4 Empat

Amara keluar dari ruangan suaminya, lagi-lagi Ia dihadapkan oleh wajah sekretaris suaminya. Gadis itu terlihat tersenyum kepadanya setelah bangkit berdiri. Gadis yang baik, pikir Amara membalas senyuman itu. Amara pikir gadis itu mungkin seusianya, terlihat dari wajahnya.

Amara mulai melangkah memasuki pintu lift, menekan tombol menuju lantai dasar, dimana lobi berada. Setelah keluar dari kotak besi itu, Gadis itu mengernyit saat hampir semua orang memandang ke arahnya kemudian mulai menunduk hormat. Mengabaikan hal itu, Amara lebih memilih berlalu pergi.

Gadis itu dapat bernafas lega setelah sampai dimana mobilnya berada. Mobil yang memang Daneil sediakan untuknya. Mobil berwarna putih dengan kualitas terbaik.

Setelah berhasil duduk di kursi kemudi, gadis itu mulai menghela nafas. Ini terasa sulit, karena sikap Daneil yang sama sekali tak dapat disentuh. Lelaki itu bahkan langsung mengusirnya, tanpa berbasa-basi terlebih dahulu.

Amara tersenyum tipis, menyemangati dirinya sendiri. Ia pasti dapat menaklukan hati Daneil. Lelaki itu hanya perlu disentuh secara perlahan-lahan. Maka, kekeras kepalaan lelaki itu pasti akan melunak.

Amara tak akan membiarkan pernikahan ini berakhir, karena menurutnya pernikahan bukanlah sebuah permainan. Terlepas mereka menikah tanpa adanya cinta. Mereka bisa belajar saling mencintaikan? Yah, hanya dirinya sepertinya.

Amara mengeluarkan ponselnya dari dalam tas selempangnya. Gadis itu kemudian mulai mengetik pesan.

Daneil ....

Jangan lupa habiskan makan siangmu

Setelah terkirim, Gadis itu menunggu pesannya dibuka. Bahkan hingga satu menitpun pesannya belum di buka. Tersenyum getir, Amara lebih memilih menyalakan mesin mobilnya berlalu dari sana.

🌹🌹

Ting!

Getaran dari ponselnya, mengalihkan perhatian Daneil. Benda pipih itu menyala menampilkan sebuah pesan masuk yang terlihat di pintasan layar ponselnya. Ia mendengus melihat siapa yang mengiriminya pesan. Lelaki itu tak berminat sama sekali membuka pesan itu, apalagi membalasnya.

Drt ... drt ... drt ...

Daneil kembali melirik pada ponselnya yang kali ini berkelip-kelip menandakan adanya sebuah panggilan masuk. Lelaki itu pikir jika kali ini Amara meneleponnya karena pesannya tak Ia balas. Tapi dugaanya salah saat membaca nama siapa yang kali ini tertera di layar ponselnya.

Alexa

Tak ada ekspresi di wajahnya, namun tangannya mulai mengambil ponselnya. Ia geser tombol hijau, hingga terdengar suara seorang perempuan menyapanya.

"Hallo Daneil," suara itu terdengar mendayu lembut, menggoda.

"Ada apa?" tanya Daneil memutar kursinya menghadap jendela besar di ruangannya, yang menampilkan pemandangan bangunan-bangunan besar yang berdiri kokoh dan menjulang tinggi.

"Apa hari ini kamu sibuk?"

Daneil menghembuskan nafasnya, "ya aku sedang sibuk saat ini."

"Apa aku perlu datang dan menghiburmu? Kamu sedang di kantorkan?"

"Tidak,"

Terdengar dengusan dari seberang sana. "Aku tahu, kamu saat ini pasti sedang jenuh. Aku akan datang dan menghiburmu," lalu sambungan terputus. Membuat Daneil menghembuskan nafasnya kasar. Sebelum kemudian kembali memutar kursinya dan mulai berkutat pada pekerjaanya sebelumnya.

Selang beberapa menit, pintu ruangannya dibuka tanpa diketuk. Daneil sudah dapat menebak siapa orang yang berani melakukannya. Namun, lelaki itu terlihat sedikit tersentak saat yang Ia jumpai adalah kawannya sekaligus rekan bisnisnya.

"Ben, ada apa kau kemari?" tanya Daneil memandang temannya, Ben yang kini mengambil duduk di sofa ruangannya.

"Ternyata benar dugaanku, kau langsung bekerja." Terdapat nada bangga dalam kalimat yang diucapkannya itu.

Daneil memandang malas kawannya, "apa kau mendatangiku hanya untuk memastikan dugaanmu itu benar?"

Ben mengedik, "ya,"

"Apa kau tidak ada pekerjaan, Ben?" Kini Daneil tak menutupi wajah malasnya, seolah kedatangan lelaki itu memang benar-benar mengganggunya.

Ben tertawa, "jangan seperti itu Dude, ayolah apa salahnya jika aku mengunjungi kawanku yang gila kerja ini. Yah, mungkin juga sedikit menasehatinya..."

Daneil mendengus, tak menyahut. Bisa Ia tebak apa yang akan temannya itu bahas. Pastilah seputar pernikahannya yang tak penting itu.

"Btw, tadi gue denger-denger karyawan Lo ngomongin tentangm lo. Sekilas yang gue tangkap, mereka ngomongin tentang pernikahan lo dan istri lo, Niel. Emang lo sudah mengumumkan tentang pernikahan lo?" Ben memandang penuh minat pada Daneil yang masih setia berada di kursi kebesarannya, meneliti lembaran-demi lembaran kertas yang bernilai jutaan mungkin milyaran.

Daneil mendengus, tak sekalipun mengalihkan perhatiannya dari kertas yang saat ini Ia pegang. "Tadi dia kesini," ujarnya malas.

Ben terkejut, bahkan lelaki itu sampai menegakan punggungnya. "Apa maksud lo Istri lo? Amara?" tanyanya penuh minat.

"Ya,"

"Waw--"

'Ceklek'

Pintu yang terbuka mengalihkan perhatian dua pemuda itu. Berbeda dengan Daneil yang memandang biasa pada gadis yang baru saja masuk. Ben terlihat jauh tak suka, dengan memutar bola matanya malas. Jalang satu ini, geram Ben memandang Alexa. Bukankah Ia sudah mengetahui jika Daneil sudah memiliki Istri, tapi kenapa masih menemui temannya itu.

Alexa yang dipandang seperti itu oleh Ben, hanya meniakan alisnya tak peduli. "Oh, ada kau juga Ben." Ujar gadis itu bergeming.

Ben tersenyum tipis, senyum yang tak sampai ke matanya. "Yah..."

Alexa mulai tak peduli, gadis itu lebih memilih melangkah menghampiri Daneil yang terlihat sibuk berkutat dengan berkas-berkas lelaki itu. Ia berdiri di belakang kursi Daneil, akan memulai aksinya.

"Jalang mulai beraksi," ucapan malas milik Ben sukses menghentikan tangan Alexa yang baru akan menyentuh lengan Daneil.

Daneil ikut memandang Ben, sebelum kemudian menoleh memandang Alexa yang berdiri di belakang kursinya. Perempuan itu terlihat memandang penuh permusuhan pada temannya, Ben.

"Lebih baik kamu pergi," perintah Daneil pada Alexa yang susek membuat gadis itu terperangah tak percaya.

"Dan--"

"Udah diusir masih aja, bener-bener nggak ada harga diri." Cemoh Ben, lelaki itu memandang Alexa dengan pandangan mengejek.

"Pergi, Alexa!"

Alexa menatap tajam Ben yang kini tersenyum penuh kemenangan ke arahnya. Gadis itu kemudian lebih memilih memandang Daneil yang tak bergeming. "Baik, aku pergi. Karena sepertinya di sini ada pengganggu, nanti malam datanglah ke apartementku Daneil."

Ben mendengus, "padahal dirinya sendiri adalah pengganggu,"

Alexa tak peduli, Gadis itu mulai melangkah anggun meninggalkan ruangan Daniel. Tepat melewati Ben, gadis itu memberikan tatapan sinis. Sebelum kemudian benar-benar menghilang ditelan pintu keluar.

"Sebaiknya lo juga pergi Ben,"

Ben mengangguk mendengar ucapan Daneil, lelaki itu menepuk kedua pahanya sebelum kemudian bangkit berdiri. "Baik, aku pergi," Ben berjalan mengahampiri meja temannya.

"Kalau aku boleh memberimu saran, jauhi wanita penggoda itu. Ingat! Kau sudah mempunyai istri yang sempurna Dude," ujar Ben yang hanya mendapat dengusan dari Daneil.

"lo sendiri nggak ada bedanya dengan gue Ben, jadi tidak usah menggurui gue. Sebelum diri lo sendiri lebih baik dari gue," balas Daneil sinis.

Ben tertawa, tak menyangkal ucapan temannya sama sekali. "gue masih tahap mencari Dude, jika gue sudah menemukannya tentu gue nggak bakal menyia-nyiakannya."

"Terserah apa kata lo, lebih baik sekarang lo pergi Ben."

"Iya, iya. Ingat ucapan gue Niel. Jangan sia-siakan Dia," ujarnya berlalu pergi.

Daneil tak bergeming, sebelum kemudian menghembuskan nafasnya kasar. "Ben bodoh," lirihnya pelan.

avataravatar
Next chapter