Daneil dapat mendengar suara dari daun pintu kamarnya yang dibuka kemudian kembali ditutup. Lelaki itu tak sama sekali menoleh, masih setia membuka kancing kemejanya. Karena tentu saja Daneil sudah mengetahui siapa pelaku yang berani masuk ke dalam kamarnya--oh, kamar gadis itu juga.
"Apa Kamu tidak bisa berhenti dan menyapa Paman dan Bibiku terlebih dahulu?" tanya Amara langsung, nada suara terdengar tenang tapi penuh tuntutan untuk dijawab. Gadis itu bahkan tak peduli jika saat ini Daneil tengah bertelanjang dada. Saat ini, entah kenapa kemarahannya akan sikap lelaki itu tak dapat ditoleransi lagi.
Daniel membalikan tubuhnya, menatap Amara dengan salah satu alis menukik. "Tidak, lagian tidak ada gunanya juga." ujarnya ringan.
Amara terdiam untuk beberapa saat. "Aku tahu Kamu tidak menyukaiku dan pernikahan ini, tapi setidaknya hargai Paman dan Bibiku."
Daneil diam, wajahnya tak menunjukan ekspresi apa-apa.
"Seperti saat orang tuamu ke sini Daneil, Aku mohon jangan biarkan keluargaku tahu juga tentang kerusakan rumah tangga kita." Lanjut Amara penuh permohonan.
Lelaki itu masih diam di tempatnya. Tak ada sahutan.
Amara yang mulai memahami jika permohonannya ditolak lelaki itupun memilih untuk pasrah. "Aku tahu, itu pasti sulit untukmu." Kemudian Amara berbalik meninggalkan Daneil.
Amara menghela nafas berat saat dari atas undakan tangga melihat Paman, Bibi dan Adiknya hanya saling terdiam yang terdengar hanya suara dari televisi yang menyala. Pasti, sikap Daneil barusan sedikit banyak mengguncang mereka. Dan saat ini pikiran Mereka tengah menerka-nerka.
"Kenapa nggak dilanjut?" tanya Amara saat sampai di bawah.
"Mara, ada apa dengan suamimu?" Tanya Siska ragu.
Amara terdiam, kemudian tersenyum. Senyum yang Ia usahakan agar terlihat baik-baik saja. "Ada apa memangnya? Bibi, Bibi tahukan jika Perusahaan Daneil itu sangat besar. Suamiku itu kecapekan, jadi yah seperti itu sedikit banyak mengganggu moodnya." Alasan Amara.
Siska, Banu dan David saling pandang sebelum kemudian mengangguk pelan.
"Iya, benar. Ah, pasti Suamimu itu kelelahan. Paman tahu, perusahaannyakan sangat besar, oh dan banyak." ujar Banu menimpali heboh. Dimana itu hanya caranya agar suasana yang kaku dapat kembali cair.
"Iya, ya Paman. Pasti Kak Daneil saat ini capek sekali. Ah, Aku jadi ingin membantu." Kini David yang menimpali.
"Heh, Anak ingusan macam kamu memang bisa? Yang ada malah roboh gedung perusahaan Daneil jika Kamu yang membantu." Mendengar suara Bibinya itu membuat senyum Amara terbit. Sedangkan itu, David memberenggut sebal pada Siska.
"Benar, sayang. Aku setuju denganmu," ujar Banu semakin menggoda David.
"Kalian ini sangat mengesalkan Paman, Bibi." gumam David kemudian menjatuhkan tubuhnya di sofa.
***
Daneil menghela nafas, lelaki itu kemudian menyibak selimut yang baru saja membungkus tubuhnya. Ia ingin tak peduli dan mulai tidur, tapi ucapan Amara menganggunya. Gadis itu memintanya berpura-pura setidaknya hanya di depan keluarganya.
Dengan langkah gontai, lelaki itu turun dari ranjangnya. Mulai melangkah meninggalkan kamarnya. Ia masih dapat mendengar suara ramai dari arah ruang tengah.
Menuruni undakan tangga, Daneil berdiri menatap bagaimana keluarga itu terlihat sangat hangat. Keempat orang di sana masih belum menyadari akan kehadirannya. Membuat lelaki itu harus berdehem terlebih dahulu, barulah keberadaanya disadari.
Menarik senyum yang sangat sulit karena sebelumnya Daneil tak pernah melakukannya. Ia mengangguk pelan pada Siska dan Banu, Bibi dan Paman dari gadis itu bentuk dari sapaanya. Dimana Ia langsung mendapatkan senyuman secerah matahari dari kedua pasangan suami-istri itu.
Pandangan Daneil kembali pada Amara yang sudah berdiri, menatapnya penuh kebingungan. "Aku lapar, bisa temani Aku makan." ujarnya kemudian.
Perlahan senyum Amara merekah. Gadis itu mengangguk dengan semangat. "Tentu," untungnya Amara dapat menahan jeritan senangnya.
Setelah itu, Daneil berlalu menuju ruang makan. Disusul Amara di belakangnya.
"Mau Aku masakan makanan baru atau mau Aku hangatkan saja?" tanya Amara saat berdiri di hadapan Daneil yang duduk di kursi makan.
"Tidak perlu, panaskan saja."
Amara mengangguk, berjalan cepat ke dapur. Gadis itu dengan cekatan menghangatkan kembali masakannya tadi.
Tak butuh waktu lama, Amara membawa masakannya di hadapan Daneil. Setelahnya, gadis itu duduk di hadapan suaminya. Daneil terlihat langsung menyentong nasi, disusul lauk-pauk yang lainnya. Ia mulai memakan makanannya dalam diam.
Amara tersenyum melihat pemandangan itu. Untuk pertama kalinya, Daneil memakan masakannya. Banyak harapan gadis itu jika Daneil akan memuji masakannya.
"Apa Kamu suka? Aku berusaha memasaknya agar seperti masakan Momy," ujar Amara.
Daneil mendongak, meletakan sendoknya. "Tidak, Aku tidak suka ini." ujarnya kemudian, sukses melunturkan senyum Amara.
"Tidak enak ya?" tanyanya berusaha dengan senyuman.
Kini Daneil mengangguk, membenarkan. "Kamu tahu itu,"
"Yah,"
Melihat wajah kecewa Amara, membuat Daneil menghela nafas. "Ingat Amara, ini Aku lakukan hanya karena ada Keluargamu. Jika tidak, mana sudi Aku memakan masakanmu." ujarnya menekankan.
Amara terdiam. Kenapa harus sesakit ini. Sebelumnya Ia sudah tahu, tapi kenapa rasanya semenyakitkan ini saat Daneil langsung mengatakannya.
"Aku tahu," lirih Amara tanpa ekspresi. Tak ada air mata walaupun apa yang Ia dengar barusan sangat menyakitinya.
Daneil mengangguk, puas. "Bagus kalau Kamu mengetahuinya,"
"Apa mereka menginap?" tanya Daneil kembali.
Amara mendongak. "Ya, mungkin beberapa hari."
"Beberapa hari?" tanya Daneil tak percaya. Jadi, Ia harus berpura-pura tak hanya malam ini saja.
"Iya, tak masalahkan?"
Daneil menghela nafas. "Tidak, berdoa saja agar Aku tidak lupa diri dan mulai mengabaikan permohonanmu." ujar Daneil bangkit berdiri.
Amara ikut bangkit, menahan lengan lelaki itu. "Aku mohon, jangan sampai mereka mengetahui tentang pernikahan kita yang rusak."
Hanya pandangan malas yang Daneil berikan. Sebelum kemudian lelaki itu melepaskan cekalan Amara dan berlalu dari sana.
"Daneil!"
Kembali melewati ruang tengah, langkah Daneil kembali terhenti karena panggilan dari Banu, paman Amara.
"Sini, duduk Kita cerita bersama-sama." Lanjut Banu.
Daneil tersenyum tipis, senyum yang benar-benar tipis dan tak sampai di matanya. "Maaf Paman, Aku sudah sangat lelah. Aku ingin istirahat," ujarnya beralasan karena yang sejujurnya Ia tak ingin terjebak dengan kepalsuan dan sandiwara penuh drama. Dimana itu tak pernah Ia lakukan. Yah, dimana hanya dengan Ibunya Ia lakukan dan kini dengan keluarga dari Amara mungkin.
Banu memandang David yang juga tengah memandangnya. Lelaki yang berusia hampir setengah abad itu kemudian kembali memandang Daneil. Mengangguk cepat-cepat. "Oh, ya ya. Kalau begitu istirahatlah. Mungkin besok saja," ujar Banu tertawa hambar.
"Hehe, Iya Kakak Ipar. Besok saja Kita saling berceritanya. Sekarang kalau Kakak Ipar capek, Kakak istirahat saja." kini David ikut menimpali.
Daneil tak menanggapi, lelaki itu langsung membalikan tubuhnya dan berlalu menaiki undakan tangga menuju kamarnya. Membuat tiga orang yang berada di sana menghela nafas. Dengan pikiran yang berkecamuk, penasaran.
Nb.
Mohon dukungannya:)
Serius, dukungan kalian semangatku buat ngetik๐ค
Penciptaan itu sulit, dukung aku ~ Voting untuk aku!
Adakah pemikiran tentang kisah saya? Tinggalkan komentar dan saya akan menmbaca dengan serius