webnovel

Ataya

"Natayaaa!!!"

Tarana tak pernah lebih bersemangat dari ini. Melakukan penyambutan yang dilaksanakannya sepenuh hati tanpa terbeban sedikit pun di dalam hatinya. Tanpa paksaan, membentangkan tangannya selebar yang ia bisa.

Memberikan Nataya ruang lebih agar bisa menubruk tubuh kecilnya hingga terhuyung ke belakang.

Persetan dengan tas berisi ponsel atau alat make up yang jatuh bersama tas bahunya. Yang lebih ia pentingkan sekarang Nataya yang sama berantusiasnya seperti dirinya.

Setidaknya, ia tidak sendiri.

Syukurnya, rentangan tangan Tarana disambut dengan baik oleh Nataya. Bukan masalah malu, namun perihal tentang sakit hati. Mengusak pipi lembut itu dengan sapaan hangat. "Nataya sekolahnya gimana hari ini, hm?"

Lingkaran dari perempuan yang rambutnya terikat satu, tapi sudah awut-awutan mengangguk kecil. Tapi kemudian, bola matanya bergulir cepat ke belakang Tarana. Begitu juga semudah melepaskan rangkulannya untuk memutar kepalanya kanan-kiri. "Grandpa grandma di mana, Tante?"

"Mulai sekarang Tante yang jemput kamu, Nataya," ujar Tarana menurunkan Nataya hingga kakinya menapak jelas di tanah. Berjongkok agar tingginya sama rata. "Mau, kan, Nataya?"

"Kalau ... Papa?" tanyanya malu-malu. Jarinya terpilin grogi di belakang sana. "Enggak dateng lagi, Tante?"

"Papa sibuk, Sayang." Tangan bersih Tarana sigap menyisir pandangan Nataya agar lebih jelas menatap ke arahnya. "Lain kali, ya? Sebagai gantinya, Tante ajak Nataya jalan-jalan dulu mau?"

"Ke mana?" tanya Nataya tampak berantusias. Semudah itu melupakan perkara sedih di hatinya.

Ah, Tarana juga kalau bisa, ingin menjadi anak-anak lagi. Tapi, Tarana akan lebih memilih untuk dewasa sebelum umurnya untuk melindungi apa yang ia punya.

Kalau hidupnya terulang kembali, Tarana akan tetap memilih jalan yang sama. Mengurus anak berumur empat nyaris lima tahun yang mungkin ..., kurang dekat dengan Bian. "Tas Nataya kasih dulu ke Tante. Terus Nataya pasang helm ke kepala Nataya. Oke?"

***

B.

Kontak itu tak ada hentinya memanggil sejak lima menit yang lalu. Padahal, lima menit yang lalu baru dipergunakan Tarana untuk bersantai ria di taman lapang ini setelah mengajak Nataya berkendara keliling dengan sepeda motornya, baru berhenti di rerumputan hijau tempat Nataya dan anak-anak lain bergabung.

Belum apa-apa, Bian sudah merusak kebahagiaan dan waktunya melewati siang hari damai ini. Dasar kurang ajar. "Apa, Bian? Tidak bisakah kamu mengirimkan saya pesan saja? Bagaimana kalau saya lagi berkendara lalu kamu mengganggu saya, huh?"

"Tapi buktinya kamu tidak berkendara, Tarana. Kamu ada di mana? Saya mendengar Nataya belum masuk ke daycare-nya."

Itu bukan peringatan belaka, tapi suruhan agar Tarana jangan berani bermacam-macam selain di luar rutinitas Nataya. "Di mana dia? Saya khawatir."

"Sedang bermain di taman, Bian. Kamu harus tenang sedikit sebagai ayahnya. Saya yang kena imbas ini," dengus Tarana kencang-kencang. "Pindahkan voice ini jadi video call kalau kamu tidak percaya. Saya tunjukkan dia sekarang."

"No. Panggil dia ke sini sekarang," titah Bian dalam. "Waktu makan siang saya hampir habis, Tarana. Jangan membuang waktu saya."

"Ya, ya." Tarana nampak melambai malas pada Nataya. "Ata! Papa telepon, nih! Katanya Papa kangen Ataya, loh!"

Ata? Ataya? Kenapa panggilan itu membuat bulu kuduknya merinding sekaligus terdengar menggemaskan dan memberi selimut spesial?

Sudut bibir Bian berkedut tidak pada waktu ataupun tempat yang tepat. Ah, sial. Tarana pandai sekali membolak-balikkan emosi yang terbuka jadi menelungkup lagi.

Namun, belum sempat mulut Bian terbuka menyapa pekikan semangat, panggilan suara itu telah berubah menjadi panggilan video. Menunggu untuk disetujui oleh Bian dalam waktu satu menit. "Dia paling suka mengerjai saya, memang."

Tok! Tok!

"Bian-"

Telunjuk Bian menempel di ujung bibir lembabnya sendiri. Membungkam dirinya juga manusia lain yang masuk ke dalam ruangannya sementara. "Beri saya waktu dua puluh menit. Siapa pun itu, tolong tunda sampai waktu yang saya minta selesai."

"Nataya, ya?" tanyanya terlihat tertarik. Berusaha berjingkat untuk melihat apa yang dilakukan oleh Bian. Dengan berbisik, mengajukan pertanyaan lain, "Saya boleh ikut sapa, gak?"

"Enggak dulu. Saya minta maaf," ujar Bian cepat. Tahu ponselnya dilirik, layarnya ditelungkupkan searah dengan permukaan meja. "Sekarang boleh permisi, Gladys?"

"Oh, oke."

Secepat itu Gladys mengerti, secepat itu pula perempuan itu sudah menghilang di balik pintu sembari menghela napasnya lelah.

Memastikan tak ada siapa-siapa lagi yang mengganggunya, di detik-detik terakhir, tombol hijau digulirnya naik ke atas. Menyetujui panggilan masuk ke dalam ponselnya ini.

Jujur saja. Bian tak pernah melakukan panggilan seperti ini dalam situasi apa pun. Ini pertama kalinya, karena juga Nataya menunggu di seberang sana.

Wanita yang selalu berinisiatif untuk mendekatkan keduanya tanpa celah. Tanpa banyak pertimbangan, bertindak langsung tanpa perlu kesulitan memikirkan perasaan orang lain.

Justru di sana kelebihannya. Terlalu banyak berpikir kadang tak selalu berhasil baik, bukan? "Halo? Nataya? Bisa lihat sama denger Papa enggak?"

"Tante! Tante! Ada Papa di sana!" sorak Nataya takjub. Dengan polosnya mengusap layar ponsel Tarana yang dipenuhi muka Bian di sana. "Papa! Ini Nataya!"

"Iya, Nataya. Papa gak bisa lihat kamu dengan jelas kalau kamu penuhin kameranya," jawab Bian terkekeh geli. Pengalaman pertama yang rupanya tidak buruk juga. Ia senang, juga bahagia di lingkup monotonnya kini. "Tante mana Tante?"

"Tante di belakang aku, Pa!" Terlihat jelas Nataya menggerakan langsung ponsel Nataya ke Tarana. Tapi kemudian, Tarana meletakkannya di bangku taman. Otomatis berhadapan dengan Nataya, dan Tarana di belakangnya yang mengunci mulut.

Ah, dua perempuan berharga ini menghabiskan waktu bersama-sama. Rasanya Bian juga ingin menanggalkan semua pekerjaannya untuk bergabung dan menghabiskan waktu.

Hidup Bian tak pernah sebegini berwarnanya. Indah. "Nataya tadi lagi ngapain?"

"Lagi main bola, Pa. Terus kaki Nataya berkali-kali kena bola, terus kotor," adu Nataya cemberut.

"Eh? Kenapa-napa gak?"

"Bolanya bola karet, Bian," timpal Tarana menenangkan. "Saya juga perhatiin Nataya pas lagi main. Kamu bisa percaya sama saya, Bian."

"Kamu aja gak kabarin kalau kamu ajak Nataya ke tempat lain, Tar. Gimana saya bisa percaya sama kamu?" cerocos Bian jengkel. "Nataya dengerin Papa, ya. Ke mana-mana harus pinjem ponsel Tante buat hubungin Papa. Kasih tahu kamu mau ke mana, biar Papa enggak khawatir."

"Jangan berlebihan, deh, Bian."

"Setuju, ya, Nataya?" tanya Bian mengalihkan pertanyaannya pada anak yang nyaris mengambil kapasitas delapan puluh persen kamera Tarana. "Kalau kamu yang minta, Tante gak bisa ngapa-ngapain. Gak bisa bantah Papa. Jadi harus kamu yang minta."

"Bian!" Tarana berdecak kesal. "Jangan sampai saya matiin sepihak, ya."

"Mana bisa. Ada Nataya di depan kamu," ledek Bian berbalasan. Namun, bedanya tak ada kejengkelan di sana. "Nataya masih mau teleponan sama Papa, 'kan?"

Nataya mengangguk, tak lama sampai anggukannya berubah jadi gelengan. "Maunya Papa di sini. Sama Nataya."