"Ruth! Tenanglah, apa maksudmu?" tanya Avery lagi. "Mengapa kau berteriak? Apakah ada sesuatu yang membiatmu kesal?" Avery mengerutkan alisnya dan menggigit bibirnya karena panik.
"Ya, Nona! Kau! Kau yang membuatku kesal. Sebenarnya apa yang telah kau lakukan, Avery?! Kau mengirimiku sejumlah uang yang sangat besar untuk pendidikan anak-anak dan panti. Sebenarnya pekerjaan macam apa yang telah kau lakukan?!"
"Ruth, tenanglah ... bukankah kau tahu bahwa aku memang benar-benar bekerja untuk uang itu? Aku bahkan sudah mengatakan di mana aku bekerja," jelas Avery sabar.
"Ya, kau memang mengatakannya. Tapi aku tak tahu apa kau berkata jujur atau tidak. Katakan, apa kau bekerja dengan tubuhmu?! Aku bersumpah Avery, jika kau sekarang sedang melenggokkan tubuhmu di ... di ... semacam tempat seperti pub, atau kau sedang berada di atas pangkuan pria hidung belang atau semacamnya dan menjual keperawananmu, atau entahlah! Aku akan membawa polisi dan menyeretmu pulang!! Aku bersumpah Avery!" ucap Ruth terdengar panik.
"Tidak, Ruth! Oh ya Tuhan. Aku memang bekerja dengan tubuhku, tapi tidak seperti yang kau pikirkan! Tenangkanlah dirimu dahulu, oke? Anak-anak akan takut jika mendengarmu menangis," jelas Avery. Ia mendengar isak kecil dari Ruth saudara tirinya serta sahabatnya itu.
"Persetan dengan itu! Pulanglah Avery, agar aku dapat melihat dan memastikan keadaanmu!!" rengek Ruth. Ia terdengar seperti sedang terisak dan membersit hidungnya.
"Oh, Ruth, oke ... aku akan pulang esok hari. Karena ini sudah malam, aku tak dapat ...."
"Sekarang!!! Avery!!" rajuk Ruth lagi.
Avery menghembuskan napasnya sejenak. Ia tahu saat ini Ruth hanya sedang mengkhawatirkan kondisinya saja. Lalu tanpa diduga-duga, Dom kemudian meraih lengan Avery dan mengambil alih ponselnya. Avery sedikit tersentak dan menggeleng panik seolah memperingatinya.
Tak menghiraukan isyarat dari Avery, Dom kemudian berkata, "Halo, Selamat malam Nona Ruth," sapa Dominic formal.
"Si ... siapa kau?!" balas Ruth terkejut.
"Perkenalkan, aku adalah Dominic. Aku adalah atasan Avery. Kami sedang bekerja dan kebetulan aku sedang berada di sampingnya."
"Benarkah? Pekerjaan apa yang kau lakukan? Maksudku, apa sebenarnya yang Avery lakukan?" tanya Ruth.
"Kau tentu tahu jika Avery sekarang sedang bekerja pada perusahaan besar dan terkenal, bukan? Demi keamanan dan kenyamanan Nona Avery, kami menyediakan fasilitas untuk para pekerja berbakat sepertinya."
"Keamanan? Omong kosong! Apa kau sekarang sedang menyekapnya atau menahannya? Karena jika kau melakukan itu, aku bersumpah akan melakukan sesuatu, Tuan." Ruth kembali berucap dengan tegas. "Apakah Avery kau paksa melakukan sesuatu dengan sejumlah imbalan yang sangat besar? Apakah ia sedang berada di bawah tekanan, ancaman, atau semacamnya?!" selidik Ruth.
Dominic tersenyum sejenak. "Kau sungguh mengkhawatirkan dirinya ya? Hmmm ... pasti kedepannya akan susah untukku karena ia pasti akan balik mengkhawatirkanmu atau semacamnya," gumam Dom. "Baiklah, begini saja. Semua anggapan dan tuduhanmu itu tak sepenuhnya salah, karena sebenarnya Avery dan aku sedang berada dalam situasi dimana kami saling membutuhkan satu sama lain. Jadi, sayangnya ia tak dapat menjauh dariku, juga sebaliknya."
"Apa maksudmu?" tanya Ruth.
"Nona Ruth, aku adalah pria yang tergila-gila pada Avery yang mampu memberikan apapun untuknya. Karena kau satu-satunya keluarganya saat ini, maka aku harus memgatakan sesuatu padamu ...." Ucapan Dom sedikit terjeda ketika Avery kemudian menggeleng dengan panik karena penuturan Dom. Dom hanya sedikit tersenyum kecil dan menahan tangan Avery yang mencoba merebut kembali ponselnya.
"Nona Ruth, aku akan melamar serta menikahi Avery." Dom melanjutkan ucapannya dengan mantap.
Hening. Baik Ruth maupun Avery sendiri hanya membisu di tempatnya. Avery masih mematung, sesaat setelah mendengar penuturan Dom.
"Baiklah Nona Ruth, sekretarisku akan datang malam ini juga untuk menjelaskan semuanya padamu. Sayangnya Avery tidak dapat keluar malam ini karena ia sedang mengerjakan proyek penting dan rahasia untuk perusahaan kami. Aku akan memutus sambungan telepon kita sampai di sini, oke? Esok aku janji akan membawa Avery menemuimu. Selamat malam, Nona," jelas Dom. Ia kemudian menutup panggilan telepon itu.
Setelah Dom mematikan ponsel yang ada ditangannya, Avery kembali tersadar. "Apa yang telah kau lakukan?!" ucap Avery panik sambil memukul-mukul bahu Dom karena frustasi.
Dom hanya menangkap pergelangan tangan Avery dengan tenang sebelum kembali berkata, "Aku hanya melakukan yang seharusnya kulakukan, Sayang," jelasnya.
"Ta ... tapi! Menikah?! Dom! Itu ... itu ... agak berlebihan," ucap Avery tergagap. Ia masih sibuk menguasai debaran jantungnya dan wajah meronanya. Ia tak percaya Dom akan mengeluarkan pernyataan yang tiba-tiba seperti itu.
"Tak ada yang berlebihan. Bukankah kalian para manusia melakukan itu? Sebelum mereka memutuskan untuk tidur bersama dan membuat anak, mereka harus melalui ritual itu, bukan? Aku hanya menyesuaikan saja dengan kehidupanmu sebagai manusia, Avery. Kau tak ingin tiba-tiba muncul di hadapan saudaramu dan orang-orang yang kau kenal dengan perut yang sudah membuncit, bukan?!"
"Doom!!!" protes Avery sambil menutup wajahnya yang memanas. "Oh, kau membuatku gila!"
"Tenanglah, Sayang ... aku akan melakukan yang seharusnya pria lakukan di sini sebelum aku menyatukan tubuh kita dan aku menandaimu sepenuhnya."
"Dom, bukan itu masalahnya! Oh, tak semudah itu!" balas Avery frustasi. "Seseorang tidak memutuskan untuk menikah begitu saja tanpa saling mengenal, akrab, berpacaran, atau semacamnya agar dapat cocok dan saling menerima satu sama lain."
"Oh, wow ... kau ternyata gadis kuno," komentar Leah tiba-tiba. "Setahuku, jika para werewolf telah menemukan mate mereka, saat itu juga mereka akan melakukan penyatuan dan menandai pasangannya tanpa ragu. Kau beruntung karena pasanganmu adalah Dom, karena ia dapat menahan gejolak dalam dirinya yang terasa begitu menyiksa dan menyakitkan akibat feromon dari pasangannya ...."
"Leah ... tak perlu membuat Avery bingung dan terbebani dengan ucapanmu," potong Dom.
Avery menatap Leah dengan penuh tanya. "Apa maksudmu itu?" tanyanya.
"Maksudnya adalah, aku hanya ingin mengatakan padamu bahwa ketika seorang werewolf sedang mengalami rut atau heat, mereka akan sangat kesakitan jika tidak segera menuntaskan apa yang seharusnya mereka lakukan, Dear. Bahkan beberapa dari mereka dapat melemah dan mati ketika tak mendapat pelepasan itu. Terlebih, ketika mate mereka menolak untuk berpasangan."
"Ma ... mati? Tapi ... kami mengonsumsi obat suppressant untuk ...."
"Untuk mencegah sementara serangan itu," potong Leah. "Beberapa obat mampu melakukan itu dengan waktu yang lama. Tergantung dengan kondisi dan keadaan masing-masing werewolf. Yang pasti, untuk feromon berkekuatan besar seperti milikmu dan milik Dom, tak akan cukup dengan obat biasa yang berdampak pada kekacauan hormon itu." Leah menjelaskan semua dengan raut serius.
"Hentikan, Leah. Jangan membuat Avery merasa terbebani. Dan kau, Sayang ... tak ada yang perlu kau khawatirkan. Tak perlu merasa bersalah maupun meminta maaf padaku." Dom merujuk pada Avery. Ia telah menangkap dan mendengar isi hati Avery tanpa gadis itu perlu mengeluarkan kata-kata.
"Aku hanya menjelaskannya saja," ucap Leah. "Oke, begini saja ... katakan padaku, Avery, apa kau menyukai Dom?" tanyanya tiba-tiba. Avery membulatkan kedua matanya dan tergagap menatap Leah.
"Aku mengerti jika kau mungkin masih asing dan tak mencintainya. Tapi, jika kau menyukainya, aku rasa itu cukup bagus untuk kelangsungan hubungan kalian. So ... Avery, aku akan bertanya sekali lagi, APA KAU MENYUKAINYA?" tegas Leah.
Avery mengerjap kebingungan. "A ... aku ... aku," ucapnya kikuk. Ia merona dan menatap Leah dengan panik.
____****____