webnovel

Bukan kakak perempuan

Mobil mewah perlahan meluruskan parkir di halaman depan, Vira segera meletakkan menu makan siang dan menyambut kepulangan putranya.

Sopir membukakan pintu mobil dan mempersilahkan Aoran turun. Pemuda itu dengan sorot matanya yang tampak tajam menatap anak tangga dimana di ujung sana ibunya sudah menunggu, dia menghela nafas berat sebelum akhirnya turun dan menapaki anak tangga.

Dia membawa satu tali tas pada pundaknya, menyimpan kedua telapak tangan pada saku celana dan melangkahkan kaki jenjangnya dengan cepat.

"Kau sudah pulang sayang.." tanya Vira dengan hangat, wanita itu mengambil tas Aoran, tapi putranya menolak.

"Mam, biar aku urus barangku sendiri, mami bisa lanjutkan pekerjaan, aku sudah besar sekarang.." protesnya akan perhatian ibunya yang terasa begitu berlebihan itu.

Aoran membanting diri di sofa, dia melepaskan sepatu dan tas dari pundaknya. Segelas susu hangat mendarat di depan wajah Aoran.

"Mom, aku mau air segar!" Protesnya dengan wajah manja.

"Pelayan, tambahkan es batu!" Pinta Vira menyuruh pelayan, dia enggan beranjak dari sisi Aoran, wajah wanita itu memperhatikan air wajah putranya yang tampak tak begitu baik.

"Mami dengar hasil ujianmu sudah keluar.." Aoran mengangguk kecil dan menghela nafas berat.

"Seharusnya Daddy tidak usah tahu." Ujar Aoran sedikit ketus dan meraih minumannya setelah dicemplungkan beberapa butir cube es.

"Kenapa?" Tanya Vira heran.

"Karena aku tidak mau dia menyuruhku pergi les ataupun lebih banyak belajar, mom, aku benar benar ingin menjadi seorang atlet, bukan seorang pengusaha seperti Daddy."

Vira tertawa kecil mendengar ucapan Aoran. "Kau bisa berenang kapanpun, dan menjadi pengusaha itu sudah harus turunanmu, kita sudah sering membicarakan ini, saat kau bilang ingin jadi atlet basket, bisbol, sekarang renang?" Ejek Vira dengan kemauan anaknya yang masih sering berubah ubah itu.

"Mom ayolah, aku sedang senang berada dalam air sekarang, cuaca terasa semakin panas dan menyengat, rasanya aku akan menjadi atlet air yang cemerlang kalau aku serius." Ujar Aoran mencoba merayu ibunya.

"Aoran, kau berapa lama tidak membuka bukumu, mami tahu kau itu cerdas, tapi jangan mengabaikan pelajaranmu begitu saja dong.."

"Ah mami! Ada gadis lain yang merebut posisiku di papan score, dia menjadi nomor satu dan aku menjadi nomor dua, aku sedikit kesal sih, meski aku bilang aku bosan menjadi nomor satu!" Lirih Aoran dengan wajahnya yang tampak muram.

"Lalu kalau sudah begini, bagaimana?" Tanya Vira menyerahkan semuanya pada anaknya.

"Aku akan berenang beberapa menit lalu belajar, kirimkan makananku ke kolam ya mam.." Aoran beranjak dari sofa dan menarik tasnya menuju tangga ke kamarnya.

"Ah, aku kehilangan papan skor terbaikku, dan menyerahkan jabatan OSIS begitu saja padanya, dia.." Aoran menghentikan kalimat bergumam dan wajah Miran terbayang di wajahnya, wajah itu sangat cantik loh tapi Aoran menggeleng, dia menolak mengakui itu, "menyebalkan!" Keluhnya kesal.

Vira menatap punggung putranya.

Aoran sudah tumbuh dengan baik, tubuhnya tinggi dengan pundak lurus dan bidang, rambutnya tebal berwarna hitam dengan bola mata yang terang mewarisi gen Wihelmina, dia sedikit mirip dengan nenek buyutnya.

Terkadang putranya itu tampak begitu biasa tapi saat sedang berhadapan dengan ibunya tetap saja dia seperti seorang anak kecil yang cerewet, padahal dia sudah kelas tiga sekolah menengah atas dan sebentar lagi masuk ke perguruan tinggi.

Bagi Aoran itu bukanlah hal yang sulit, nilainya mungkin turun karena selama beberapa bulan terakhir anak itu sibuk dengan hobi barunya, nanti juga akan kembali normal lagi. Dia memang sudah ditakdirkan untuk jadi nomor satu.

Kediaman keluarga Lu.

Miran dan Lily mungkin keluar pada mobil yang sama dengan tampak begitu layak, tapi hanya Lily yang membawa tas dan buku milik dia dan juga adiknya. Gadis muda itu juga harus membukakan tali sepatu Miran, menaruh tas dan sepatu pada tempatnya.

Setelah Miran masuk ke dalam rumah dan di sambut oleh suara cempreng nyonya Lu, itu artinya tugas Lily sudah selesai setengahnya, dia masuk lewat pintu samping, menaiki tangga menuju loteng.

"Lily!! Jangan lupa kerjakan tugas sekolah Miran ya!" Teriak nyonya Lu. Entah Lily mendengar atau tidak, yang jelas dia sudah membawa semua buku tugas milik adiknya itu.

"Mam, kenapa berteriak seperti itu, bagaimana kalau ayah dengar!" Protes Miran cemberut.

"Tenang saja sayang, tuan lu sedang ada meeting dadakan di kantor jadi beliau tidak ada di rumah ini, oh ya.. mana hasil ujianmu?" Tanya nyonya Lu tak sabar.

Begitu Miran mengeluarkan hasil ujian, mata nyonya Lu membulat dan pupilnya membesar seketika, dia berteriak kegirangan.

"Ya ampun! Memang tidak salah kau masuk sekolah internasional itu! Kau memang anakku yang cerdas yang terbaik, kau sungguh hebat! Ayahmu pasti akan sangat bangga dengan nilai ini. Sekarang ayo duduk sini sayang! Katakan pada mami apa yang kau inginkan sebagai hadiah!" Ujar nyonya Lu dengan wajah yang sangat bahagia, dia meminta Miran duduk di sofa bersamanya, wanita itu melipat kaki dan mengusulkan Miran untuk memikirkan hadiah apa yang putrinya inginkan setelah pencapaian yang luar biasa ini.

"Mmm.. apa ya mam, sebenarnya semua yang Miran inginkan sudah Miran dapatkan semuanya, ah.. tapi.. mam.. hari ini Miran bukan hanya mendapatkan skor terbaik tapi juga di angkat jadi ketua OSIS!"

"Oh ya! Ya ampun, kau sangat hebat nak, mami bangga padamu sayang!" Teriak nyonya Lu sedikit memekik girang. Miran tertawa senang.

"Lalu apa yang kau inginkan sayang?" Tanya ibunya dengan sorot mata tak sabar. Miran tampak berpikir sampai dia menemukan jawaban dalam pikirannya, ya.. dia sudah punya permintaan!

"Mam, aku mau traktir teman temanku. Bagaimana?" Nyonya Lu mengerjapkan mata tak percaya.

"Hanya itu? Tidak sebuah mobil mewah keluaran terbaru, konser artis keliling dunia? Pakaian, tas? Perhiasan?" Miran menggeleng. Dia tak menginginkan semua tawaran itu.

"Aku ingin mentraktir teman temanku mam, aku ingin mengucapkan terima kasih pada mereka.." ujar Miran dengan wajah tersenyum kecil.

"Ya ampun Miran, kau bukan hanya cantik, pintar.. kau juga sangat terpuji, kau sangat baik dan sopan.. mami bangga padamu.."

Ya dong! Tentu saja, siapa dulu.. Miran!

Gadis itu melenggangkan kaki setelah apa yang dia inginkan dengan mudah ia dapat, dia melangkah girang sambil menyeruput segelas perasan jetuk segar dari baki seorang pelayan.

"Thank you!" Ucapnya kembali mengembalikan gelas yang kosong sambil bersiul dan melangkahkan kaki seperti menari di lantai dansa.

Miran memiliki apa yang diinginkan setiap gadis muda masa kini. Dia cantik, ceria, periang dan mudah bergaul. Dia cerdas, dari golongan mampu, memiliki barang mahal, Supir pribadi dan seorang kakak perempuan yang selalu setia menemaninya.

Sementara Miran..

Setelah merapikan pakaiannya sendiri, dia menyalakan laptop dan memutar daftar lagu favorit nya, dia bersenandung kecil sambil mulai membuka buku buku pelajaran.

Dia membuka hasil skor miliknya dan tersenyum tipis.

"Tidak buruk juga, lumayan.." lirihnya merasa bangga.

Dia memeriksa kembali soal soal yang di beri tanda silang pada lembaran soal ujian hingga skor yang di dapatnya hanya di point delapan.

Gadis itu mengganti setiap jawaban yang salah dengan wajah yang riang.

Setelah selesai mengerjakan semuanya dia mengangkat kertas itu ke udara, lalu tersenyum dengan bangga!

"Lihatlah! Lily! Kau mendapatkan point yang sempurna, namamu ada pada papan skor lima besar dan kau berada di urutan pertama!"

Dua bangkit dari kursi dan merasa begitu bangga dan bahagia, dia membungkuk selayaknya orang yang berterima kasih karena sudah di sambut dengan tepuk tangan yang riuh. Lalu dia tersadar akan lamunan dan imajinasinya.

Gadis itu menggeleng pelan dan kembali pada kursi belajar.

"Sekarang saatnya kau mengerjakan tugas tugas ini! Ayo semangat Lily!" Ujarnya menyemangati diri sendiri.

Rumah ini begitu luas, ada banyak kamar kamar besar di bawah sana, tapi kenapa Lily harus tidur di loteng, dia memilih tempat ini sendiri sesuai dengan kemauannya, setidaknya kalau dia tidur di loteng maka nyonya Lu akan sungkan naik dan memanggil namanya, dia juga bisa tidur tenang dan fokus belajar, Miran juga tidak akan sering mengganggunya, karena gadis itu alergi debu dan udara panas.

Dari lorong sini Lily bisa melihat ke luar sana, pada bagian jendela kaca yang sudah usang dia bisa melihat tanaman di taman samping rumah ayahnya.

Rumah ini semakin hari semakin besar, pelayan semakin banyak, tamu keluar masuk semakin beragam, tapi dia seperti seorang tikus yang bersembunyi dalam sarangnya. Apa Lily kecewa? Tidak.

"Aku harap suatu saat nanti aku bisa menjadi seorang penyanyi.." ujarnya lirih. Di sini, di atas balkon ini. Dia bisa mengeluarkan suaranya dengan bebas, dia suka bernyanyi lagu lagu melodi, dia suka bersenandung dengan suaranya yang lembut dan mendayu, dia suka mendengarkan musik dan bernyanyi, dia mulai belajar nada nada, dia mulai mencoba mencover lagu di jejaring internet meski tak menampakkan wajahnya.

Lily mempunyai impian, dia ingin impiannya ini tercapai, meski dia sendiri ragu ragu.

Dia tertunduk diam sampai suaranya yang indah sedikit fals.

"Kalau Miran ingin jadi nomer satu, maka aku tak masalah, asal aku bisa bernyanyi dan menyalurkan hobiku.." lirih Lily menyembunyikan senyumannya.

Dia adalah bayangan Miran, apapun yang dia kerjakan hanyalah untuk Miran, dia bukanlah seorang kakak perempuan, dia seorang asisten dan budak Miran.

Dia bukan apa apa tanpa Miran. Atau mungkin sebaliknya.

Ting!!

Satu pesan masuk dari ponselnya, dia tak memiliki ponsel mahal keluaran terbaru, tapi ini cukup untuknya.

Dari Miran!

Jangan lupa kerjakan tugasku! Ah satu lagi, buatkan pidato penyambutan sebagai ketua OSIS dan pembukaan acara siswa! Maksud ku, aku akan mengadakan pesta kecil, kau harus siap ya!

Lily tersenyum tipis dengan hatinya yang bergetar sakit di dalam dada.

Miran.. kau sungguh beruntung..

Next chapter