webnovel

Bab 6

Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya lagi.

Aku tidak pernah menduga atau berharap akan bertemu dengan dia lagi sampai kapan pun. Aku malah berharap kalau itu tidak pernah terjadi. Tapi..nyatanya alam semesta bahkan tidak mengabulkan harapanku sama sekali. Kami bahkan dipertemukan secepat ini.

"Rafael." Sapaku, lalu menelan ludah dengan gugup. Aku mundur sehingga pelukannya terlepas.

Lelaki itu menatapku dengan lekat sejak tadi yang membuat detak jantungku semakin berdentum dengan kacau.

"Hai, apa kabar?" tanyaku dengan nada yang kubuat buat sesantai mungkin. "Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu." Lanjutku.

Rafael mengerutkan keningnya, "Tentu saja kau tidak menyangkanya. Kau, bahkan terlihat seperti tidak ingin bertemu denganku lagi." Balasnya.

Aku membuka dan menutup mulutku. Bingung dengan kata kata apa aku harus membalas ucapan itu.

"Aku tidak bermaksud menyinggungmu. Maafkan aku. Aku hanya bercanda karena kau terlihat sangat terkejut." Dia tersenyum seperti psikopat yang sangat mudah mengubah ekspresi dengan cepat.

Itu terasa agak sedikit menyakitkan di hatiku karena dia ternyata tidak menganggap apa yang terjadi malam itu sebagai hal yang berarti seperti diriku, tapi...hei, bukankah itu yang aku inginkan?

Aku juga tidak ingin bertemu dengan Rafael lagi setelah malam itu karena tidak ingin menjalin hubungan dengan lelaki mana pun atau terlibat dengan emosi yang akan memperumit kehidupanku.

Hanya sekali, dan itu sudah cukup.

Di sisi lain aku juga merasa lega karena dia ternyata tidak melakukan apa apa padaku karena aku meninggalkannya setelah malam panas itu berakhir.

"Well, aku hanya terkejut karena kebetulan ini." Balasku, "Omong omong apa yang kau lakukan di sini, Rafael?"

Dia menaikkan bahu, melipat kedua tangan. Aku bisa melihat bagaimana otot otot seluruh lengannya bergerak di balik kemeja hitam itu. Aku juga masih bisa mengingat bagaimana rasanya saat menyentuh semua bagian tubuh Rafael. Dia keras, maskulin, dan begitu seksi.

Jika pakaian kasual yang dia pakai saat kami bertemu membuatnya terlihat keren dan santai, maka pakaian formal yang dia gunakan memberikan kesan yang berbeda bagiku, dia terlihat sedikit dominan dan mengintimidasi—typical orang orang pebisnis, dan aku menebak kalau opsi kedua adalah hal yang sebenarnya dari jati dirinya karena aku merasakannya saat kami melakukan percintaan panas malam itu. Dia terasa sangat dominan dan memerintah. Membuat wanita, dengan mudahnya bertekuk lutut dan memberikan apa yang dia inginkan.

Dan, itu membuatku sedikit ragu untuk menghabiskan waktu lebih lama.

Yang berbahaya. Karena rasanya aku sudah terjerat oleh segala pesona dan kesempurnaan yang ada di dalam dirinya.

"Makan siang bersama ayahku." Jawabnya, dia menatapku dari atas sampai bawah, "Kau makan siang juga?"

Aku mengangguk, "Ya."

"Dengan siapa?" tanyanya cepat dan terlihat sangat ingin tahu.

"Bosku."

"Pria?" Rafael menaikkan sebelah alisnya.

Aku menggeleng sembari menghela napas, "Dia wanita."

"Kenapa di sini?"

"Karena kebetulan dia adalah istri dari pemilik sekaligus chef restoran ini. Jadi, kami memilih menghemat uang dengan makan di sini daripada di tempat lain."

Rafael menatapku dengan terkejut tapi terlihat palsu dimataku. "Oh ya? Mr. Locatelli adalah suami bosmu? Berarti dia Yelena Locatelli?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Ya. Kau kenal bosku?"

Dia menarik senyum, "Of course I do. I really do. Aku benar benar mengenal mereka berdua. Aku juga sering makan siang di sini saat aku kebetulan berada di New York."

Napasku terasa seperti tersumbat di leherku saat mendengar ucapannya. Dia mengenal bosku, dan itu merupakan bencana. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti namun, aku sudah melihat peluang kalau di masa depan kami akan bertemu. Itu menakutkan karena aku benar benar tidak ingin bertemu dengannya.

"Oh ya, itu mengejutkan." Balasku kering, aku menatap jamku, berpura pura terkejut. "Maafkan aku, Rafael. Aku rasa kita bisa berbincang kapan kapan lagi karena, aku harus kembali ke kantorku. Waktu istirahatku akan habis."

Rafael tersenyum seraya menganggukkan kepalanya, "Kalau begitu sampai jumpa lagi, Aubrey." Ucapnya dengan manis.

Aku hanya menjawabnya dengan anggukan kepalaku dan melewatinya untuk kembali ke tujuan awalku. Toilet. Aku harus membasuh wajah dan menenangkan diriku sendiri karena apa yang baru terjadi. Aku mengikat rambut panjangku yang kugerai dan masuk ke dalam toilet yang benar benar kosong.

"Ini tidak akan berdampak apa apa, Abbey. Kau harusnya baik baik saja dan tidak seperti orang yang baru saja melihat hantu." Ucapku dalam hati, seraya membasuh wajahku di wastafel. "Dia tidak menyangkut apa pun tentang malam itu dan malam itu juga tidak berarti apa apa. Berhentilah khawatir." Lanjutku lagi.

Aku memakai beberapa skincare dasar di wajahku seperti serum, pelembab dan bedak, memakai lipstik dengan warna yang tidak mencolok, dan kemudian merapikan ikatan rambut kudaku. Musim semi sudah sedikit agak terasa panas di New York jadi aku tetap mengikat rambutku agar tidak gerah. Aku memasuk kan segala keperluanku di dalam tas setelah selesai lalu keluar dari toilet.

Aku membuka pintu, dan siapa yang ada di depan pintu membuatku hampir terkena serangan jantung untuk kedua kalinya.

"Apa yang kau lakukan di sini, Rafael?" tanyaku.

Dia berdiri dengan ekspresi dinginnya. Sangat berbeda dari lelaki yang baru saja kutemui. Dia terasa menyeramkan. "Aku menunggumu. Aku pikir kita harus berbicara." Ucapnya sembari melangkah maju dan membuatku mundur.

"Maafkan aku, tapi aku—kau tidak harus menutup pintunya, Rafael. Kita bisa bicara di luar."

Rasa takut dan was was menguasai diriku saat Rafael menutup pintu dengan sebelah tangan tanpa melepas tatapannya dariku. Dia mulai melangkah maju tapi berhenti saat aku mengangkat tangan sebatas dadanya, menyuruhnya berhenti.

"Apa yang kau inginkan dariku?"

"Bicara, dan sedikit...." dia menyentuh pergelangan tanganku, dan menarikku sehingga aku berada di pelukannya dengan cepat.

Aku refleks memberontak dari pelukan lengannya di sekeliling pinggangku sampai tasku turun dan jatuh ke lantai. Kemudian langkahku terdesak mundur karena dorongan tubuh besarnya. Punggungku menabrak dinding dan akhirnya aku terjebak dalam kuasa tubuh Rafael.

Aku menggigil saat napasnya menyentuh bibirku, hangat dan sedikit aroma wiski hadir di indra penciumanku. Tidak mungkin efek mabuk membuatnya kehilangan kontrol padaku. Karena, tadi dia terlihat sadar tanpa pengaruh apa pun dan bahkan sekarang. Aku mengedipkan mata dengan gerakan perlahan, saraf di dalam lubuk hatiku bergetar saat dia memindahkan bibirnya ke telingaku.

"Kenapa kau meninggalkanku?" tanyanya dengan rendah.

Aku menunduk. Tanganku mengepal di masing-masing sisi tubuhku. Aku berusaha menghitung satu sampai sepuluh untuk mengumpulkan keberanianku. Aku bukan Aubrey yang penakut lagi, sekarang aku sudah sepenuhnya berubah. Bahkan aku sudah bisa menatap kedua mata bibiku—Lucinda—tanpa bergetar ketakutan, dan menggunakan tanganku sebagai seharusnya, yaitu mencekik leher wanita itu.

Tapi kemunculan Rafael yang penuh dengan aura mengerikannya membuatku kembali ke versi diriku yang lalu. Penakut dan pengecut. Aku tidak ingin dia berpikir bahwa dia bisa mengendalikanku dengan mudah seperti yang bisa dia lakukan dengan wanita wanita lain. Jika aku ingin melawan predator, maka aku harus menunjukkan kenekatanku untuk melawannya agar dia berpikir berulang kali untuk berurusan denganku, bukan?

"Kenapa kau meninggalkanku pagi hari itu? Padahal aku sudah memerintahkanmu untuk tetap di sana."

Aku mengerutkan kening karena kata katanya. Dengan kenekatanku yang terkumpul dengan putus asa, aku menaikkan dagu, "Kenapa tidak? Aku tidak harus menuruti perintahmu, Rafael. Kita hanya dua orang asing yang bersenang senang tanpa ada kewajiban untuk melakukan hal di luar batas itu." Jawabku seraya mendorong dadanya dan hanya bergerak menjauh nol koma satu inci dari tubuhku.

Wajahnya menunduk menatapku dengan rahang mengeras. Dia tampak marah dan itu seksi sekali. Sialan. Aku mendongak membalas tatapan mata birunya dengan segala perlawanan yang bisa aku kumpulkan.

"Setidaknya kita bisa berbicara setelah itu."

"Tidak ada yang perlu dibicarakan setelah itu maupun sekarang!" balasku lagi.

Aku menyipitkan mataku. Rupanya dia seperti yang ada di pikiran dan di dalam bayanganku. Aku yang meninggalkannya di pagi hari setelah malam panas itu membuat ego lelakinya terluka. Rafael si tampan dan penuh pesona tidak pernah ditinggalkan oleh para wanita, bukan?

"Kau..."

"Apa?" potongku, aku menghela napas dan kemudian melanjutkan pidato sampahku, "Pergilah dari hadapanku, Rafael. Jika kau berpikir kalau aku akan memohon padamu seperti wanita wanita lainnya, maka kau salah."

Dia menggeram, "Aku tidak pernah menganggapmu seperti jalang jalang itu!"

"Lalu, kenapa kau berulah seperti ini, berengsek?! Aku tidak akan kembali merangkak di ranjangmu jika itu yang kau inginkan."

"Kau salah, karena aku selalu mendapatkan apa yang kuinginkan." Balasnya. Dia menangkup daguku dengan kedua tangannya dan memaksa kepalaku untuk menyender di dinding dengan lembut, "Kau akan kembali ke ranjangku karena aku menginginkanmu."

Aku membuka mulut untuk melawan kata katanya tapi dia menggunakan itu sebagai kesempatan untuk mencium bibirku dan memasukkan lidahnya ke dalam mulutku.

Bibirku diam karena aku tidak ingin membalas ciumannya meskipun lubuk hatiku bergetar samar karena gerakan sensual dari bibir tebalnya, tapi seluruh tubuhku memberontak. Aku menekan kedua tanganku di kedua bahunya agar dia menjauh, namun Rafael semakin memperdalam ciuman sepihaknya dan mendesak tubuhnya di tubuhku sehingga aku terhimpit.

Aku berusaha menggerakkan kakiku, dan mengangkat sebelah lututku dengan kuat sehingga membentur benda kebanggaan yang berada di antara kedua pahanya.

Ciuman sepihak yang brutal itu terlepas dengan jarak yang tipis. Merasa belum cukup, aku menendang perut Rafael menggunakan heelsku dengan kuat yang membuat lelaki itu tersungkur di atas lantai.

"Stupid Fuckhead!" umpatku. Aku tidak lupa memberi jari tengah padanya dan kemudian mengambil tasku yang tergeletak di lantai lalu mulai meninggalkan Rafael yang meraung di atas lantai sembari mengumpat.

Namun entah kecepatan seperti apa yang dimiliki Rafael, tubuhku kembali ditarik, pinggangku kembali dicengkeram oleh kedua lengan kekarnya.

"Berengsek. Sialan. Lepaskan aku!" hanya mulutku yang bisa bergerak karena Rafael mengunci tubuhku dengan kuat sehingga aku tidak mampu melakukan apa pun.

Dia mengangkat tubuhku dan mendaratkan bokongku di sebelah lengkungan wastafel. Pria itu memosisikan dirinya di antara kedua pahaku dan kembali mendekatkan wajahnya untuk memagut bibirku kembali sampai aku terhimpit di kaca wastafel. Kedua tangan Rafael masing-masing menggenggam jari jariku dengan kuat dan menariknya ke atas kepalaku.

Dia semakin mendominasi, aku memilih untuk tetap keras kepala dengan tidak membuka bibirku. Aku menolak ciumannya dengan setengah hatiku sementara aku bisa merasakan dadaku terhimpit oleh dadanya. Gerakan brutal itu membuat rasa panas dan kupu kupu bertebaran di perutku . Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika Rafael memberikan godaan yang lebih dari ini, karena mungkin aku akan jatuh.

Hal yang tidak aku inginkan untuk terjadi.

Tapi sepertinya Rafael tahu itu.

Dia adalah penakluk wanita, dan dia melakukan segala yang dia bisa untuk meruntuhkanku.

Kedua tangannya yang mencengkeram kedua tanganku bergerak untuk menyatukan mereka di atas kepalaku. Dia melepaskan salah satu tangannya, dan kini pergelangan tanganku yang kecil berada di satu cengkeraman tangan besarnya. Sementara bibirnya tidak henti-hentinya bekerja mencecap bibirku dan memberikan godaan godaan padaku, aku bisa merasakan tangan bebas Rafael yang menyentuh kulit pahaku yang terekspos.

Rafael mengelus kulitku dengan pelan dan berkali kali sampai jari jari itu masuk ke bagian dalam pahaku yang membuat ikal ikal kecil diperutku. Sial, aku tidak menginginkan ini, tapi sisi lain dari diriku membutuhkannya.

Jari jarinya membuat lingkaran lingkaran kecil di depan celana dalamku, menggesek bagian tengahnya. Punggungku melengkung tanpa berpikir, dan—

Aku melenguh, membuka bibirku sehingga lidahnya memasuki mulutku lagi.

Aku murahan—sebut saja begitu, tapi dia memang benar benar sudah menghabiskan stok perlawananku dengan godaan sensual dan erotis mengerikan yang dia miliki sehingga aku membelitkan lidahku dan membalas ciumannya.

Ciumannya begitu panas, basah, dan lapar sehingga ikal ikal gairah yang kumiliki berubah menjadi denyut nadi berat yang menuntut di bawah perutku.

Pinggulku menekan pinggulnya, kebutuhan utama untuk menyatukan tubuh kami mengambil alih.

"AGHH. FUCK!"

Teriakan kuat dan pintu yang terbuka lalu tertutup dengan kuat membuat ciuman kami terlepas, dengan mata membelalak aku menatap pintu yang terbuka sedikit akibat bantingan kuat dari wanita di luar sana.

Satu detik..

Dua detik..

Sampai pada akhirnya kesadaran memukulku dengan kuat. Aku mendorong Rafael yang masih diam—yang masih sama terkejutnya denganku—sehingga dia menjauh dan memberikanku kesempatan untuk pergi darinya.

Aku turun dari wastafel dengan cepat, menurunkan rokku, dan mengambil tasku. Aku sudah hendak melangkah keluar, namun Rafael mencengkeram tanganku. Lagi.

Aku menarik tanganku dengan kuat dan menamparnya.

Keterkejutan menghiasi wajahnya yang memerah, dia hanya diam, dan aku pergi dari sana, meninggalkan pria itu dengan kekacauan yang mendera di dalam diriku.