webnovel

Empat belas

"Daneil sarapan dulu," itu adalah suara dari Banu, Paman Amara pada Daneil yang baru saja turun dari lantai atas.

"Iya, Daneil. Ayo, sarapan dulu!" Kini Bibinya ikut menimpali, mengajak suami keponakannya itu agar bergabung sarapan.

Daneil menghentikan langkahnya, Ia memandang Banu yang tersenyum penuh arti, sebelum pandangannya jatuh pada Amara. Gadis itu memandang penuh dengan harapan, agar Ia menerima tawaran dari Banu, Pamannya.

Menghembuskan nafasnya, Daneil melangkah menuju meja makan. Lelaki itu menarik kursi untuknya duduk.

Melihat itu senyum Amara merekah. Gadis itu kemudian dengan cekatan mengambilkan sarapan untuk suaminya. Meletakkannya di hadapan Daneil.

"Kamu biasa sarapan atau tidak?" tanya Banu yang ikut senang karena Daneil mau ikut sarapan bersama.

Mendengar itu Daneil menghentikan tangannya yang baru akan menyuapkan sendok ke dalam mulutnya. Ia kemudian mendongak menatap paman dari Istrinya itu. Berdehem, Daneil mengangguk pelan.

"Daneil selalu sarapan Paman," timpal Amara tersenyum tipis, melirik suaminya.

"Memang harus seperti itu, karena itu dapat menambah keharmonisan rumah tangga kalian." Siska ikut berbicara, Ia tersenyum penuh arti.

"Aku belum menikah, Aku diam." Tak mau kalah, David menyela.

Kontan saja ucapan David mengundang delikan tajam dari Amara dan Siska. Sedangkan itu, Banu sudah tertawa geli. Pasti seru, batinnya mengetahui jika Keponakan laki-lakinya sebentar lagi akan terkena marah dari Amara dan istrinya.

"Kamu masih sangat lama, awas saja kalau sampai macam-macam. Bibi potong burung Kamu sampai habis." ancam Siska.

"Jangan hanya burung Bibi, kalau perlu sekalian lehernya." Amara menambahi dengan tajam.

David yang mendengar itu menelan ludah susah payah. Kenapa mendadak Kakak dan Bibinya jadi sekejam itu. Iakan hanya bercanda. Kenapa mereka menanggapi dengan serius.

"Aku hanya bercanda Kakak, Bibi." ujar David memelas.

"Awas saja kalau sampai macam-macam, Kakak akan benar-benar memotong burungmu."

"Iya, Kita potong lalu Kita bakar."

"Kami memang sering seperti ini Daneil. Jadi, Paman harap Kamu tidak kaget." Banu memberi tahu pada suami keponakannya itu untuk memaklumi.

Daneil tersenyum tipis, kemudian mengangguk pelan. Ia mengambil gelas di mejanya dan mulai meminum air di dalamnya.

"Kalian ini kejam sekali hiks." David mulai mendramalisir.

Daneil mendorong kursinya ke belakang, hingga menimbulkan suara berderit yang nyaring. Membuat semua mata langsung beralih menatap kepadanya. Karena memang itulah yang Daneil inginkan.

"Maaf Paman, Bibi. Saya harus berangkat sekarang karena memang ada meeting untuk pagi ini. Saya harap Paman dan Bibi tidak keberata," ujar Daneil.

Siska dan Banu saling pandang kemudian kembali memandang Daneil.

"Ah, ya tentu saja." Ujar Siska tersenyum memaklumi.

"Amara, antar suamimu dulu!" perintah Siska kepada Keponakan perempuannya.

Amara mengangguk kemudian bangkit berdiri. Membiarkan Daneil melangkah terlebih dahulu, sedangkan Ia mengikutinya.

"Kakak ipar kapan-kapan Aku ikut ke kantor ya?!" Teriak David yang hanya Daneil beri senyum tipis kemudian melanjutkan langkahnya.

Sampai di bagasi mobil, Daneil berbalik memandang Amara. Ia tatap tanpa ekspresi wajah istrinya. Sebelum kemudian berdecih pelan.

"Ingat ini Amara, hanya tiga hari dan lebih dari itu Aku tidak akan berpura-pura." peringkatnya.

Amara terdiam, kemudian mengangguk. Melihat anggukan dari gadis itu Daneil berlalu memasuki mobilnya. Meninggalkan Amara yang berdiri menatap kepergiannya.

Setelah melihat mobil milik suaminya berlalu keluar gerbang, Amara menghela nafas. Dalam hati Ia berdoa agar saat Daneil menghentikan kepura-puraannya, keluarganya sudah kembali ke rumah Pamannya. Ia tak mau jika sampai keluarganya tahu, mereka akan jadi sedih dan kepikiran.

***

Amara terus mengocok telur yang berada di dalam mixer. Saat ini gadis itu tengah membuat kue bersama Siska, Bibinya. Sedangkan Adik dan pamannya tengah berada di ruang tengah bermain PS.

Sesekali Siska melirik pada keponakannya yang terlihat fokus dengan pekerjaannya itu. Bibirnya terbuka siap berucap sebelum kemudian kembali tertutup. Bingung sendiri.

"Bibi, coklat bubuknya." ujar Amara mendongak, memandang sang Bibi yang ternyata juga tengah memandangnya.

"Eh, iya."

Kening Amara mengernyit melihat sikap Bibinya. "Ada apa Bibi?" tanya Amara ketika Siska memberikan coklat bubuk di adonan kuenya.

Siska mendongak, kemudian menggeleng pelan. "Tidak apa-apa," ujarnya.

Tak ingin memperpanjang, Amara hanya mengangguk. Ia kembali terfokus pada kegiatannya.

"Sudah, hanya tinggal menunggu matang." ujar Amara, setelah memasukkan adonan kue ke dalam oven.

Siska menghela nafas. "Amara," panggilnya pelan.

Amara mendongak, menatap penuh tanya pada Bibinya. Salah satu alisnya terangkat, seolah mengatakan bahwa Ia menunggu wanita berusia empat puluh tahunan itu melanjutkan ucapannya.

Siska tersenyum, Ia bawa telapak tangan gadis itu yang kotor ke wastafel. Kemudian membilasnya, hingga bersih. Membuat Amara semakin dibuat mengernyit.

Bagi Siska, Amara dan David sudah Ia anggap Anak. Setelah Kakak dan Kakak Iparnya meninggal dunia, Ia dan suaminyalah yang merawat.

"Apa Daneil memperlakukanmu dengan baik?" tanya Siska dengan sorot mata memandang Amara teduh. Seolah mengatakan agar gadis itu mengatakan yang sebenarnya.

Amara terdiam. Ia hampir saja akan luluh dengan sorot mata Bibinya, sebelum kemudian tersadar. Ia palingkan wajahnya, tak sanggup lama-lama menatap wajah Bibinya atau dia akan benar-benar luluh.

"Tentu saja Bibi, Dia sangat baik kepadaku." jawab Amara mencari kesibukan dengan membersihkan bekas peralatan kuenya.

"Bibi tahu, Kamu bo--"

"Hei kenapa lama sekali? Aku sudah menunggu." Banu datang bersamaan dengan suara oven yang berdenging.

Dalam hati Amara bersyukur karena Pamannya itu datang disaat yang tepat. Karena bisa dipastikan jika pamannya tak datang dan Bibinya terus bertanya, maka Ia akan luluh dan menceritakan pada adik dari Ibunya itu.

"Ini sudah matang Paman," Amara mengambil kue di dalam oven dengan sarung tangan. Kemudian Ia letakan di piring.

"Wah, sepertinya enak." ujar Banu berbinar.

"PAMAN! CEPAT!"

"IYA-IYA BAWEL!" Balas Banu berteriak pada David.

"Adikmu itu memang sangat sopan, menyuruh pamannya seenak jidatnya." gerutunya mengangkat piring berisi kue buatan Amara itu. Kemudian berlalu ke ruang tengah.

Amara hanya tersenyum mendengar itu. Sebelum kemudian tersadar jika Bibinya sedari tadi masih mengawasinya. Membuatnya menelan ludah.

"Bibi, biar Aku sendiri saja yang memberesi ini. Bibi susul saja Paman dan David," ujar Amara tersenyum tipis.

Siska menghela nafas, kemudian mengangguk pasrah. "Ingat ini, Walaupun Kamu sekarang sudah tidak tinggal lagi bersama Bibi. Tapi, Bibi akan selalu ada untuk Kamu. Jangan pernah sehan untuk bercerita dengan Bibi," pesannya kemudian berlalu.

Amara tak menyahut. Ia menatap punggung Bibinya yang menjauh. Sebelum kemudian Ia menarik nafas pelan.

"Apa terlalu kentara kerusakan pernikahan ini," tanyanya pada dirinya sendiri miris. Mengingat bagaimana Bibinya yang tidak percaya jika pernikahannya baik-baik saja.

Nb.

Aku mau ambil premium, jadi kemungkinan nggak akan update dulu. mau nylengin bab dulu. Kalian tenang aja, karena setelah premium aku wajib buat update 3000 kata sehari. Nah, banyakan. Jadi nggak papa ya updatenya di stop dulu hehehe 😁

Terimakasih untuk pengertiannya:)

Penciptaan itu sulit, dukung aku ~ Voting untuk aku!

Adakah pemikiran tentang kisah saya? Tinggalkan komentar dan saya akan membaca dengan serius

Hadiah anda adalah motivasi untuk kreasi saya. Beri aku lebih banyak motivasi!

CucokStorycreators' thoughts
Next chapter