23 Mereka Anak Kita

Napas Lin terengah, dengan langkahnya yang semakin tidak beraturan temponya. Ia berjalan begitu cepat, mencari kelas sang suami.

"Lin!"

Terdengar suara seorang pria memanggilnya.

Lin menghentikan langkahnya, berbalik badan untuk memastikan siapa yang memanggilnya.

"Kamu cari siapa, Lin?" tanya Mario.

"Eu … a—aku—"

"Cari Wat, Mario … siapa lagi …," sahut June, terdengar tidak senang.

Mario menepuk kening June, sebagai tanda teguran untuknya, karena terlalu ketus pada Lin.

"I—iya … aku cari Wat. Apa kalian melihatnya?"

"Coba kamu telpon saja. Tadi dia pergi ke klinik karena mengantuk. Mungkin masih berada di sana atau sudah ke kantin. Tas miliknya juga masih bersama kami," ujar Mario menunjuk tas milik Wat yang sejak tadi berada di pelukan June.

"Oh … baiklah. Aku coba hubungi dia dulu, ya," ujar Lin, kemudian menepi dari teman-teman Wat, yang terdiri dari Mario, June dan Tom, yang sejak tadi hanya diam karena sedang memakai headset dan memainkan ponselnya.

Lin mencari kontak nama sang sang suami di ponselnya. Kemudian ia menekan icon dial, untuk menghubungkannya pada Wat.

Nada dering standar telpon menjadi pengiring untuk menghubungkan komunikasi antara Lin dan Wat.

"Halo Lin, ada apa?" Wat menerima panggilan dari Lin.

"Wat, kamu dimana?" suara Lin terdengar panik.

"K—kamu kenapa, Lin? Baik-baik saja, bukan?" tanya Wat lagi, yang sangat hafal dengan nada bicara Lin dalam segala keadaan.

"Kamu dimana?" Lin bertanya lagi, terdengar semakin panik.

"D—di jalan. Ada apa, Lin?"

"Aku harus pulang. Sekarang bukan hanya Nas saja yang demam, tapi Pin juga," ujar Lin.

"Kamu dimana sekarang?"

"A—ku … bersama teman-temanmu …."

"Apa?!"

"A—aku di depan kelasmu. Sekarang sedang ramai orang dan aku bersama teman-temanmu."

"Apa mereka mendengarmu?"

"Tidak. Mereka masih berada di depan pintu, a—aku menepi untuk menghubungi kamu."

"Minta tasku pada mereka dan segera keluar dari area kampus. Aku akan menjemput kamu di tepi jalan," perintah Wat.

"B—baik Wat," balas Lin, segera mengakhiri panggilannya dengan sang suami.

Ia berjalan menghampiri June, Tom dan Mario. Dimana kini ketiga orang itu sedang berdiri di depan pintu kelas, seolah menghalangi orang yang berlalu lalang, keluar dan masuk kelas.

"Bagaimana, Lin?" tanya Mario.

"Wat sedang tidak di kampus. A—aku boleh mengambilkan tas miliknya? Aku akan membawakan tas itu untuknya."

June yang sejak tadi mendekap tas milik Wat, seolah tidak rela memberikan tas milik pria kebanggaannya itu pada Lin, yang disinyalir adalah kekasih Wat.

"June, berikan tas itu pada Lin," ucap Mario meminta June.

Sorot mata June menunjukkan ketidaksukaannya pada Lin.

"June!" gertak Tom. "Cepat berikan!"

June mengulurkan tangannya, memberikan tas milik Wat kepada Lin. Lin menerimanya, meski dengan perasaan ragu.

"Hmmm … t—terima kasih, ya … a—aku harus segera pergi."

Mario dan Tom tersenyum, memberikan anggukkan sebagai tanda memperbolehkan Lin untuk berlalu.

Lin melambaikan tangan kepada mereka, kemudian berlalu, menyusuri koridor dan mengarah ke jalan utama kampus.

***

Tin!

Wat membunyikan klakson, untuk memberi tanda kalau ia sudah berada di dekat Lin, yang kini sedang duduk di halte.

Terlihat Lin menghampiri mobil Wat sembari memeluk tas milik sang suami.

"Wat, kamu dari mana?" tanya Lin ketika masuk ke dalam mobil suaminya.

"A—ku baru saja mengantar teman yang sedang sakit. Maaf ya, membuat kamu menunggu," jawab Wat sembari membantu istrinya memakaikan seat belt.

"Tidak masalah," balas Lin, masih mampu tersenyum meski hatinya sedang sangat kacau.

"Jadi, kemana tujuan kita sekarang, Lin?"

"Ke rumah sakit."

Mobil Wat melaju lebih kencang dari sebelumnya, saat ia mengemudi seorang diri, sebelum mendapat panggilan dari Lin.

Ia diam, dengan mata yang sesekali melirik Lin. Istrinya terlihat sangat panik.

"Lin," panggil Wat.

"Hm?"

"Tenang ya … jangan terlalu dipikirkan. Pin dan Nas pasti baik-baik saja. Mungkin mereka kelelahan, karena terlalu aktif," ujar Wat, berusaha menenangkan istrinya.

"A—aku memang seharusnya merawat mereka, bukan menitipkannya pada ibu. Tetapi bukan berarti aku menyalahkan ibu, a—aku hanya merasa tidak enak pada ibu, karena harus ekstra mengurus anakku," papar Lin dengan kepanikannya.

"Mereka anak kita, Lin … aku juga sangat khawatir. Tapi tolong kondisikan dirimu, jangan terlalu panik seperti ini. Berdoalah, Pin dan Nas akan baik-baik saja dengan doa yang dipanjatkan oleh kita, orang tuanya."

Lin mengangguk, menuruti apa kata Wat.

Lin menundukkan kepalanya, memanjatkan doa untuk kesembuhan kedua anaknya yang kini sedang berada di rumah sakit. Belaian lembut didapatnya dari Wat, dimana kini tangan pria itu sudah berada di atas punggung tangan Lin, menggenggamnya erat, memberi kekuatan kepada istrinya.

Deg!

Lin lagi-lagi terbawa perasaan karena sentuhan lembut dari sang suami.

"Wat … terima kasih … terima kasih karena masih menerimaku dengan keadaan seperti ini, yang tidak benar mengurus kedua anak kita," ucap Lin, tertegun.

Wat tersenyum, dengan sesekali menoleh pada Lin. Tangan kirinya masih menggenggam tangan Lin dan tangan kanannya berada di kemudi.

"Mereka itu anak kita … bukan hanya kamu saja yang panik dan khawatir kalau terjadi sesuatu pada mereka. Aku juga khawatir, Lin. Aku sangat menyayangi Pin dan Nas, seperti kamu menyayangi mereka," tutur Wat memberikan pengertian kepada Lin.

'Dan aku berharap, cintamu padaku juga sebesar kamu mencintai anak kita, Wat,' batin Lin bergumam penuh harap.

Mobil Wat sudah masuk ke dalam area rumah sakit dan ia segera mencari tempat untuk memarkirkan mobilnya. Lin dan Wat sama-sama melepas seat belt mereka dan segera keluar dari mobil.

Wat menghampiri Lin dan menggenggam tangan Lin, kemudian keduanya melangkahkan kaki bersamaan menuju ke tempat yang sudah diberitahu sebelumnya oleh ibu Lin.

***

"Aaw!!!" pekik Win, ketika merasakan sakit pada tangannya saat ia membanting tubuhnya di atas ranjang.

Ia merintih dengan ceringainya, sembari mengusap tangannya yang masih berada dalam sing arm.

"Duuh … sakit sekali … ini semua karena Wat. Kalau saja dia tidak berlaku seperti tadi, aku tidak akan memikirkannya dan aku akan lebih berhati-hati," gerutunya yang menyadari, kalau ia sejak tadi memikirkan dan masih jelas diingatan kala Wat meminta ciuman darinya.

Win tersenyum, kemudian menunduk.

Sesaat mood nya berubah menjadi lebih baik.

"Ah! gila!" serunya kembali kesal karena tidak ingin mengakui, kalau dirinya kini sudah dihantui oleh bayangan seorang Water Ionataurus.

Win mengambil ponselnya. Ia melihat media sosial miliknya, namun mata Win menyorot pada beranda yang kini sedang terpampang nama Wat. Ia tertarik untuk melihat aktivitas yang baru saja di posting oleh Wat.

Win tersenyum, memutuskan untuk melihat postingan tersebut.

Tapi tidak saat ia melihat apa yang diposting oleh Wat.

"W—wat?"

avataravatar
Next chapter