webnovel

Bab 5

Zidane Evaros—Jed.

Seorang pria berambut putih yang berumur sama denganku, 25 tahun. Pria dengan tubuh tinggi, sedikit kurus dan mata biru indah yang menghiasi wajahnya adalah sahabatku.

Sahabat kecilku yang selalu ada di sisiku sampai saat ini. Pria yang tetap berada di sisiku saat aku merasakan penderitaan dan saat aku berada dalam kebahagiaan. Jed dan keluarganya banyak membantu ibu dan aku saat kami masih berada di Yerevan. Lalu saat ibuku meninggal, Jed membawaku pergi bersamanya ke Negara ini. Waktu itu umur kami masih dua puluh tahun. Keluarga Jed sudah membantuku untuk mendapatkan Green Card agar bisa tinggal selamanya di Amerika, dan juga membantuku untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang layak.

Kami menempuh pendidikan yang sama disalah satu universitas ternama di New York dengan jurusan manajemen dan sistem informasi, lalu kemudian lulus dalam waktu tiga tahun.

Setelah lulus aku melamar lowongan pekerjaan sebagai sekertaris dari wakil Direktur Pemasaran di salah satu perusahaan minyak terbesar di dunia, Aetose DMT, yang berakhir dengan beruntung karena mereka menerimaku.

Sedangkan Jed melanjutkan bisnisnya sendiri. Sebuah bisnis yang bergerak di bidang fotografi yang sudah dia lakukan sejak semester empat bersama teman temannya. Bahkan kini mereka sudah bekerja sama dengan salah satu agensi model besar.

Jed dan keluarganya sangat baik padaku, dan aku berusaha mengubah kehidupanku dengan baik karena hal itulah yang mereka inginkan. Mereka tidak menginginkan apa apa dariku selain melakukan itu dan melupakan semua hal buruk yang sudah terjadi padaku. Jadi itulah yang berusaha untuk aku lakukan, bersama dengan dendam yang aku bawa.

"Aku dengar dari Ursula kalau kau dan si beruang itu sudah putus."

Aku menjawabnya dengan anggukan sedangkan mataku masih melihat keluar jendela mobil Jed ke jalanan padat New York yang sangat khas saat di pagi hari.

"Aku akan memberi pelajaran padanya nanti."

"Aku sudah tidak ingin berurusan dengan dia sampai kapan pun. Kau, hanya akan membuatnya semakin rumit." Bantahku, menoleh sekilas padanya.

Jed menatap jalanan dengan wajah tidak setujunya, "Yang benar saja! Dia sudah menyakitimu, Abby. Aku harus memberikannya pembalasan agar sakit hati yang kau rasakan akibat dari perbuatannya itu sepadan."

"Jika kau melakukannya, aku tidak akan berbicara padamu lagi." Aku berhenti, aku hanya menaikkan bahuku. "Lagi pula Ursula sudah melakukannya."

Dia mengerutkan kening lalu terkekeh, "Apa yang dia lakukan?"

"Menonjok wajah pria itu beberapa kali dan memakinya dengan segala umpatan suci bahasa Rusia yang dia punya."

Aku terkekeh mengingat bagaimana keterkejutan yang bercampur dengan rasa takut mantan kekasihku itu terbaca jelas di wajahnya saat menghadapi Ursula yang galak dan liar. Itu sebabnya dia langsung keluar dari tempatku, tanpa mengatakan apa pun lagi.

Jed mengangguk angguk, "Dia menjalankan amanahku dengan baik rupanya. Pria itu membanting setir ke kiri. "Jadi, bagaimana perasaanmu sekarang?"

"Tentang pria beruang sialan itu?" balasku.

Jed mengangguk.

"Aku baik baik saja. Aku sudah melupakannya."

"Secepat itu?"

Aku menggelengkan kepala. "Ini tidak cepat. Sehari setelah kami bertengkar, aku mengurung diri selama seminggu, tanpa mempunyai selera untuk melakukan apa pun."

Jed mendengus. "Itu sebabnya kau menolak panggilan panggilanku?"

"Aku tidak ingin membuatmu khawatir." Aku meringis. Aku bahkan juga memerintahkan Ursula untuk tidak mengatakan apa pun pada Jed. Aku tidak ingin membebani Jed yang sedang sibuk bekerja.

"Omong kosong, Abby."

"Sudahlah. Lagi pula, aku sudah baik baik saja sekarang." Aku mengibaskan tanganku.

"Tapi kau kembali bertemu dengan bibi sialanmu itu. Kau tidak baik baik saja."

"Aku sudah mengatakan padamu kalau aku baik baik saja."

"Kau pembohong yang sangat handal, Abby." Sindirnya.

Aku terkekeh, "Jangan khawatirkan aku. Percayalah aku tidak akan menyakiti diriku sendiri lagi karena melihat wajahnya, yang ada di pikiranku saat dia datang hanya keinginan untuk mencekiknya sampai mati."

"Aku sangat tahu itu." Jed tersenyum, dan mengusap puncak kepalaku. "Aku akan membantumu untuk menghabisinya nanti."

.................................

"Kenapa kau terlihat biasa saja?"

Aku mengerutkan kening, mendongak dari pastaku untuk menatap bos ku yang sedang mengunyah daging steak miliknya.

Yelena meringis, "Ah bukan maksudku menghina kalau kau jelek. Kau cantik, sangat cantik. Tapi...apa kau belum melihat rekan rekan kerja wanitamu yang berdandan heboh dan berpakaian kerja tidak selayaknya, hari ini?"

Aku membuka mulut dan mengerti. Aku memang melihat wanita wanita itu tidak berpenampilan yang seperti biasanya. Bisa disimpulkan gaya mereka seperti ingin bersenang senang di klub malam daripada bekerja. Kebanyakan pegawai wanita memakai make up, yang terlihat berlebihan, dengan pakaian formal yang ketat sampai aku bisa melihat bra dan buntalan dada mereka. Aku dan Ursula hanya merasa aneh sebentar saat kami datang dan kemudian memilih tidak peduli.

"Ya, aku melihatnya. Aku memang merasa aneh. Apa ada aktor Hollywood yang akan datang?" tanyaku.

Yelena menggeleng, "Apa kau tidak mendengar berita kalau Direktur Utama yang baru akan datang?"

Aku berkedip, dan baru saja mengingat apa yang dikatakan Jude kemarin. Oh. Jadi itu sebabnya wanita wanita itu mengubah penampilan mereka. Hanya untuk menarik perhatian sang Direktur Utama yang rumornya sangat tampan itu?

Kenapa terdengar sangat miris di telingaku?

"Aku lupa. Jude sudah mengatakannya padaku kemarin."

"Sepertinya kau sama sekali tidak peduli." Balas Yelena sembari memasukkan potongan daging ke mulutnya.

Aku berkedip, "Untuk apa? Kau adalah bosku. Aku rasa tidak akan ada yang berubah."

"Ya, kau benar." Perempuan berumur 45 tahun itu terkekeh.

"Lalu kenapa kau terlihat biasa saja, bos?" tanyaku.

Yelena menatapku seperti aku baru saja menumbuhkan dua kepala lagi di leher ku. "Jika aku bergaya seperti mereka, maka Lily dan Rico tidak akan pernah mengakuiku sebagai ibu mereka lagi."

Aku tertawa mendengar itu. Yelena adalah seorang ibu dari dua anak kembar yang masih menempuh jenjang Senior High School. Suaminya adalah pemilik restoran mewah ini. Restoran yang menjadi tempat makan siang kami. Aku sangat heran padanya yang masih ingin bekerja padahal suaminya bahkan bisa membelikannya banyak tas mewah sebulan sekali. Jika aku menjadi bos, aku akan memilih untuk duduk, bersantai santai di rumah. Tapi, mungkin Yelena punya prinsip yang berbeda dariku.

Sejauh ini dia adalah bos yang baik. Tetapi terkadang itu tidak sama jika berhadapan dengan orang lain. Mulut tajamnya akan menggaris luka siapa pun yang membuatnya kesal. Tapi itu akan berbeda jika dia bersama dengan orang terdekatnya. Aku, misalnya. Dia hanya selalu akan menasihatiku dengan lembut jika aku membuat kesalahan, dan kemudian kembali tersenyum.

"Lalu apa benar kalau calon Direktur Utama akan datang hari ini?"

Yelena mengangguk, "Setelah makan siang, Presdir akan mengumpulkan kita untuk memperkenalkan anak lelakinya yang rumornya tampan itu, dan sabtu malam kita akan mengadakan acara penyambutan yang kutebak akan sangat mewah."

"Wow." Sanjungku dengan sarkastik. "Hidup akan sangat mudah jika kau anak dari orang kaya yang terkaya di dunia."

"Tentu saja. Maka dari itu kau harus mencari suami kaya yang akan mempermudah jalan hidupmu dan membuatmu bahagia, Aubrey."

"Kata kata mutiara menyebutkan kalau 'uang tidak memberikan kebahagiaan'"

"Itu kata orang kaya yang tidak pernah merasakan bagaimana menderitanya menjadi orang miskin." Bantah bosku itu. "Uang memang tidak memberikan kebahagiaan tapi membeli banyak kebahagiaan." Lanjutnya dengan bangga.

Aku hanya terkekeh dan menganggukkan kepala berpura pura setuju 100 persen padanya seraya menghabiskan pastaku. Rasa tidak setuju dengannya dalam skala 80 persen hinggap di kepalaku.

Uang memang merupakan kebahagiaan bagi siapa pun. Bahkan aku juga. Aku tidak akan bisa makan jika aku tidak memiliki uang. Tapi, uang dan harta juga menimbulkan rasa serakah yang pelan pelan menggerogoti setiap individu yang begitu lemah pada dua hal itu. Ibuku masih berada di sisiku saat ini jika rasa serakah itu tidak muncul di dalam diri bibiku.

Rasa serakah yang mengubahnya menjadi psikopat mengerikan sehingga dia dengan tega menghabiskan nyawa ibuku, dan kemudian menghabiskan hartanya.

Dia tidak akan kembali mengejarku hanya untuk meminta surat warisan kakek nenek yang berada di tanganku. Jadi mungkin uang akan memberikanmu kebahagiaan dan kesenangan, tapi tidak dengan cinta. Semakin banyak uang yang kau miliki semakin menipis cinta yang kau miliki untuk orang orang di sekitarmu.

Untuk orang orang seperti bibiku, mereka akan rela melakukan apa pun untuk uang sampai tega melukai orang yang seharusnya mereka cintai. Kepuasan itu benar benar tidak akan membuatmu selamat di dunia. Itu akan menciptakan dendam dan kau akan kalah pada akhirnya.

Aku menghela napas, mengusap bibirku dengan serbet putih setelah menghabiskan menu makan siangku. "Aku permisi ke toilet, bos. Mungkin aku harus bersiap siap sebelum kembali ke kantor."

Bosku mengangguk, "Jangan terburu buru, bersantai saja. Kita masih punya banyak waktu."

Aku mengangguk, bangkit dari tempat dudukku sembari membawa tas kecilku. Aku berjalan keluar dari rooftop yang menjadi tempat makan kami, menuju ke ujung ruangan di bagian dalam yang agak ramai. Aku mencari cari ikat rambut di tasku seraya berjalan sampai—

BRUK

Aku tersandung kakiku sendiri dan menabrak sebuah tubuh lelaki yang keras karena kecerobohanku. Aku sontak mundur saat kedua lengan kekar pria itu masih melingkar di pinggangku. Aku menunduk untuk meluruskan kakiku. Samar samar aku mencium harum yang familiar, porsi tubuh lelaki yang sedang memeluk pinggangku ini juga terasa familiar.

Berusaha mengenyahkan pikiran aneh itu, aku berkata, "Maafkan kecerobohanku, sir." Ucapku, dan mulai mendongak.

"Tidak apa apa, Aubrey."

Mataku melebar saat menatap pria yang membuat namaku terasa berbeda saat dia mengucapkannya. Tubuhku membeku, jantungku berdebar dengan cepat di dadaku saat menyadari siapa yang ada di depan mataku. Sangat dekat denganku, dan masih memelukku.

Pria itu adalah dia.

Pria yang sudah menghabiskan satu malam denganku dua minggu lalu.

Pria yang menjadi One Night Stand pertama dan terakhirku.

Pria yang selalu menyelinap di pikiranku di setiap malam.

Pria yang berhasil, dengan mudahnya, menghapus semua pikiran dan sakit hatiku akan Bernald.

Dia Rafael.