webnovel

Bab 7

"Apa kau baik baik saja?" tanya Yelena di sampingku.

Aku mematikan mesin mobil karena kami sudah sampai di gedung kantor.

"Kau terlihat pucat, Aubrey."

Benarkah? Tapi aku tidak merasakan hal yang aneh dari tubuhku.

Mungkin hanya sedikit pusing karena memikirkan perlakuan kurang ajar Rafael tadi. Tubuhku benar benar baik baik saja, namun perasaanku sangat kacau.

Dasar pria kurang ajar.

Aku mengumpat dalam hati.

Aku hanya mengangguk menanggapi pertanyaan Yelena sembari tersenyum menenangkan. Dia sudah bertanya puluhan kali sejak aku keluar dari toilet karena melihat penampilanku yang sedikit berantakkan dan wajahku yang pucat. Aku hanya menjawab perutku sakit karena telat makan, dan kemudian dia menawarkanku untuk ke dokter. Tidak ingin kebohonganku terbongkar aku hanya menjawab kalau sudah baik baik saja, namun sepertinya bosku ini tidak percaya padaku karena sampai sekarang masih bertanya hal yang sama.

"Aku benar benar baik baik saja. Jangan khawatir."

Yelena menggelengkan kepala, "Aku tidak percaya, dan aku sangat khawatir padamu."

"Bos.."

"Kau tidak usah ikut berkumpul di ruangan aula untuk menyambut bos besar kita, kau bisa istirahat sejenak di kantormu dan aku akan membuatkanmu teh herbal, bagaimana dengan itu?"

Mendengar kemurahan hatinya, aku tersenyum. "Kau sangat baik, bos. Terima kasih."

"Ya. Ya. Ya. Aku hanya tidak ingin merepotkan diri jika kau sakit." Balasnya dengan acuh tak acuh.

Aku tertawa mendengar penyangkalannya. Dia selalu mengatakan kalau dia tidak peduli tetapi perlakuannya mengatakan yang sebaliknya. Kami keluar dari mobil dan lobi perusahaan terlihat sepi karena semua pegawai sepertinya sudah berkumpul di ruangan aula besar perusahaan untuk menyambut Direktur Utama yang baru.

Aku akhirnya duduk di kantorku, dengan teh herbal buatan bosku yang baru saja diantarkan oleh salah satu pegawai kebersihan kantor. Aku mengatur kursiku agar aku bisa berbaring dengan nyaman, dan memejamkan mata untuk menenangkan tubuh dan hatiku yang panas.

Semua yang baru saja terjadi terasa sangat cepat.

Baru satu menit aku bertemu dengan Rafael dan kemudian berbincang dengan ramah bersamanya tanpa ada membahas malam sialan itu. Tetapi kemudian dia muncul di toilet dan mengacaukanku dengan kata katanya yang menginginkanku kembali ke ranjangnya.

Yang tidak akan pernah aku lakukan.

Ya, mungkin keahlian ranjangnya tidak perlu diragukan lagi, dia bahkan bisa mengacaukanku dengan ciumannya, dan dengan bagaimana tubuhnya bergerak untuk menguasaiku. Mungkin aku sudah jatuh dalam segala pesona miliknya yang tidak bisa ditolak.

Tapi, bagaimana itu berubah menjadi sebuah kebutuhan dan kemudian aku akan bergantung padanya. Seks bisa menghantarkan pada hubungan emosi yang akan menghancurkan satu sama lain suatu saat nanti. Dan, kemudian aku akan mempercayainya seperti yang kulakukan pada Bernald dulu—yang pada akhirnya mengkhianatiku karena dia sudah tidak mencintaiku.

Itu sangat sakit.

Menghadapi jika saat kau sudah berada dalam posisi untuk tidak mempercayai orang lain, dan kemudian dia datang untuk meruntuhkan segala prinsipmu, kau jatuh, dan kemudian dia mematahkan kepercayaanmu begitu saja dan berlaku curang padamu.

Itu sangat sakit rasanya.

Dan aku yakin pria ini akan menyakiti hatiku lebih dari Bernald.

Aku tidak ingin itu terjadi.

Aku tidak tahu apa aku bisa kembali bangkit lagi.

Tapi, bagaimana caranya untuk menghindarinya? Sementara aku tidak tahu kebetulan macam apa yang akan Tuhan datangkan padaku. Mungkin nanti, atau besok dia akan muncul di hadapanku sebagai tetanggaku atau aku akan bertemu nya di kafe langgananku dan dia akan menculikku.

Aku menggelengkan kepala saat pikiran aneh itu masuk ke akalku. Bangkit sedikit, aku mengangkat cangkir berisi teh herbal Italia itu dan meminumnya.

"Oh Tuhan, ini sangat enak." Gumamku. Aroma teh dan hangatnya membuat pening yang kurasakan sedikit demi sedikit memudar. Aku akan bertanya pada Yelena teh macam apa ini dan aku akan membelinya.

Aku mengambil ponselku, memutuskan untuk menghentikan pikiranku tentang Rafael si gila itu. Jika saja dia kembali muncul di depanku, maka aku akan tinggal menendang benda di antara kedua pahanya.

Aku menatap pesan pesan yang masuk ke ponselku. Ada begitu banyak, tapi aku tidak pernah membukanya kecuali jika itu pesan berasal dari nomor yang sudah kutandai.

Tapi ada dua pesan yang berasal dari nomor tidak dikenal.

Aku menekan nomor asing yang pertama. Membaca isinya, aku langsung mengenal siapa yang mengirim pesan ini.

'Aubrey, mari kita bicarakan lagi tentang warisan itu. Kabari aku jika kau berubah pikiran, sayang'

Gaya pesan yang dia gunakan sangat berbeda dari apa yang dia lakukan saat kami bertemu beberapa hari lalu. Aku tidak heran dengan sikap khas miliknya yang mengerikan itu.

Saat kami hidup bersama di rumah nenek, dia juga melakukan hal yang sama. Dia akan berubah baik jika menginginkan sesuatu tetapi saat aku atau siapa saja menentangnya, dia akan berubah menjadi psikopat mengerikan. Perlakuannya lah yang dulu membuatku takut dan tidak pernah menentangnya sekalipun. Seperti hewan peliharaan, aku akan melakukan hal yang dia perintahkan di bawah rasa takutku. Namun, semua kini sudah berubah dan aku tidak akan tunduk lagi padanya.

Apa yang dia inginkan juga tidak akan aku lakukan saat ini. Itu sebabnya, aku memilih tidak membalas pesan itu dan memblokir nomornya. Akan ada saatnya dia kembali menerorku dengan nomor yang berbeda, dan aku akan tetap melakukan hal yang sama. Aku tidak bisa mengganti nomorku karena ini adalah nomor penting untuk pekerjaanku. Aku akan sangat kerepotan jika melakukannya. Lagi pula aku masih bisa menangani pesan pesan dari wanita itu.

Aku menutup box chat bibiku dan beralih ke pesan di bawahnya yang membuatku menegakkan tubuh dan tubuhku memaku sejenak.

'Aku Dorian, Aubrey. Aku harap kau membalas pesanku dan setuju untuk bertemu. Kami merindukanmu'

Cukup lama aku menatap pesan itu dengan pikiran kosong, dan tubuhku yang membeku sebelum aku menghapus pesannya dengan tangan bergetar.

Aku kembali menaruh ponselku di atas meja dan menyenderkan kepalaku di kursi sembari memejamkan mata.

Sepertinya masa lalu akan selalu mengintaiku ke mana pun aku berada.

...............................................................

"Apa kau baik baik saja, Aubrey?"

Suara Jude yang baru saja masuk ke ruanganku, bersamaan dengan Mel dan Illsa membuatku menoleh dari layar datarku dan menghadap mereka yang kini duduk di sofa kecilku. Setelah berusaha untuk menenangkan diri, aku memang menenggelamkan pikiranku ke pekerjaanku yang belum selesai selama dua puluh menit ke depan sampai mereka datang.

"Kami dengar dari Bos Yelena kalau kau sedang sakit." Lanjut Illsa.

Aku terkekeh pelan, "Ya, aku sudah baik baik saja berkat teh herbal milik bos."

"Teh herbal?"

Aku mengangguk, "Dia memberiku teh herbal asal Italia.'"

"Aku tidak tahu kalau dia bisa begitu baik." Balas Mel.

"Seseorang yang galak bukan berarti dia jahat, Mel."

Mel mengangguk angguk tidak peduli sembari memutar matanya.

"Apa kau tidak penasaran dengan Direktur Utama baru? Kau sangat rugi sekarang karena tidak melihatnya, Aubrey!" seru Illsa.

Jude mengangguk angguk dengan semangat, "Aku sudah mengatakan pada mu kalau dia tampan kan? Nah rupanya prediksiku itu sangat benar. Dia benar benar tampan bak dewa! Aku rasa aku tidak sia sia menghabiskan waktu dua jam untuk berdandan tadi pagi!"

"Sebegitu tampannya sampai kalian terlihat bersemangat?"

"Ya. Ya! Apa kau mau melihatnya? Aku sempat memotretnya beberapa kali!" jawab Jude.

Mel memutar mata, "Kau memotretnya sepanjang waktu, Jude."

"Itu tidak—"

Ucapan Jude terhenti saat pintuku terbuka dengan keras menampakkan Ursula yang datang dengan tergepoh-gepoh. Dia menatapku dengan ekspresi yang tidak bisa kutebak dan kemudian menatap tiga orang yang sedang duduk di sofa.

"Kembalilah ke tempat kalian." Perintahnya pada mereka yang langsung diikuti.

"Ada apa?" tanya mengerutkan kening pada Ursula.

Dia mendekat saat para bawahannya sudah pergi dari ruanganku.

"Pria yang bermalam bersamamu ada di sini."

Tubuhku membeku. Jantungku berpacu dengan cepat saat mendengar kata kata yang keluar dari bibir merah muda sahabatku ini.

Apa lagi ini, ya Tuhan?

"Dan, ternyata dia adalah Rafael Dimitriou."