22 Berikan Aku Ciumanmu

"Win?" panggil Wat.

"Hm? Ada apa?" tanya Win.

"Apa ka—"

"Maaf menyela, Wat. Kemarin aku bertemu dengan Lin," ujar Win memotong omongan Wat.

"Lin? Lalu?" tanya Wat dengan sorot mata yang kini tertuju pada Win.

"Aku bertanya … karena ingin tahu," jawab Win.

"Jangan ingin tahu, Win," balas Wat, kini sudah kembali menatap langit-langit dan memejamkan matanya.

"Bukan begitu … aku hanya penasaran dengan informasi yang beredar dengan kenyataan yang sepertinya … baik-baik saja," ujar Win.

"Hm."

Win mendengus, melihat Wat yang masih memejamkan matanya.

"Wat … meskipun kamu dan Lin memintaku untuk jangan ingin tahu, tetapi aku juga butuh kejelasan yang sebenarnya. Bukankah aku ini kekasihmu?"

"…"

Hening.

Tidak ada jawaban dari Wat.

"Wat?" panggil Win, kini menoleh pada Wat.

Ia melihat Wat menutup matanya. Win tersenyum, memandang wajah pria yang sudah membuat hatinya goyah dan mengurungkan niatnya untuk seorang wanita.

'Kamu memang pantas untuk diburu cintanya, Wat,' batin Win yang sebenarnya sudah kagum dengan Wat.

***

Wat membantu Win untuk berjalan, tetapi Win menepisnya.

"Kenapa, Win?" tanya Wat heran.

"Wat … yang terkilir itu tanganku, bukan kaki. Aku bisa berjalan sendiri," jawab Win, dengan gelengan kepala.

"Tapi kaki kamu pasti sakit, bukan?" tanya Wat, lagi-lagi mengusap kepala Win.

Win mendengus, bukan kesal. Ia hanya malu, karena masih ada dokter di klinik itu dan Wat sudah berlaku seperti kekasihnya.

"Wat … apa kamu yang akan mengantar Win?" tanya dokter itu, memberikan sebuah bungkusan yang berisi obat untuk Win.

"Iya," jawab Wat, tersenyum, sembari menerima bungkusan tersebut.

Wat dan Win berlalu dari klinik, untuk segera menuju ke area parkir mobil.

Wat mengambil kunci remote untuk me non-aktifkan alarm mobilnya. Ia meminta Win untuk segera masuk ke dalam mobilnya.

"Aku bisa Wat," ujar Win ketika Wat membukakan pintu mobil untuk Win.

Wat hanya tersenyum, tetap membiarkan dirinya membantu Win.

Setelah Win masuk ke dalam mobilnya, Wat juga menyusul masuk dan duduk di kursi kemudi.

"Hmmmm, Wat," panggil Win dengan raut yang terlihat bingung.

"Ada apa?"

"A—aku tidak bisa memakai seat belt," ujarnya, melirik pada tangannya yang berada di dalam arm sling.

Wat mengusap kepala Win dan membantunya memakaikan seat belt untuk Win.

Wajah mereka sangat dekat.

Kini keduanya saling bertatapan, dengan hati yang sama-sama bergetar.

Diam.

Tidak ada pergerakan ataupun suara yang keluar dari mulut keduanya.

"W—wat …?" panggil Win dengan mengerjapkan matanya.

"Berikan aku ciumanmu," bisik Wat, semakin mendekatkan tubuhnya pada Win.

Ia memiringkan kepalanya, ingin meraih bibir Win.

"Wat!" ucap Win membuat Wat tersentak dan tidak menambah pergerakannya.

"Kenapa?" tanya Wat.

"Sebaiknya kita segera pergi. Jangan macam-macam di area kampus," jawab Win dengan ceringainya.

Wat kembali ke posisi duduk yang sebenarnya, tepat di belakang kemudi. Ia mendengus kemudian kembali menoleh pada Win.

"Kamu ingin cepat pulang, ya?" tanya nya pada Win.

Win mengangguk.

"Kamu sudah tidak sabar ingin menciumku?" tanya Wat.

"Apa?! B—bukan se—"

"Aku mengerti Win. Mari kita melakukannya di rumah kamu," balas Wat, memotong ucapan Win, yang mulanya ingin memberikan penjelasan kepada Wat.

"Wat! Tapi a—"

Cup!

Wat mendaratkan bibirnya di pipi kanan Win.

"Jangan banyak tapi," ujar Wat, tersenyum seperti merasa puas.

Ia menghidupkan mesin mobilnya dengan segera dan mengemudikan mobilnya, berlalu dari area kampus.

Sepanjang perjalanan, tidak ada sepatah katapun yang diucapkan oleh Win. Ia hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Wat dan itu hanya seperlunya saja.

"Kemana lagi?" tanya Wat.

"Di depan belok kiri," jawab Win terdengar kaku.

Wat mengumbar senyum khas, seraya menggelengkan kepalanya.

Mengikuti petunjuk arah dari Win.

Hingga akhirnya Win meminta mobil Wat untuk menepi di sebuah rumah dengan cat warna abu-abu dengan garis vertikal hitam, membuat kesan minimalis.

"Kamu tinggal dengan siapa?" tanya Wat.

"Sendiri. Rumahku sekecil ini, mau tinggal dengan siapa lagi," gerutu.

Wat menaikkan alisnya, kemudian membantu Win melepas seat belt.

"Sebaiknya kamu langsung pulang saja ya, Wat," tutur Win, meminta Wat untuk tidak singgah di rumahnya.

"Memangnya kenapa? Aku tidak boleh singgah sebentar? Sekedar minum dan beristirahat?" tanya Wat yang sangat berharap Win mengizinkannya untuk singgah walau hanya sejenak.

"D—di rumahku sedang tidak ada orang," jawab Win.

"Bukankan kamu baru saja bilang kalau kamu hanya tinggal seorang diri di rumah?" tanya Wat, menangkap sesuatu yang lain dari Win.

"I—iya, t—tapi … aku ingin … i—istirahat," jawab Win seraya menyeringai.

Wat memalingkan pandangannya, tidak lagi melihat Win.

"Keluarlah," ucap Wat.

"Hm?"

"Keluarlah. Aku tahu, kamu tidak mengizinkanku untuk singgah, karena kamu tidak ingin memberikan ciumanmu, bukan?"

"…"

Win hanya diam, tidak menjawabnya.

"Sudah sana tu—"

Cup!

Sebuah kecupan mendarat di pipi kiri Wat.

Bola mata Wat membesar, merasakan bibir Win yang mendarat seketika di pipinya.

Ia diam dan segera menoleh pada Win, yang kini sedang melihatnya dengan ceringai.

"Kamu … serius?" tanya Wat masih tercengang.

"Menurutmu?" Win balik bertanya, masih dengan ceringainya.

"Kamu yakin?" tanya Wat lagi, ingin memastikan kalau tindakan Win itu benar-benar dilakukannya dengan sadar.

Win mengangguk, lagi-lagi menyeringai.

Tangan kiri Wat meraih bahu kanan Win. Ia sedikit memiringkan kepalanya dengan senyum sinis, khasnya.

"Kalau begitu … berikan aku ciumanmu," pinta Wat.

Wan menepis tangan Wat dan mendorongnya pelan.

"Itu … nanti dulu, ya …," ujar Win. "Hmm … t—terima kasih ya, Wat. Kamu … hati-hati di jalan. Aku keluar ya," lanjutnya kemudian membuka pintu mobil Wat dan segera keluar.

Ia segera berlari menuju ke depan pintu pagar rumahnya dan melambaikan tangannya pada Wat, menunggu mobil milik pria tampan itu berlalu dari hadapannya.

Sementara itu, Wat di dalam mobil masih merasa belum puas karena Win tidak mau memberikan ciuman untuknya. Ia mendengus kesal dan segera mengemudikan mobilnya, berlalu dari rumah Win.

Wat segera kembali ke kampus, karena masih ada satu mata kuliah yang mesti diikutinya. Ia mengemudikan mobilnya dengan laju, karena jam perkuliaha akan dimulai kurang lebih satu jam lagi.

Itu adalah rencananya.

Tetapi sepertinya ia harus benar-benar bolos kuliah hingga perkuliahannya selesai, ketika mendapat telpon dari sang istri.

"Halo Lin, ada apa?" tanya Wat sembari menyetir.

"Wat, kamu dimana?" suara Lin terdengar panik.

"K—kamu kenapa, Lin? Baik-baik saja, bukan?" tanya Wat lagi, yang sangat hafal dengan nada bicara Lin dalam segala keadaan.

"Kamu dimana?" Lin bertanya lagi, terdengar semakin panik.

"D—di jalan. Ada apa, Lin?"

"Aku harus pulang. Sekarang bukan hanya Nas saja yang demam, tapi Pin juga," ujar Lin.

"Kamu dimana sekarang?"

"A—ku … bersama teman-temanmu …."

avataravatar
Next chapter