webnovel

Kalau Sebagai Ayah?

"Oke, pertama, saya minta maaf atas kejadian yang lalu, Tarana," ungkap Bian tulus. "Tapi, kita berdua tahu ada yang lebih penting untuk dibahas, bukan?"

"Apa memangnya?" Sudut lancip high heels tingginya mematuk seiring detik yang bergulir di antara dirinya dan Bian. "Kamu tahu, kan, kita tidak punya cukup waktu untuk berbicara begini?"

Bian merendahkan pembuangan napasnya. Berenang sedalam mungkin pada langit berkabut di indra penglihatan Tarana. Lebih dari apa pun yang pernah ditemui Bian. "Kamu tahu, kan, umur saya berapa, Tarana?"

"Tahu," sahut Tarana malas. Mendesah kuat kala Bian bertanya hal yang tidak penting. "Kenapa? Ingin memangkas umur kamu agar setara dengan saya?"

"Ah, kelakuan dan sifat kamu yang ini juga saya ingin kamu memperbaikinya. Pertama ...." Telunjuk yang menyudutkan Bian dibuang oleh Tarana. "Hindari penunjukkan seperti ini. Saya tidak suka. Berbicara yang baik pada saya, dan hormati saya. Saya juga akan seperti itu pada kamu."

"Atau apa?" tantang Tarana maju selangkah. "Kamu ingin berbuat seperti itu pada saya?"

"Tidak ada hal yang tidak mungkin, kalau kamu memaksanya, Tarana. Dan mundur. Jangan suka begini."

"Kalau saya suka, kamu mau apa?" Tarana sengaja mencegat lanjutan pergerakan Bian. Menghimpitnya di dinding dengan tangannya yang merentang di sisi kiri dan kanan. Persetan pada harga diri.

Mulai tersulut, enggan merasa terhina, Bian ikut mencondongkan lehernya di sisi kepala Tarana.

Bukan hanya wanita itu saja yang bisa. Ia sedari tadi menunggu dan mencoba bersabar. Tapi ada kalanya, pria ini juga tidak bisa sesabar itu. Berbisik pelan mendayu, "Jangan menangis kalau saya melakukannya, Tarana."

"Saya tidak akan menahan diri lagi saat pulang. Dan saat itu, saya akan membuat kamu tidak berani melakukan ... hal ini lagi. Apalagi saat berduaan dengan saya," bisik Bian menyelipkan untaian rambut Tarana ke belakang.

Refleks, darah Tarana berdesir kuat. Pun, dadanya yang bermain layaknya gendrang. Maklum, ini adalah kedekatan pertamanya dengan pria.

Tak pernah ia berada sedekat ini, tak pernah juga bertingkah senekat ini dengan lelaki mana pun.

Sialnya, Bian menjadi yang pertama, dan mungkin juga jadi yang terakhir. Satu hal, Tarana benci fakta itu.

***

'Wise man says, only fools rush in.'

Dulu ia sering menghadiri pernikahan kala lagu ini tengah mengalun indah di telinganya. Saat itu sekalipun Tarana tak pernah berpikir untuk mencari lelaki.

Semua lelaki terlanjur buruk di matanya. Baik yang tulus, baik yang memiliki rencana buruk. Bahkan tidak jarang sehabis Tarana memutuskan kontak dengan mereka, yang Tarana dapatkan adalah teror beruntun.

Orang tuanya mana tahu? Hanya Diana yang pernah Tarana beritahu. Kini Diana sudah tidak ada, Tarana harus ke mana? Ia hilang. Tersesat di jalan.

"Karena kita berdua sedang di sini, saya masih ingin melanjutkan percakapan yang tertunda." Bian nampak perhatian pada setiap langkah yang Tarana ambil. Dengan gaya tomboy-nya yang tak pengertian akan gaun pengantin panjangnya, sesungguhnya, Bian cemas kalau Tarana akan terjatuh nantinya.

Syukurlah, Tarana dirangkulnya. Bian hanya perlu berhati-hati untuk tak menginjak gaun Tarana saja. "Saya empat dua. Kamu dua lima. Kamu tidak bermasalah dengan perbedaan usia kita?"

"Kalaupun usia kamu enam puluh tahun, saya juga bersedia menikah dengan kamu. Kamu pikir saya akan membiarkan kamu bebas berkeliaran tanpa tanggung jawab?" cerocos Tarana ikut berbisik. Setidaknya, berusaha memperbaiki ekspresi wajah kakunya itu.

Kalimat itu akan terdengar manis jika saja Tarana tak menambahkan kalimat selanjutnya. Sungguh pengendali emosi yang buruk. "Dan lagi, saya sudah pernah menikah. Kamu bermasalah?"

"Kamu sengaja ingin mengajak ribut sekarang, ya?" Proses perjalanan mereka ke panggung kenapa rasanya begitu panjang? Ditontoni ratusan orang dalam ballroom megah, Tarana harus terus menjaga senyumannya agar tak luntur. "Saya bersedia mencubit kamu sekarang, ya."

"Kenapa ancaman kamu selalu seputar mengenai kekerasan fisik, Tarana? Saya masih tidak mengerti sampai sekarang."

Tarana bungkam seribu bahasa. Bukan karena tak bisa membalas, tapi menolak untuk menggali lebih dalam mengenai dirinya.

Dia di sini berperan sebagai Diana Manuella, bukan Tarana Manuella. Untuk apa dirinya yang bercelah ini diungkapkan pada dunia? Yang harusnya dunia ketahui adalah Diana, bukan Tarana. Seorang adik berandalan yang tak bisa memuaskan satu orang pun hingga kakaknya yang terkena imbasnya.

"Baiklah, saya artikan diamnya kamu bahwa kamu tidak bermasalah dengan status saya sebagai duda. Tapi kalau sebagai ayah?"

Pas ketika keduanya hendak menanjaki anak tangga kecil menuju panggung lebar. Terdiam sempurna mencerna penuturan tadi.

Tarana tidak bodoh. Paham betul maksud dari pertanyaan Bian tadi. Kemudian, seluruh tubuhnya mulai bereaksi, tapi harus menahan diri. Gemetar tidak karuan karena darah yang mengalir kuat di balik kulitnya.

Sebenarnya, siapa yang membohongi siapa?

Maksud dari pernikahan ini apa?

Kenapa Tarana yang merasa terbodohi?

"Masih ada waktu kalau kamu ingin membatalkannya, Tarana," tutur Bian sekali lagi. "Saya akan bertanggung jawab dengan cara saya, tapi saya tidak ingin kamu tersiksa. Hanya itu yang ingin saya katakan sekarang."

***

PLAK!

Rasanya, satu pukulan saja tidak cukup untuk mewakili isi hati Tarana saat ini.

Seberapa kacaunya dia mendengar bahwa Bian bukan hanya seorang duda lajang, tapi juga seorang ayah? "Dasar brengsek. Kenapa kamu baru memberitahu saya tepat di depan panggung tadi?!"

"Saya mencoba, tapi tidak mendapat kesempatan." Untunglah, bukan pipi kirinya yang bengkak tadi. Melainkan bagian lain dari wajahnya.

Lalu, dirinya juga pantas mendapatkannya. Ia membuat Tarana terkejut di depan umum, juga membuat Tarana nyaris hilang kendali.

Tapi Bian akui, bahwa untuk seukuran Tarana, pengendalian dirinya cukup baik. "Di mobil kamu diam, bertengkar dengan saya. Lalu saat fitting baju tadi, kamu meninggalkan saya. Coba hitung kedepannya berapa banyak kamu meninggalkan saya nantinya."

"Diam!" sentak Tarana mengamuk. "Ini bukan saatnya untuk bercanda, ya, Bian! Saya marah kalau kamu tahu itu!"

"Memangnya itu mengubah keputusan kamu meminta pertanggung jawaban saya?" tanya Bian kikuk. Masih meringis bahwa pipi kiri dan kanannya terasa ngilu di saat yang bersamaan. "Satu lagi permintaan saya. Jangan memukuli saya lagi."

"Tentu saja, Bodoh! Saya ini berusia dua puluh lima tahun, Bian! Saya ingin hidup yang bebas!" balas Tarana mencak-mencak. Lebih ke arah ... kesal sebenarnya. Skleranya pun memerah tanpa dimintanya. "Bian menyebalkan."

"Sudah cukup mengumpati sayanya, Tarana. Saya memaklumi untuk sekarang, tapi tidak di kemudian hari. Saya memaklumi pukulan hari ini, tapi tidak besok-besok. Saya yang menjadi kepala keluarga." Tarana dibimbingnya masuk ke dalam pintu. Tak lagi bertengger di halaman rumah saling berteriak. "Anak saya berusia empat tahun. Untuk beberapa hari kedepan, mama saya membiarkan kita berdua menikmati malam pertama-"

"Malam pertama apa? Omong kosong," dengus Tarana sebal. "Jemput dia sekarang. Kita ke sana."