webnovel

Rasakan Itu

"Merasa lebih baik?" tanya Bian perhatian. Mengalihkan secuil fokus jalanan pada perempuan yang mendadak jadi pendiam selama perjalanan ini.

"Saya baik atau tidak bukan urusan kamu." Berusaha untuk tak acuh, Tarana memalingkan wajahnya bertolak belakang dengan sisi pandang Bian. Menolak bertemu dengan lelaki itu. "Dan saya tidak akan berterima kasih atas tarikan tangan kamu yang tidak sopan itu."

Ya, benar. Sekali lagi, Bian menyelamatkannya dengan alasan butuh bantuan Tarana untuk mencoba tuxedo putih tersebut.

Hanya alasan semata. Karena pada akhirnya, Tarana yang menampik kasar tarikan itu untuk pergi seorang diri. Persetan dengan tingkahnya yang keterlaluan.

Sudah sejak lama Tarana menolak semua uluran tangan. Sejak lama Tarana selalu seperti ini, dan kali ini, Tarana tak membutuhkan siapa pun untuk hidup. Termasuk Bian sekalipun.

"Saya menarik kamu bukan untuk ucapan terima kasih kamu. Tapi karena saya merasa kamu membutuhkannya," jawab Bian bijak. "Saya bukan pengemis, kamu harus tahu itu."

"Ya sudah. Bagus. Jadi saya tidak perlu mengucapkan maaf dan terima kasih, bukan?" Tarana memakai kasar topi yang tergeletak di atas tas selempangnya. "Resek. Sok paling tahu."

"Yang sopan pada yang lebih berumur dari kamu, Tarana," peringat Bian tak senang. "Saya diam bukan berarti saya menerima perlakuan semena-mena kamu."

"Iya, Om," sahut Tarana asal-asalan.

"Saya bukan Om. Saya calon suami kamu, Tarana." Bian dibuatnya makin meradang. "Sampai sekarang tidak ada yang berani berbicara tidak sopan seperti itu pada saya. Kamu jangan menjadi salah satunya."

"Persetan," gerutu Tarana malas.

"Tarana," panggil Bian serius.

"Berisik."

"Tarana Manuella. Saya serius saat saya sedang berbicara sama kamu." Terpaksa, kendaraan beroda empat yang dikendarainya ditepikan di samping dahulu. Tak ingin mengambil resiko berdebat di situasi yang tak memungkinkan. "Lihat saya, Tarana."

"Kok berhenti, sih?!" Mencak-mencak, Tarana melotot kesal pada orang yang sama gondoknya dengan dirinya. "Jalan, gak?!"

"Tidak sampai kamu mendengar apa yang saya ucapkan."

"Ya saya dengar! Saya punya kuping!" Tarana berseru menolak untuk mengalah.

"Jangan berteriak di depan wajah saya, Tarana. Itu tidak sopan sama sekali," tutur Bian berat. "Lihat saya. Saya tidak ingin kamu begini terus sepanjang hidup kamu."

Tarana mendengkus remeh. Menyingkirkan tangkapan Bian dari pipinya. "Kenapa? Berurusan dengan tata krama lagi? Kalau saya berurusan dengan tata krama, mungkin tangan kamu sudah patah sejak pertama kali kamu menyentuh saya."

"Tarana."

"Apa?!" sentak Tarana gemas. Ingin dirinya melihat ke mata Bian? Baiklah! Semua yang pria itu mau akan Tarana kabulkan. "Puas kamu? Mau seberapa puas lagi kamu memerintah saya?"

"Ssstt …."

"Apa, sih?"

"Ssstt … diam. Saya mau kamu diam selama satu menit."

Satu menit yang menyiksa. Harus terus bersitatap, tanpa Bian mengizinkannya kabur begitu saja. Setiap kali Tarana ingin mengalihkannya kepada hal lain, Bian langsung tahu.

Kepekaannya di luar batas. Hal yang paling diidamkan setiap wanita, tapi tidak dengan Tarana yang sedang memaki dalam hati.

Satu menit itu kapan berakhirnya? Netra hitam pekatnya itu mengusik Tarana untuk berkata jujur. Bagaimana bisa? Tanpa ada kata-kata yang memaksa, membujuk Tarana untuk luluh dan jatuh dalam perangkapnya. "Ah, mungkin malam itu seperti ini, Bian."

"Kita tidak membicarakan lagi tentang malam itu, Tarana," cetus Bian datar. Tarana paling ahli menghancurkan suasana baik yang mulai tercipta. "Saya tidak sadar, kamu tidak sadar. Kita berdua sama-sama salah."

"Kalau malam itu terjadi lagi, hm? Kamu melakukan apa kali ini?" tanya Tarana mendongak naik ke atas.

Bian menggeleng kecil. Mengetukkan ujung jarinya hampa pada stir mobil. "Saya akan tetap melakukan hal yang sama, Tarana."

Bugh!

"Tarana Manuella! Shit!" umpat Bian mendelik kesal.

Bayangkan saja. Pipinya mendapatkan hantaman menyakitkan sementara sebentar lagi resepsi akan diadakan. Menganga untuk mengusir rasa kebas di rahang kirinya. "Tarana Manuella! Kamu sangat tidak sopan!"

"Makan tidak sopan itu," kata Tarana bengis. Lagi-lagi mengepalkan tinjuannya, mendaratkannya lantang di perut Bian.

Bugh!

Sekali lagi, pukulan kekejaman dari Tarana. Terlancar mulus ke perut kencang pria itu. "Pilihan saya untuk menikahi kamu tidak salah. Rasakan itu sepanjang pernikahan kita."

***

Mengingat tubuh atletis Tarana, rasanya sangat memungkinkan tangan semungil itu mengeluarkan tenaga berkali lipat dari yang semestinya.

Juga, pukulannya yang tepat sasaran. Di pipi, di perutnya yang menimbulkan sakit berkepanjangan. Tak pernah juga Bian menemukan seseorang yang begitu marah, begitu berambisi di sekitarnya.

Tapi jujur apa adanya. Tidak suka, bilang. Benci, memaki. Bian saja tidak pernah sebegitunya.

"Senyum-senyum sendiri, Bian?" Kyla mengangkat senyum lebarnya. Beralih ke depan Bian kala anaknya itu memutar tubuhnya. "Mikirin apa, Yan? Mama kira kamu enggak seneng sama pernikahan ini? Tarana ternyata cukup menarik, ya?"

"Mama tahu yang ada di hati Bian cuman siapa, Ma," sahut Bian tenang. Memperhatikan jemari lentik ibunya yang membetulkan seputaran kerah tuxedo yang dicobanya tadi. "Tapi ya ..., lumayan unik."

"Seunik apa?" Kyla mendekatkan diri, berbisik pelan agar percakapan mereka tak terdengar yang lain. "Seunik itu sampai bisa buat kamu senyum-senyum sendiri, Yan?"

Bian menyunggingkan bibirnya tanpa antusiasme berlebihan. "Mama bisa bantu aku?"

"Bisa. Apa?"

Perlengkapan make up sehabis dipakai Tarana ditunjuk oleh Bian. "Itu, Ma. Pakein ke aku."

Beberapa detik Kyla terdiam dalam kerutan tak pahamnya. "Buat apa, Bian?"

"Pakein yang bisa samarin ini, Ma." Bian memalingkan wajahnya ke kanan. Mengangkat pipinya guna menunjukkannya pada Kyla. "Takutnya nanti di tengah-tengah berubah jadi biru."

"Bian!" pekik Kyla terkejut. Tergesa menyentuh pipi Bian untuk menelitinya lebih lanjut. "Ini kenapa, Bian? Digigit binatang atau apa?"

Masa, mamanya belum menyadari maksud sesungguhnya dari Bian? Ya sudahlah. "Pakein aja, Ma. Aku gak ngerti kalau soal ginian. Nanti Tarana tunggu lama di akunya."

"Yan? Serius ini pipi kamu kenapa?" Panik, Kyla sengaja menekannya pelan. Mendengar Bian meringis, Kyla turut meringis juga. "Duh, Bian. Kenapa gak hati-hati, sih?"

Lihat? Bahkan mamanya saja menyalahkan dirinya. Tidak ada yang pernah menyangka, atau bahkan mempercayai cerita dari mulutnya mengenai seorang Tarana, bukan?

Sungguh wanita yang picik, tapi unik. Bukan karena pukulannya itu, tapi karena kemudahannya mengekspresikan perasaannya. "Udah, Ma. Nanti telat."

***

"Tar?"

"Gosh! Kenapa ... selalu ... mengejutkan saya!" Tarana menaikkan tangannya, bersiap memberikan pukulan beruntunnya.

Tapi untungnya, sejak kejadian di mobil tadi, Bian lebih waspada sekarang. Menarik Tarana mundur dari peredaran, menghilang dari wilayah belakang ballroom pernikahan untuk sesaat. "Jangan biasakan suka memukul orang, Tarana. Itu tidak baik."

"Memangnya kamu orang tua saya?" tantang Tarana bersedekap dada. "Di mata saya, kamu tidak lebih dari seorang yang harus bertanggung jawab atas apa yang saya alami. Karena itu, jangan ceramahi saya!"