webnovel

Broken wedding

18+ Yang selalu Amara bayangkan dari sebuah pernikahan adalah laki-laki yang mencintainya, rumah tangga yang harmonis dan ... anak-anak yang menggemaskan. Tapi, bayangan itu semua hancur saat dia harus menikah dengan laki-laki dingin bernama Daneil Brown. Karena hutang budi, Amara tak dapat menolak saat kedua orang tua laki-laki itu memintanya untuk menikah dengan anak mereka. Sedari awal Amara tahu, pernikahan yang ia jalani adalah sebuah pernikahan yang rusak. Ia tahu pondasi awal pernikahan mereka sudah salah lebih dulu, jadi hanya menghitung waktu untuk bangunannya roboh. Tapi, Amara tak ingin pernikahannya benar-benar rusak. Ia terus berusaha untuk memperbaiki pondasi bangunannya. Ia terus berusaha mempertahankan pernikahannya meskipun ia tahu dirinya berjuang sendirian. Tapi, setelah berjuang yang tak ada artinya bagi sang suami. Pada akhirnya Amara menyerah. Dia biarkan bangunan itu roboh. Siapa sangka, ditengah keputusasaan Amara. Daneil malah berbalik arah, menginginkannya. Dia menahan Amara disaat wanita itu akan pergi. Tapi, semua sudah terlambat. Amara sudah pernah berjuang dan memberikan lelaki itu kesempatan, tapi lelaki itu menyia-nyiakannya. Dan kini, waktu yang Amara berikan sudah habis. Tak ada lagi kesempatan untuk laki-laki itu. Inilah pernikahan yang rusak.

CucokStory · Urban
Not enough ratings
160 Chs

Tiga

Senyum menghiasi bibir tipis milik Amara, Ia pandang taman yang baru saja Ia buat. Terlihat menyegarkan mata, dibandingkan sebelumnya yang hanya ditumbuhi rumput. Mungkin, besok Ia bisa menambahkan bunga lagi.

"Wah, bisa jadi bagus gini ya Non." Bik Asih datang dengan membawa nampan berisi minuman dan cemilan untuk majikannya, Ia letakan nampan itu di meja teras.

Amara menoleh tersenyum tipis pada pembantunya, gadis itu melepas sarung tangannya. Kemudian mencuci telapak tangannya di keran samping rumah. Setelahnya Ia hampiri Bik Asih yang tersenyum cerah ke arahnya.

"Besok masih mau saya tambahin Bik, enaknya tambahin apa ya?" tanyanya duduk di kursi teras, meminta pendapat dari wanita lanjut itu.

Bik Asih terlihat berpikir, telunjuknya mengetuk dagu pelan. "Ehm ... bunga matahari gimana Non?" tanyanya ragu.

Senyum Amara melebar, kepalanya mengangguk setuju dengan ucapan Bik Asih. "Iya, bunga matahari pasti akan menambah kesan ceria."

Bik Asih ikut tersenyum, syukurlah pendapatnya diterima. Selain itu, melihat Nyonyanya tersenyum seperti ini entah mengapa ikut menularkan kebahagiaan padanya. Padahal wanita itu baru kemarin resmi menjadi majikannya.

"Sini Bik duduk, saya mau tanya-tanya." Amara menunjuk kursi yang terletak di sebelah kursinya, hanya sebuah meja yang menjadi pembatas.

Bik Asih menurut. Wanita lanjut itu terlihat menunggu majikannya membuka suara. Tak seperti Tuannya Daneil yang mungkin tak pernah bicara padanya, hanya saat-saat tertentu saja. Nyonyanya ini terlihat jauh lebih hidup dan banyak bicara.

"Apa saja kebiasaan Daneil Bik?" tanya gadis itu memandang antusias pembantunya, tangannya menopang dagu.

Bik Asih tersenyum simpul. "Kebiasaan Tuan Daneil?" Ia berpikir terlebih dahulu, kembali mengingat-ingat kebiasaan Tuannya. "Bibik nggak tahu Non, soalnya Tuan Daneil jarang di rumah. Cuman kalau malam pulang untuk makan malam, pagipun Tuan Daneil nggak pernah sarapan." ujar Bik Asih tak enak hati.

Amara mengangguk mengerti. Mungkin benar kata Ibu mertuanya, jika Daneil terlalu gila kerja. "Oh, begitu ya."

"Kalau yang nggak disukain Daneil Bibi tahu?" Amara tak benyak berharap.

Lagi-lagi Bik Asih terlihat berpikir. "Bibi juga nggak tahu Non, cuman setahu Bibi Tuan Daneil itu paling nggak suka kalau barang-barangnya diganggu."

Oh, pantas saja lelaki itu marah saat Ia bergabung di kamarnya. Batin Amara mengerti.

"Ah iya!" Bik Asih menjetikan jarinya, teringat sesuatu. "Tuan Daneil juga nggak suka anak-anak," ujarnya mengangguk-angguk membenarkan.

Amara terlihat mengernyit, wajah gadis itu terlihat tak suka. "Kenapa?" tanyanya kemudian, tak dapat menutupi kebingungannya. Bukankah anak kecil itu lucu dan menggemaskan, jadi apa alasan lelaki itu hingga tak menyukai makhluk mungil itu.

Bik Asih menghela nafas, "menurut Tuan Daneil, anak kecil itu menjengkelkan. Apalagi kalau nangis, Tuan Daneil paling benci kalau ada anak kecil nangis." Bik Asih sendiri juga bingung, bukankah wajar jika Anak kecil menangis.

Amara tak berkomentar. Gadis itu kemudian kembali bertanya, kali ini Ia terlihat menunggu. "Kalau menurut Bibi, Daneil itu seperti apa sepanjang Bibi jadi Pembantunya?"

Bik Asih tersenyum tipis mendengar pertanyaan itu. "Menurut Bibi, Tuan Daneil itu terlalu dingin dan kaku. Tidak pernah tersenyum, tidak pernah tertawa, tapi juga tidak pernah menangis. Entahlah, Bibi sendiri juga sulit memahami seperti apa Tuan Daneil."

"Oke makasih Bi, sampai disini Saya udah bisa menyimpulkan seperti apa Daneil." Ujar Amara tersenyum tipis.

Bik Asih mengangguk. "Kalau gitu, saya tinggal beres-beres rumah dulu ya Non." ujarnya bangkit berdiri. Setelah mendapatkan anggukan dan senyuman simpul dari Nyonyanya, Ia berlalu masuk ke dalam rumah dengan membawa nampan.

"Sepertinya akan sangat sulit," gumam Amara pelan.

***

"Apa ada yang bisa dibantu, Bu?"

Amara memandang dua wanita yang kini berdiri dibalik meja resepsionis. Kedua wanita itu terlihat menunggu jawabannya masih dengan mempertahankan senyuman mereka. Tentu saja Gadis itu balik tersenyum dan mulai mengatakan keperluannya.

"Di mana ruangan Pak Daneil ya?" tanyanya kemudian.

"Pak Daneil Lew Brown?" Resepsionis itu tetap bertanya walaupun ragu. Jika benar, untuk apa wanita di hadapannya mencari pemilik perusahaan tempatnya bekerja ini? Tanyanya dalam hati.

"Iya,"

"Kalau boleh saya tahu, Ibu ini siapanya ya?"

"Istrinya,"

Dapat Amara lihat wajah terkejut kedua wanita itu, mereka terlihat saling pandang sebelum kemudian salah satunya mengangkat gagang telephone.

"Sebentar ya Bu," ujar wanita yang lain. "Bagaimana?" tanyanya kepada temannya yang baru saja menutup saluran telephone.

"Kata Desy, suruh aja masuk."

"Ehm ... Ibu bisa naik lift menuju ke lantai dua puluh tujuh, nah lantai itu ruangan Pak Daneil--" jeda sesaat, wanita dengan nametag Resty itu terlihat ragu. "-- ruangan suami Ibu," ujarnya akhirnya.

Amara mengangguk, mulai melangkah meninggalkan meja resepsionis itu. Ia melangkah menuju dimana pintu lift berada. Ia mengeratkan genggamannya pada tas yang saat ini Ia gunakan untuk menyimpan makanan yang sengaja Ia siapkan untuk suaminya. Masih dapat gadis itu dengar, suara berbisik dari dua resepsionis itu.

"Sejak kapan Pak Daneil nikah?"

"Nggak tahu, setahu Gue Pak Daneil nggak suka berkomitmen."

Huh!

Amara menghembuskan nafas lega saat pintu lift sudah tertutup. Gadis itu kemudian mulai menekan angka dimana ruangan suaminya berada. Tidak butuh waktu lama, pintu lift itu terbuka.

Baru saja keluar dari dalam lift. Ia sudah di sambut oleh seorang gadis yang dapat Amara tebak adalah sekretaris suaminya.

"Pak Daneilnya ada?" tanya Amara tepat setelah sampai di depan meja sekretaris itu.

"Ada Bu, Ibu bisa langsung masuk." Desy menunjuk sebuah pintu besar dengan ukiran rumit. Gadis itu berpikir jika memang benar wanita di hadapnnya adalah Istri Bosnya, mungkin saja mood Bosnya yang buruk sedari pagi dapat lebih membaik.

Amara meangangguk, mulai berjalan melewati meja itu. Gadis itu memandang terlebih dahulu pintu berwarna coklat itu, sebelum kemudian tangannya mengetuk pelan.

Tok! Tok! Tok!

"Masuk!"

Mendengar suara berat itu, tanpa pikir panjang Amara mendorong pintu kayu itu. Pemandangan pertama yang Ia lihat saat memasuki ruangan itu adalah suaminya yang tengah duduk berkutat dengan dokumen-dokumen yang Ia tak tahu. Lelaki itu masih belum mengangkat wajahnya.

"Daneil," dan panggilan dari Amara sukses mengalihkan perhatian lelaki itu. Tapi bukan senyum lebar yang Ia lihat, melainkan wajah menggelap suaminya.

Daneil terlihat langsung bangkit dari kursi kebesarannya, Ia putari meja untuk sampai di mana Amara berdiri. "Apa yang kamu lakukan disini?" tanyanya tak dapat menutupi nada tak sukanya.

Amara mengangkat tas yang sedari tadi Ia pegang. "Aku bawakan kamu makan siang," ujarnya tersenyum tipis, terdapat harapan di matanya.

"Sialan! Siapa yang mengizinkannya masuk?!" tanya Daneil pelan kepada dirinya sendiri menggeram marah, mengutuk orang yang menyuruh gadis di hadapnnya masuk ke dalam ruangannya.

Amara menunjuk Daneil, "kamu tadi yang menyuruhku masuk,"

Daneil mengusap kasar rambutnya. "Sebaiknya kamu pergi, aku saat ini sedang sibuk. Tidak ada waktu untuk meladenimu,"

Sudah Amara duga, pasti Ia akan diusir. Masih dengan senyum di bibir gadis itu tetap mengangkat tas berisi masakan buatannya itu. "Tidak sebelum kamu memakan makan siangmu,"

"Aku tidak ada waktu," Daneil berjalan akan meninggalkan Amara, sebelum kemudian kembali terhenti karena lengannya yang ditahan gadis itu.

"Makanlah, kamu tadi tidak sarapan Daneil. Aku tida mau kamu sakit," ujar Amara lembut.

"Apa urusanmu?" Sinis Daneil hanya melirik gadis itu.

Amara menghela nafas, "kalau begitu aku akan tetap di sini sampai kamu mau memakan makan siangmu."

Kali ini Laki-laki itu menoleh. "Sebenarnya apa maumu?" tanyanya kesal.

Amara mengedik, matanya menyorot pada tangannya yang setia membawa tas berisi makanan.

"Apa kalau aku menerima makanan itu, kamu akan segera pergi?"

Amara hanya mengangguk mendapat pertanyaan itu. Sedetik kemudian gadis itu tersenyum saat Daneil menyambar tas yang Ia bawa. Lelaki itu kemudian meletakannya di atas meja kerjanya.

"Sudah aku terima, jadi sekarang kamu bisa pergi." Daneil menunjuk pintu keluar pada gadis itu.

Amara menghembuskan nafasnya, menoleh sekilas pada pintu. "Ingat! Makan, makananmu." Peringat gadis itu. Kemudian mulai melangkah keluar.

Melihat Amara yang sudah keluar dari pintu ruangannya. Daneil menatap tas yang berisi kotak bekal di dalamnya. Sedetik kemudian lelaki itu mengambilnya lalu Ia buang ke dalam tempat sampah. Setelahnya Ia kembali pada meja kerjanya, duduk dan mulai kembali berkutat pada berkas-berkas.

Your gift is the motivation for my creation. Give me more motivation!

CucokStorycreators' thoughts