webnovel

Broken White

Kirana Agniya menghadapi masalah klasik bagi perempuan yang berusia hampir 30 tahun. Dia diharapkan segera menikah, tapi trauma di masa lalu membuatnya enggan berkomitmen. Kirana dijodohkan dengan Birendra Wijaya, lelaki yang dua tahun sebelumnya menolak perjodohan mereka. Kini, pria itu mendadak ingin menikah dengan Kirana. "Kenapa Mas tiba-tiba berubah pikiran?" tanya Kirana. "Memangnya, kenapa tidak bisa?" pria itu justru balik bertanya. Kirana tak berniat menolak perjodohan ulang. Namun, dia harus tahu mengapa calon suaminya bisa berubah pikiran. Mungkinkah dia hanya pelarian? *** "Kenapa Bos memilih dia?" "Karena dia sepertinya juga tidak mungkin jatuh cinta kepada saya," tutur Rendra. "Jadi, tidak akan ada pihak yang terluka saat ikatan itu berakhir."

Sekarani · Urban
Not enough ratings
282 Chs

Kamu Terlalu Jahat

Rendra mengantar Kirana pulang setelah makan malam yang berakhir dengan agak aneh. Merasa ada banyak hal yang membuatnya penasaran, Rendra langsung membuka percakapan begitu dia menyalakan mesin mobil.

"Damar tahu kalau kita dijodohkan?" tanya Rendra.

"Dia tahu ada orang akan dijodohkan dengan saya dan bagaimana rencana itu tidak berjalan baik karena si pria terus mengabaikan saya. Dia hanya tidak tahu nama pria dingin itu."

Kirana mengatakannya dengan begitu tenang dan itu justru terasa sangat menusuk. Kirana menyebut Rendra sebagai pria yang terus mengabaikannya. Kirana kembali memanggilnya pria dingin. Seburuk itulah dia?

"Sekarang dia akhirnya tahu nama pria itu. Dia juga udah lihat langsung gimana orangnya," kata Kirana.

Rendra ingat seperti apa tatapan Damar saat mereka berpisah di depan kafe tadi. Damar selalu tersenyum kepada Kirana, tapi ekspresinya segera berubah begitu melihat Rendra. Damar seperti orang yang ingin mengajak Rendra perang.

"Menurut saya, kamu terlalu jahat," ucap Rendra. "Kamu cuma ingin memperkenalkan saya sebagai calon suami, kan? Kamu bisa melakukannya saat saya belum datang atau malah waktu kita mau pulang biar suasananya tidak terlalu canggung."

Karena tidak mendapat tanggapan dari Kirana, Rendra kembali berkata, "Satya bilang, Damar suka sama kamu."

Kirana tidak berkata apapun, tapi melihat bagaimana dia tiba-tiba memandang Rendra yang sedang menyetir, pria itu bisa menebak apa yang ada di pikiran Kirana.

"Saya tidak bertanya apapun. Satya sendiri yang tiba-tiba bilang seperti itu."

"Mas Rendra juga tahu kalau saya sudah menolak Damar?"

Rendra mengangguk. "Bahkan, katanya sudah entah berapa kali."

"Itu terdengar sangat keterlaluan. Saya hanya menolaknya sekali saat dia mengatakan itu dua tahun lalu."

"Menolak itu bukan cuma diucapkan dengan kata-kata, Ran. Mungkin ada banyak momen lain di mana dia masih berusaha tapi tanggapanmu tidak sesuai harapannya. Itu sama saja efeknya."

"Oh, kayak Mas Rendra yang cuma balas pakai emoji atau stiker setiap kali saya chat itu, ya?"

Nada bicara Kirana masih datar seperti sebelumnya, tapi kalimat terakhirnya benar-benar menusuk dan tepat sasaran.

Rendra tak habis pikir. Setiap kali membicarakan apapun, kenapa Kirana selalu bisa menempatkannya pada posisi orang jahat? Mengapa Kirana selalu menemukan celah untuk menyalahkan dia? Sampai kapan Kirana ingin membuat Rendra merasa bersalah?

"Mulai sekarang, saya tidak akan melakukan itu," ujar Rendra. Dia berjanji akan merespons pesan dari Kirana dengan lebih baik.

Kirana tersenyum sekilas, lalu kembali memasang wajah datar dan berkata, "Oke, terima kasih."

Tanggapan Kirana terdengar sangat acuh. Namun, kali ini Rendra tak mau ambil pusing. Dia tidak ingin berdebat lagi.

Rendra kembali menyetir dengan tenang, sedangkan Kirana hanya memandang ke depan tanpa berkata apapun lagi. Suasananya benar-benar hening. Bahkan, tidak ada satu pun di antara mereka yang berinisiatif menyalakan musik untuk sekedar mencairkan suasana.

Kirana sebenarnya malas mengobrol dengan Rendra lagi, tapi dia mendadak ingat dengan daftar pertanyaan yang tadi dikirim Dinda saat mereka makan malam.

Kirana sesungguhnya tidak masalah jika ada narasumber yang meminta daftar pertanyaan sebelum wawancara. Beberapa orang memang seribet itu dan Kirana akan mengikuti permintaan narasumber selama menurutnya masih wajar.

Lagi pula, meski sudah ada daftar pertanyaan, siapa yang bisa menghalangi Kirana bertanya hal lain selama wawancara? Tidak ada. Dia tetap bisa mengembangkan pertanyaan sesuai kebutuhan.

Begitu pula dengan Dinda nantinya. Pada dasarnya, dia tetap bisa melakukan apapun selama itu bukan iklan atau konten berbayar.

Hanya saja, Kirana merasa ada sesuatu yang harus dia katakan kepada Rendra soal wawancara besok.

"Mas, soal wawancara besok…," Kirana kembali memandang Rendra yang masih fokus menyetir. "Dinda sangat gigih. Rasa ingin tahunya sangat besar."

"Bukankah wartawan memang sudah semestinya seperti itu?" Rendra menanggapinya dengan santai. "Saya juga paham kalau narasumber punya hak untuk tidak menjawab."

"Mas sudah memahami hal-hal seperti itu? Oke, jangan menyesal atau protes kalau saya merilis artikel apapun yang akan ditulis Dinda nanti, ya."

Apa yang perlu Rendra khawatirkan? Bukankah ini hanya artikel profil biasa? Walau bukan iklan, Rendra tentu paham jika wawancara besok adalah salah satu upaya perusahaan Kirana menjalin hubungan baik dengan Mandala Mall. Tujuannya? Tentu saja ujung-ujungnya iklan dan bentuk kerja sama lainnya.

Dengan tujuan seperti itu, Rendra merasa tidak ada perlu dia cemaskan. Artikel yang keluar sudah pasti positif. Namun, mengapa Kirana seolah menyuruhnya waspada? Apakah ada hal buruk yang mungkin terjadi setelahnya?

"Besok kamu datang juga bareng Dinda?" Rendra memutuskan untuk tetap tidak mencemaskan apapun dan hanya ingin lanjut mengobrol dengan Kirana.

Kirana menggeleng. "Dinda sudah lebih dari cukup. Nanti ada dua orang dari tim multimedia juga."

Rendra agak kecewa mendengar jawaban Kirana. "Saya kira, kita bisa makan siang bareng setelah wawancara."

"Saya sibuk."

Rendra tersenyum. Lagi-lagi Kirana tanpa sadar telah menolak dirinya. Hei, ada yang tidak beres dengan Rendra. Kenapa dia tersenyum saat merasa ditolak?

"Besok masuk kantor jam berapa? Saya jam 9," kata Rendra kemudian.

"Jam 10," jawab Kirana singkat.

Rendra langsung merasa perbedaan jam kerja mereka bukan hal yang patut disyukuri. Kenapa Kirana masuk lebih siang ketimbang dirinya?

"Saya berniat jemput kamu, tapi jam 10 itu sudah terlalu siang. Saya bisa sangat terlambat kalau mengantar kamu dulu, apalagi saya sudah janji ketemu Dinda jam 10."

Rendra adalah tipe orang disiplin dan tepat waktu. Dia tidak suka melihat karyawannya datang terlambat, jadi dia tidak akan melakukan hal serupa.

"Mas Rendra bosnya. Kenapa takut datang terlambat ke kantor? Siapa yang berani memarahi bos?"

"Hanya karena saya punya jabatan yang lebih tinggi, bukan berarti boleh bertindak seenaknya."

Sungguh jawaban yang bijaksana. Hampir saja Kirana terpesona setelah mendengar Rendra mengatakan kalimat luar biasa bermoral itu.

Namun, Kirana cepat-cepat mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa ini bukan waktunya dia terpesona kepada Rendra.

"Ini nanti pasti para orang tua bahagia banget karena saya pulang diantar Mas Rendra. Lalu, mereka pasti akan berpikir bahwa Mas Rendra akan menjemput saya untuk berangkat ke kantor juga besok pagi."

Rendra hanya diam dan masih menunggu kalimat apa yang bakal diucapkan Kirana selanjutnya.

"Pada akhirnya, Mas Rendra mau tidak mau akan datang untuk menjemput saya."

Sungguh sebuah skenario klasik. Meski begitu, Rendra merasa apa yang dikatakan Kirana bisa saja akan benar-benar menjadi kenyataan.

"Oke, besok saya jemput kamu. Kita sarapan bareng," kata Rendra seolah mengalah.

Tak disangka, Kirana malah mengatakan, "Nanti Mas Rendra terlambat ke kantor. Nggak usah, deh. Saya jadi merasa bersalah kalau reputasi Mas Rendra memburuk."

Sikap Kirana kembali membuat Rendra bingung. Jadi, apa yang sebenarnya diinginkan Kirana? Dia tadi minta dijemput, kan? Setelah Rendra mengiyakan, mengapa Kirana mendadak tak enak hati? Apa Kirana sungguh-sungguh ingin menguji Rendra?