"Jadi... Maksud kamu...?", Dirga bertanya bingung.
"Kita pindah ke Lombok", istri Dirga bicara pelan.
"Bapak sama ibuk bagaimana...?", Dirga bertanya penuh kebimbangan.
"Aku akan coba bicara pelan-pelan. InsyaAllah mereka akan mengerti", istri Dirga berusaha meyakinkan Dirga.
Dirga meraih jemari tangan kanan istrinya, kemudian mengecup lembut punggung tangan istrinya.
***
Cakya masih menikmati kesendiriannya di puncak gunung tujuh. Tiba-tiba seseorang memegang pundak Cakya.
"Kenapa abang suka disini...?", perempuan manis itu tersenyum manis.
"Damai, sunyi tanpa suara", Cakya menjawab pelan.
Gadis di samping Cakya menatap kiri kanan, kemudian mengangguk pelan.
"Hem... Abang benar. Terlalu damai", perempuan itu bicara lirih.
"Putri sendiri...?", Cakya bertanya pelan.
"G'ak, bareng teman-teman BEM", Putri menjawab santai, dengan segera merebahkan diri disamping Cakya.
Cakya menatap kearah jalan kecil yang merupakan jalan keluar dari dalam hutan menuju danau. Cakya segera mengerutkan keningnya, begitu tidak melihat siapa-siapa yang muncul.
"Mereka berkemah di kaki gunung bang", Putri menjawab santai.
Cakya hanya diam, kembali menatap kosong ke tengah danau.
"Gimana mantan kamu...? Masih ngejar-ngejar kamu dek...?", Cakya tiba-tiba bertanya diluar dugaan Putri.
"Ya gitulah bang", Putri menjawab malas.
"Makanya kamu cari pacar baru dek, biar ada yang jagain", Cakya merespon asal.
"Putri lagi nunggu seseorang bang", Putri bicara lirih.
"Hah... Siapa...?", Cakya menatap lekat wajah Putri yang masih berbaring disampingnya.
"Udahlah bang, g'ak penting", Putri menghindar dari pertanyaan Cakya berikutnya.
Cakya memilih untuk diam, tidak melanjutkan ucapannya.
"Abang ada kegiatan g'ak seminggu kedepan...?", Putri tiba-tiba teringat sesuatu, dan duduk dengan menatap lekat wajah Cakya.
"Ya... Paling jadwal piket di kantor", Cakya menjawab tanpa membalas menatap wajah Putri.
"Hem... Berarti g'ak bisa ya", Putri memasang raut wajah kecewa.
"Kenapa...?", Cakya mengalihkan tatapannya, kali ini menatap wajah Putri yang duduk disampingnya.
"Kampus dapat undangan dari KPA, perkemahan persahabatan gitu, sayang kalau g'ak ikutan", Putri bicara pelan.
"Lha... Ikut aja, apa hubungannya sama abang?", Cakya bertanya bingung.
"Masalahnya mantan Putri pasti ikut juga, pak Jendral pasti g'ak akan ngizinin", Putri memasang raut muka kecewa.
"Coba aja dulu diomongin", Cakya menimpali santai.
"Putri itu udah kenal pak Jendral jauh lebih lama dari abang, Putri udah tahu pasti jawaban pak Jendral apaan. Paling mentok ini, bakal di izinin dengan syarat Putri di kawal sama anggota ayah. Kan risih bang, mending g'ak usah sekalian", Putri menjelaskan panjang lebar.
"Lha... Hubungannya sama abang apa coba...?", Cakya bertanya bingung.
Putri segera memutar posisi duduknya menghadap ke arah Cakya.
"Maksud Putri mau minta tolong abang buat jadi pendamping kita. Ayah pasti g'ak akan nolak kalau abang ikutan. Please...", Putri menyatukan kedua telapak tangannya segera memohon kepada Cakya.
Cakya tertawa renyah, "Cakya di jadiin bemper ini", Cakya kembali tertawa melihat wajah lucu Putri yang memelas.
"Please bang, ini kesempatan sekali seumur hidup buat Putri", Putri menggenggam lengan tangan kiri Cakya, kemudian mengguncang pelan.
Cakya menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan tangan kanannya yang bebas.
"Abang... Yah... Mau ya", Putri kembali memohon.
"Abang g'ak bisa janji, tapi... Abang usahakan", Cakya bicara pelan.
"Asik...", Putri spontan memeluk Cakya. "Terima kasih bang", Putri tertawa puas.
Cakya berdehem pelan karena merasa kikuk dipeluk oleh Putri tiba-tiba.
Putri segera melepaskan pelukannya, "Em... Maaf bang", Putri kembali menjauh dari Cakya, Putri memukul pelan jidadnya dengan tangan kanannya. "Putri begok", Putri memaki dirinya sendiri pelan. Pipinya terasa panas seperti terbakar.
Cakya kembali berdehem pelan sebelum mulai bicara, "Cakya mau turun sekarang, kamu mau tetap disini atau gimana dek...?", Cakya bertanya pelan.
"Ikut bang", Putri menjawab dengan segera.
"Memangnya kamu g'ak mau istirahat dulu...? G'ak capek apa baru juga nyampe puncak udah turun lagi...?", Cakya mengerutkan keningnya.
"Abang lupa kalau Putri anak pak Jendral...? Pemegang sabuk hitam karate...?", Putri menyombongkan diri.
"Sombong amat", Cakya nyeletuk asal, kemudian di lanjutkan dengan tawa renyahnya.
Putri membeku sesaat menikmati pemandangan langka di hadapannya saat ini. Cakya terkenal dingin kepada siapapun, sangat jarang Cakya terlihat tersenyum atau tertawa.
"Dek... Ayo turun", Cakya membuyarkan lamunan Putri, entah sejak kapan Cakya sudah turun dari batu besar dan mengulurkan tangan kanannya kehadapan Putri yang masih duduk diatas batu.
"Ah... Iya", Putri tersenyum canggung.
"Malah ngelamun", Cakya nyeletuk asal.
Putri segera meraih tangan kanan Cakya, dan melompat dari atas batu.
Putri sengaja nekat naik gunung sendiri, setelah mendengar dari penjaga pintu rimba kalau Cakya sudah naik gunung sejak subuh. Putri berharap akan bisa bertemu Cakya setidaknya berselisih jalan, hanya ingin melihat senyum Cakya saja. Itu sudah lebih dari cukup untuk Putri. Akan tetapi Putri malah mendapatkan lebih dari apa yang dia harapkan, Putri bisa menghabiskan waktu lebih lama dengan Cakya.
Perjalanan turun tidak selama naik gunung, setidaknya Putri punya waktu lebih kurang satu jam atau satu jam lebih 30 menitan nantinya.
Tidak banyak suara yang keluar dari mulut Cakya, putri tahu Cakya orang yang paling irit kalau bicara. Sehingga Putri lebih memilih untuk menikmati perjalanannya dengan tenang dengan Cakya.
45 menit berlalu begitu saja, masih ada kurang dari setengah perjalanan lagi untuk sampai ke pintu rimba. Cakya memilih untuk beristirahat di Sungai, sekalian minum menghilangkan haus. Dengan hati-hati Cakya meletakkan gitarnya ditempat yang sangat aman. Kemudian menuju sungai untuk minum, kemudian mengeluarkan botol kosong dari dalam saku celananya, mengisi dengan air kemudian menyerahkan ketangan Putri setelah duduk tidak jauh dari Putri.
Putri segera menerima botol pemberian Cakya, "Terima kasih bang", tanpa basa basi Putri segera minum.
Cakya mendorong pelan pantat botol dengan ujung jemari tangan kanannya, hingga Putri tersedak. Cakya tertawa puas melihat muka Putri yang basah karena semburan air.
"Ah... Resek", Putri bicara kesal, dan memukul pelan lengan Cakya.
Cakya hanya tersenyum puas, bukannya meminta maaf kepada Putri.
Putri segera mengalihkan tatapannya dari wajah Cakya, karena merasa jantungnya siap untuk melompat keluar jika terus menatap wajah Cakya.
"Begitu cintanya abang sama gitar, sampai kemana-mana dibawa", Putri bertanya iseng, kemudian meraih tas gitar Cakya.
"Setidaknya dia yang paling setia menemani Cakya kemanapun tanpa ptotes", Cakya menjawab lirih. Sangat terlihat wajah sendu di raut wajah Cakya.
"Putri boleh main...?", Putri bertanya penuh keraguan.
Cakya mengangguk pelan.
Putri segera mengeluarkan gitar dari sarangnya, kemudian meraih gitar meletakkan dalam pelukannya. Jemarinya mulai lincah memetik senar gitar, kemudian mulai bersenandung kecil tanpa melepaskan tatapannya dari Cakya.
'Ku rasa ku sedang jatuh cinta, karena rasanya ini berbeda, oh apakah ini benar cinta?, Selalu berbeda saat menatapnya
Mengapa aku begini?, hilang berani dekat denganmu, ingin ku memilikimu, tapi aku tak tahu, Bagaimana caranya?
Tolong katakan pada dirinya, lagu ini kutuliskan untuknya, namanya slalu ku sebut dalam do'a, sampai aku mampu, ucap maukah denganku'
Putri menghentikan permainan gitarnya, lagu Tolong dari Budi DoReMi sudah sangat cukup mewakili perasaannya selama ini kepada Cakya.
"Ajari saya untuk mencintaimu", Cakya bicara lirih.
Putri menangis tanpa dia sadari mendengar ucapan Cakya.