webnovel

Posesif

Kring! Kring!

B.

Tarana sampai memutar bola matanya malas karena dering ini masuk kedua kalinya di ponselnya. Pun, karena menemani Nataya keliling-keliling, karena menemani Bian untuk menelepon Nataya, ia jadi kehilangan sepuluh menit waktu makan siangnya!

Ah, persetan. Sambungan itu ia ubah menjadi video call, lagi. Malas sekali menanggapi kala mulutnya penuh dengan makanan instan.

Lama-lama ia jadi tidak bisa makan kalau terus meladeni kepentingan orang lain. Predikat menyebalkan mungkin harus ditaruh di belakang nama Bian nantinya.

Tak seperti pertama menelepon. Kini Bian mengangkatnya jauh lebih cepat dari yang pertama. Memperhatikan bagaimana gambaran wanita acuh-tak acuh itu mengubah sambungannya. "Nataya sudah diantar?"

Tarana mengangguk dengan sumpit dan kunyahan yang membuat mulutnya penuh. "He-eum."

"Makan apa?" Bian berbasa-basi lagi. Tak ingin sambungan ini putus semudah itu. "Kenapa tidak makan nasi?"

"Coba tebak, Bian," ujar Tarana tersenyum menyebalkan. "Siapa yang menghabiskan waktu istirahat siang saya?"

"Kamu yang mengajukan diri menjemput Nataya, Tar."

"Tapi siapa yang menghubungi saya, Bian?" tanya Tarana mendesis sebal. Menggunakan tisu untuk membersihkan pipinya karena ditampar sehelai mie "Saya masih punya waktu yang cukup kalau kamu tidak mengubungi saya."

"Saya hanya khawatir tentang Nataya, Tar." Bian mengalah, enggan memperpanjang masalah, tapi bukan berarti dirinya tak ingin membela diri. "Saya baru bisa tenang kalau Nataya ada di tempat yang saya ketahui keberadaannya. Begitu juga dengan kamu, Tar. Jangan anggap saya posesif karena saya tidak bisa merubah kebiasaan ini."

"Kamu posesif tapi tidak ingin dikatakan posesif. Terserah," cibir Tarana mengapit kasar untaian mie itu ke dalam mulutnya. "Memang dasarnya posesif ya posesif saja. Untuk apa mengelak fakta sejelas itu?"

"Jangan meracau. Makan," tutur Bian lagi. "Saya bukan posesif. Saya hanya khawatir saja."

"Posesif," ejek Tarana semakin meledek.

"Kalau waktu makan kamu habis, jangan salahkan saya, ya," peringat Bian menaikkan sebelah alisnya. "Dasar pengejek. Pembantah juga. Semakin saya melarang, semakin kamu melakukannya."

"Kenapa? Sudah mulai lelah padahal baru dua hari?" Tarana menyantap lagi sisa-sisa makanannya. Sekaligus mengunyah, sekalian berbicara juga. "Saya kira kamu lebih sabar dari itu, huh?"

Bian mengangguk, tak banyak berceloteh lagi. "Saat saya menikahi kamu, saya menerima baik buruknya diri kamu, Tarana. Tapi kamu juga harus tahu diri untuk membatasi diri kamu. Saya menerima kejelekan kamu selama di luar kebohongan dan perselingkuhan. Seharusnya tidak berat untuk kamu."

Oh, sial. Inilah mengapa makan sambil berbicara itu tidak dianjurkan. Makanan yang disantapnya berubah hambar, tak senikmat pertama dicecapnya. Pun, gerakan tangannya yang melambat itu.

"Jadi, kalau ada kebohongan sebaiknya kamu katakan sekarang, Tar. Sebelum semakin parah." Bian bersandar di bangku kebesarannya. "Adakah yang kamu sembunyikan dari saya?"

Tawar lebih mendominasi dari asinnya makanan instan ini. Sebelum berubah lebih parah, terburu-buru Tarana mengunyah semua makanannya untuk dicerna oleh lambungnya.

Ting!

Jam masuk kantor.

Alarm pengingat itu menghalau Tarana untuk memperhatikan raut datar dari Bian. Jari Tarana menggesernya naik selepas melepaskan dahaga kerongkongannya. "Saya duluan, Bian. Ini sudah jam masuk kantor."

"Lain kali kalau tidak sempat makan kabari saya, Tar." Bian mendahului sebelum Tarana mematikan ponselnya. Terbukti dari mata ambernya yang berkilat ke layar lagi. "Saya kirimkan makanan ke kantor kamu."

"Saya bisa bawa bekal, Bian. Saya saja membawakannya untuk kamu. Kenapa saya tidak bawa untuk diri saya sendiri?" tanya Tarana sinis. Tak sempat menunda lebih lama lagi, pemandangan di belakang Tarana berganti cepat.

"Ya, karena itu, Tar. Justru itu yang ingin saya tanyakan."

Dengusan Tarana terdengar menyapu mic ponselnya. "Saya matikan dulu. Pertanyaan kamu akan saya jawab dichat kalau saya ingat."

"Kamu harus mengingatnya seperti kamu yang menyuruh saya mengingat peristiwa empat tahun lalu, Tar-"

Tut!

Ya, selain sangat tenang, pribadi Bian sangat menyebalkan. Tarana tak dapat menampik fakta di mana ia sangat mudah dibuat kesal oleh pria itu!

"Tar! Tungguin gue! Jangan masuk ke lift dulu!"

Sial. Padahal satu kaki Tarana sudah menapak di dalam lift. Tapi kehadiran Claire yang berlari engap-engapan membawa dua buah gelas kopi mengganggu pemandangannya.

Bukan. Salah satu kopinya bisa tumpah kalau Tarana tidak membantu Claire membawanya. Cantik-cantik, tapi tak sesuai dengan tabiat dan sifatnya yang sangat sebelas-dua belas blangsaknya dengan Tarana.

Pantas saja keduanya cocok. "Kalian duluan aja. Saya nantian."

Dengan begitu, pintu lift tertutup meninggalkan Tarana yang menghela napasnya terlalu lelah. Lelah karena ia begitu setia kawan hingga tak sampai hati meninggalkan temannya yang kesusahan.

Walaupun jam masuk kantor kurang dari dua menit.

Tarana bisa apa? "Siniin minuman lo, Claire. Lo harus berhenti beli minuman di seberang sana kalau lo telat terus. Mau diomelin Bos, lo?"

"Cuman orang gila kali yang rela diomelin." Claire langsung meletakkan kedua gelas kopi itu di tangan Tarana. "Bentar. Gue capek banget. Sebelum lift kebuka lagi. Gue mau istirahat-"

"Too late," ejek Tarana terkekeh geli. Panah atas sudah ditekan Tarana memunculkan warna merah cerahnya. "Cuman orang gila yang rela diomelin demi temennya, Claire."

"Ya, lo kan emang gila," cemooh Claire asal. "Kelakuan lo dari empat tahun lalu gak pernah berubah. Sampe sekarang juga masih sama banget. Ngoceh terus tapi juga gak tinggalin gue."

Angka puluhan tidak kunjung juga berganti menjadi angka belasan. Angka merah menyala itu berhenti dari satu lantai, ke lantai lainnya, mengabaikan krisis yang dialami dua perempuan di lantai G! "Claire. Ini minuman buat siapa?"

"Buat Rallan- Tar! Ngapain lo minum?! Lo, kan, gak bisa minum kopi!" pekik Claire histeris. Memancing semua perhatian seperti yang selalu Claire lakukan. Paras cantiknya bertolak belakang dengan teriakan centil itu.

Persetan. Kalau Claire bilang Tarana sering kehilangan akal, iya. Tarana sering kehilangan itu. Kalau dicari pun, tak akan berjumpa.

Setengah gelas kopi itu dihabiskan Tarana. Hanya tersisa setengah lagi untuk Rallan. Masa bodoh. "Kita naik lewat tangga, Claire."

"Enggak mau!" tolak Claire terus-terang. "Gila aja naik lima belas lantai! Kaki gue bisa copot kali!"

"Paling telatnya lima belas menit, Claire. Dibanding lo liat itu angka gak ganti-ganti semenit yang lalu?"

"Paling berapa menit lagi berenti, Tar! Ih! Jangan gila, lah!"

Sayangnya, Tarana sudah terlanjur gila. Seakan mendukung keputusan Tarana, lift yang tadinya nyaris berhenti di lantainya, malah dalam keadaan perbaikan. Service. Begitulah yang tertera di lift itu.

Gigi-gigi rapih Tarana menampakkan eksistensinya. Menarik tangan Claire karena ia tahu, Claire tak bisa berbuat apa pun lagi. "Ikut gue, Claire. Muak gue tungguin lift lama kalau tangga lebih cepet."

"Lo ngomong kayak, 'Muak gue pacaran kalau nikah langsung bisa'."

Ya, memang itu fakta yang terjadi padanya, 'kan?