara pelan.

Ayah Dirga menepuk pundak putranya, memberikan semangat kepada putranya. "Maaf ayah g'ak bisa bantu kamu nak... Ayah...", ucapan ayah Dirga terputus karena air matanya mengalir tanpa permisi.

"Ayah g'ak perlu pikirkan, biar Dirga yang mencari solusinya. Dirga harus diskusi dulu dengan istri Dirga, InsyAllah akan ada jalan keluar yah", Dirga tetap pada keyakinannya.

Ayah Dirga kembali masuk keruangan rawat inap, kemudian berpamitan bersama istrinya. Setelah kepergian ayah dan ibunya, seorang suster datang mengambil bayi mereka agar bisa kembali istirahat di ruang bayi.

"Kamu sudah makan...?", istri Dirga bertanya lembut.

Dirga hanya mengangguk pelan.

"Kamu dari mana saja...?", istri Dirga bertanya pelan.

Dirga memilih untuk duduk di samping tempat tidur istrinya.

"Wawancara kerja", Dirga bicara jujur.

"Wawancara kerja...? Memangnya ada apa dengan pekerjaan kamu yang sebelumnya...?!", istri Dirga bertanya bingung.

"Dirga... Seminggu yang lalu, Ada pengurangan karyawan di tempat kerja Dirga, dan... Dirga kena pemecatan sepihak oleh perusahaan", Dirga memilih untuk bicara jujur kali ini.

"Astagfirullah... Kenapa kamu baru cerita sekarang...?", istri Dirga bertanya dengan air mata yang membanjiri pipinya.

Dirga mengusap lembut pipi istrinya, "Aku g'ak mau kamu khawatir, dan terjadi apa-apa sama kamu dan anak kita nanti", Dirga bicara lembut.

"Lalu... Bagaimana dengan biaya rumah sakit...?", istri Dirga kembali menangis.

"Nanti Dirga akan coba cari pinjaman, kamu jangan khawatir", Dirga menenangkan istrinya.

"Em... Bagaimana wawancara kerjanya...?", istri Dirga segera teringat ucapan suaminya yang sebelumnya.

"Dirga... Ditawari 2 posisi yang berbeda", Dirga mulai bercerita.

"Maksudnya...?!", istri Dirga bertanya bingung.

"Pertama Dirga di tawari jabatan direktur Pemasaran di perusahaan properti, tapi... Di Lombok", Dirga bicara jujur.

"Lombok...?", istri Dirga bertanya penuh keraguan.

"Iya. Dan... Kedua, Dirga di tawari posisi owner kafe disini, lokasinya dekat pantai", Dirga kembali menimpali.

"Owner kafe...?", istri Dirga bertanya dengan sangat tidak yakin.

"Menurut kamu Dirga sebaiknya menerima posisi yang mana...?", Dirga kembali bertanya.

"Kamunya lebih suka dimana...?", istri Dirga malah balik bertanya.

"Untuk Kafe Dirga di tawari dua opsi, opsi pertama sistem gaji perbulan, opsi kedua sistem bagi hasil. Tapi... Kamu tahu sendiri, Dirga tidak ada pengalaman mengurus kafe", Dirga bicara jujur.

"Lalu kamu lebih berat posisi yang di Lombok...?!", istri Dirga kembali menyelidiki.

"Sejujurnya... Iya", Dirga memutuskan untuk bicara jujur.

"Kita mau tinggal dimana...? Bahkan sekarang kita bingung mau membayar uang rumah sakit", istri Dirga bicara pelan.

"Perusahaan menjamin kepindahan kita, plus rumah dan fasilitasnya", Dirga kembali menambahkan.

"Kamu sudah mengambil keputusan, kenapa harus bertanya lagi...?", istri Dirga kembali bertanya.

"Kamunya bagaimana...? Apa tidak masalah pindah ke Lombok...? Kita mulai semuanya dari awal lagi, tidak ada sanak saudara disana", Dirga bicara lirih.

Istri Dirga diam sejenak, kemudian tersenyum lembut.

"Apapun keputusan kamu, saya ikut", istri Dirga bicara lembut.

Dirga mengecup lembut pucuk kepala istrinya, "Terima kasih", Dirga berbisik sangat pelan, air matanya mengalir membasahi pipinya.

***

Erfly menatap lekat wajah Alfa, "Ada apa ko...?", Erfly bertanya lembut.

"Jantung kamu masih lemah, jadi... Sepertinya kamu harus bersabar dulu dek. Kita lihat perkembangan kamu sampai lusa dek", Alfa bicara pelan.

Satia merangkul Erfly dari belakang, "Sabar dek...", Satia mengecup pelan pucuk kepala Erfly yang tertutup jelbab.

Satia kembali mendorong kursi roda Erfly menuju ruang VVIP tempat rawat inap Erfly. Dengan penuh kasih Satia memindahkan Erfly kembali keatas tempat tidur.

Tatapan Erfly menatap ke sudut jendela, si kembar sedang tidur diatas tempat tidur yang sengaja di pesan oleh Nadhira dari rumah sakit.

"Teh... Bagaimana wawancara kerjanya...?", Erfly bicara pelan, menatap kearah Nadhira yang duduk di samping Erfly kecil.

"Tidak buruk, dia sudah cukup punya pengalaman menjadi direktur Pemasaran, dan... Kita memang butuh orang yang seperti dia. Hanya saja...", Nadhira menahan ucapannya.

"Ada apa teh...?", Erfly kembali mengejar.

"Dia sepertinya masih bimbang, istrinya baru saja melahirkan. Dan... Ini kota kelahiran istrinya, jadi... Dia minta waktu untuk berdiskusi dengan istrinya", Nadhira bicara apa adanya.

"Teteh sudah tawarkan posisi di kafe...?", Erfly kembali menyelidiki.

"Sudah, hanya saja... Menurut teteh sayang saja bakatnya harus membusuk di kafe. Dia punya potensi untuk maju di posisi yang lebih jauh dek", Nadhira bicara dengan keyakinan penuh.

"Kita tunggu saja, apapun pilihannya... Kita tidak bisa paksakan", Erfly bicara pelan.

***

Keesokan harinya istri Dirga sudah di izinkan untuk pulang, Dirga dengan langkah gontai menuju kasir rumah sakit berniat menyelesaikan administrasinya.

Seorang suster tersenyum ramah melayani Dirga, kemudian menyodorkan beberapa lembar yang telah di print kehadapan Dirga.

"Maaf bapak, bisa di tanda tangani disini...", suster menunjukkan dimana Dirga harus membubuhkan tanda tangan.

Ada 4 tanda tangan yang harus dilakukan oleh Dirga, kemudian suster muda itu kembali menarik kertas yang ada di hadapan Dirga. Detik berikutnya, suster muda itu menyerahkan selembar kwitansi kepada Dirga.

"Ini kwitansinya bapak, terima kasih. Semoga istri dan anaknya sehat selalu bapak", suster muda itu menyatukan kedua telapak tangannya di depan dadanya.

Dirga bingung melihat ada cap lunas di kwitansi yang diserahkan oleh suster muda di hadapannya.

"Maaf suster, kalau boleh tahu, siapa... Yang telah melunasi biaya operasi istri saya...?", Dirga bertanya linglung.

"Mohon tunggu sebentar bapak, saya cek dulu", suster muda itu mengecek layar komputernya.

"Iya suster", Dirga bicara pelan.

"Atas nama ibu Nadhira bapak", suster muda itu bicara lembut.

"Nadhira...?!", Dirga bertanya tidak yakin.

"Iya bapak, atas nama Nadhira. Ada apa bapak...? Apa ada yang salah...? Atau perlu saya bantu lagi...?", suster muda itu kembali menambahkan.

Dirga menggeleng pelan, "Tidak, terima kasih suster", Dirga memohon izin untuk pergi.

Dirga kembali menuju ruang rawat istrinya, "Ada apa Dirga...?", istri Dirga bertanya bingung begitu melihat Dirga yang langsung meraih air minum.

"Saya berhutang banyak sama Erfly", Dirga bicara disela tangisnya.

Istri Dirga meraih kwitansi yang ada di tangan suaminya, "MasyAllah...", istri Dirga ikut menangis.