webnovel

Bangsat Boys

Jeka pemuda badung ketua geng Bangsat Boys tengah mengalami patah hati akut. Pada suatu hari ia bertemu dengan gadis polos bernama Unaya. Kesepakatan yang tak terduga terjadi, terlibatlah mereka dalam sebuah hubungan pacaran kontrak. Hubungan yang mulanya hanya berlandaskan saling menguntungkan tiba-tiba berubah menjadi hubungan rumit dan menyesakkan. Dan disinilah titik balik leader Bangsat Boys bermula.

nyenyee_ · Urban
Not enough ratings
69 Chs

Nakal

Setelah kabur dari rumah sakit tempo lalu, Jeka memang belum pulang ke rumah. Pablo sampai pusing memikirkan keberadaan putranya itu. Hingga pada akhirnya Pablo jatuh sakit saking stress-nya, lelaki itu sejak kemarin hanya beristirahat di rumah dan dirawat oleh Sonia. Pablo juga sudah mengetahui fakta jika Unaya adalah anak kandung dari istrinya, lelaki itu sempat kaget dan tidak menyangka, ternyata dunia memang sempit.

Dan malam ini Jeka datang kerumahnya bukan untuk pulang, melainkan mengambil baju ganti. Pemuda itu memilih tidur di markas atau menginap dirumah teman-temannya ketimbang harus selalu melihat wajah Sonia. Melihat wajah wanita itu membuat hati Jeka sakit sekaligus merasa bersalah karena telah bersikap kasar padanya. Jeka ingin minta maaf, tapi pemuda itu gengsi. Ia merasa tidak pantas dimaafkan karena sikap kurang ajarnya selama ini.

Jeka nyelonong masuk begitu saja kemudian naik ke lantai dua mengabaikan keluarganya yang tengah makan malam di meja makan. Pablo sempat merasakan kelegaan begitu melihat Jeka terlihat sehat dan baik-baik saja, namun begitu Jeka turun kembali sembari membawa tas ransel, Pablo kembali dibuat resah.

"Jeka, mau kemana lagi kamu?". Tanya Pablo tegas. Jeka memutar bola matanya malas sebelum berbalik menghadap Pablo dengan wajah super datar. Sonia dan Yeri memilih diam, menyimak perdebatan yang pasti akan terjadi untuk yang kesekian kalinya.

"Nginep di rumah temen". Sahut Jeka pendek.

"Gak ada rasa bersalahnya ya kamu? Kabur dari rumah sakit, gak pulang ke rumah, kamu gak nganggep kita keluarga lagi?!". Bentak Pablo yang sudah sangat lelah menghadapi sikap Jeka. Bukannya merasa bersalah dan meminta maaf, Jeka justru tertawa remeh dan menganggap omongan Papa-nya adalah sebuah lelucon.

"Keluarga ya? Jeka gak pernah tuh ngerasain hangatnya keluarga setelah Mama meninggal". Kata Jeka kemudian melengos pergi.

"Papa tahu kamu marah dan kecewa karena tahu jika Unaya adalah saudara tiri kamu...". Seru Pablo yang sukses membuat tangan Jeka terkepal. Bisa gak sih, gak usah ngingetin kalau Unaya itu saudara tirinya?! Sumpah mati, hatinya langsung ngilu.

"Kamu harus terima kenyataan Jeka. Unaya adalah saudara kamu, dia adalah bagian keluarga kita. Dan sudah jelas Papa menentang hubungan kalian, gak seharusnya kalian menjalin hubungan". Lanjut Pablo.

"Iya, gak usah dikasih tahu Jeka juga udah ngerti! Ada yang mau diomongin lagi?!". Tanya Jeka dingin tanpa menoleh kebelakang untuk menatap Papa-nya. Jeka lelah, lelah sekali. Menghadapi kenyataan yang bertentangan dengan keinginannya merupakan hal tersulit yang mau tak mau harus ia lewati. Bayangkan ketika kamu mencintai seseorang namun seluruh dunia seakan menentang-mu. Tak ada yang berpihak padanya, termasuk Papa-nya sendiri.

"Papa sudah memutuskan, setelah lulus sekolah kamu akan kuliah di kampus xxx jurusan Managemen Bisnis. Papa akan membukakan cabang Boba agar kamu punya kegiatan yang lebih bermutu, perusahaan Papa diteruskan oleh Yeri dan Mark setelah mereka menikah". Jeka membalikkan tubuhnya kemudian menatap Pablo dengan tatapan kaget, pemuda itu bisa melihat Yeri yang tertunduk lesu. Sudah pasti Papa-nya memutuskan hal ini secara sepihak tanpa menanyakan pada Yeri terlebih dahulu.

"Suka-suka Papa mau nguliahin Jeka dimana, di Zimbabwe-pun Jeka gak peduli Pa. Tapi soal Yeri sama Mark, apa Papa yakin? Yeri masih kecil Pa". Kata Jeka yang amat mengerti perasaan Yeri, pemuda itu tahu jika adiknya tidak mencintai Mark.

"Kamu gak usah mikirin Yeri, pikirin aja diri kamu sendiri Jeka! Yeri gak masalah kok, toh dia nikahnya sama Mark kalau udah lulus SMA. Masih lama". Sahut Pablo dengan santainya. Jeka berdecak malas, pemuda itu semakin tak betah berada dirumah. Papa-nya memang selalu membuat keputusan sepihak. Lihatlah, ia baru pulang saja sudah mendapatkan perintah untuk kuliah di jurusan yang sama sekali tidak ia minati.

"Terserah deh Pa. Toh keinginan Papa juga gak pernah bisa di resist! Kapan Papa pernah dengerin pendapat anak-anaknya? Jeka sama Yeri gak jauh beda kayak boneka Papa". Ujar Jeka sebelum melangkah pergi. Pablo melepas kaca matanya, lelaki itu mengusap matanya yang pedih hampir menangis. Mungkin cara ia mendidik anak-anaknya salah, namun ia hanya ingin anaknya hidup dengan baik dan tidak kesusahan dimasa depan. Orangtua mana yang ingin melihat anaknya menjadi orang susah?

"Pa, jangan terlalu difikirkan perkataan Jeka. Papa ingat kan apa kata dokter, jangan banyak pikiran". Kata Sonia lembut. Wanita itu kasihan melihat Pablo yang kerap melamun beberapa hari ini, apalagi saat Jeka tidak pulang kerumah. Meski keras, namun Sonia tahu jika suaminya sangat menyayangi anak-anaknya.

"Pa, Yeri terima aja apa yang udah jadi keputusan Papa. Apa yang Papa putuskan pasti terbaik buat Yeri". Kata Yeri yang mencoba ikhlas. Ya sudah-lah mau bagaimana lagi, Papa-nya sudah membuatkan alur masa depannya hendak seperti apa. Toh ia sadar diri jika tak mampu berdiri sendiri tanpa Papa-nya. Dan soal Mario, sejak mengetahui kelakuan pemuda itu,Yeri belum menemuinya. Lebih tepatnya belum siap, ia beralasan tengah sibuk belajar hingga tak bisa menemui pemuda itu.

Jeka juga tidak memperpanjang masalah soal pengeroyokan Mario padanya. Pemuda itu anggap jika pembalasan dendam mereka sudah terbayar, impas. Mario dibebaskan dari penjara dengan syarat tidak mengganggu Bangsat Boys lagi.

++

"Una, Papa sudah siapkan keberangkatan kamu ke Singapura sekitar dua minggu lagi kita akan berangkat. Besok kita ke rumah sakit, cek darah lagi". Kata Suryo. Unaya mengulas senyum tipis dan mengangguk kecil. Kenapa disaat ia hendak pergi, hubungannya dengan Jeka malah sedang tidak baik. Ia kan ingin pergi dengan tenang, berobat dengan tenang, kalau seperti ini rasanya seperti ada yang mengganjal.

"Berarti besok Una gak masuk sekolah dong Pa". Cicit Unaya sembari menatap bintang dari balkon kamarnya. Suryo beringsut mendekati Unaya dan merangkul bahu putrinya.

"Kenapa sedih gitu? Karena gak bisa ketemu sama anak cowok gak jelas itu?". Ledek Suryo yang membuat wajah Unaya merona karena malu. Kok Papa-nya tahu aja sih?

"Ihhhh... Papa apaan sih? Iseng banget deh". Sahut Unaya malu-malu. Suryo terkekeh kemudian mencubit hidung Unaya dengan gemas.

"Omong-omong anak cowok gak jelas itu kok gak pernah jemput kamu lagi? Biasanya muncul mulu kayak ketombe". Tanya Suryo, Unaya terkikik mendengar lelucon Papa-nya yang garing abis.

"Cieeee... Papa kangen ya? Nyariin gitu". Ledek Unaya. Suryo jadi salah tingkah, lelaki itu tergagap-gagap sendiri bingung hendak menjawab apa.

"Ya bukan gitu Unaya, Papa tuh cuma... aduh Papa mendadak mules harus ke kamar mandi". Suryo ngacir begitu saja hingga membuat Unaya geleng-geleng kepala.

"Ada-ada aja si Papa...". Cicit Unaya kemudian menatap langit dengan sendu.

"Bintang kamu kok jahat banget sih, gak tahu apa kalau aku lagi sedih?! Kok kamu malah bersinar terang gitu, ngeledek ya? Huh... nakal!". Gerutu Unaya kemudian tangannya terangkat ke atas, jarinya mengayun membentuk rasi bintang Virgo.

"Aku kangen".

Tanpa sadar mereka menatap langit yang sama, Jeka menatap bintang sembari duduk diatas motornya. Meneguk cola dan menghisap rokok bergantian. Pemuda itu menghembuskan nafas lelah, bintang ternyata memang tak bisa dimiliki, terlalu jauh. Bintang yang ia anggap bisa dengan mudah diraih, justru semakin jauh dan tak mampu ia gapai.

"Kisah cinta kita udah kayak sinetron tahu gak Na, sumpah gue hidup di jaman apa sih". Umpat Jeka sembari meneguk cola-nya kasar. Sedang merenung dengan damainya, tiba-tiba sebuah motor melaju dengan kecepatan tinggi hingga menyenggol Jeka dan berakhir jatuh beserta motornya.

"WOIIIII BANGSAT! SIAPA LOE?!". Teriak Jeka tak terima namun si pengendara motor justru kabur, dan tentu saja Jeka tidak akan membiarkan orang itu lolos.

Dengan susah payah Jeka bangkit, mematikan rokok dan menginjak kaleng cola-nya sebelum bergegas mengejar motor yang tadi menyenggol-nya. Meski si pengendara motor itu tidak kabur dan meminta maaf padanya-pun, Jeka tetap akan menghabisinya sih. Jeka sedang emosi dan butuh pelampiasan, menghajar orang sampai masuk rumah sakit mungkin pilihan yang tepat.

"BERHENTI WOIII!!! BERANINYA NYENGGOL GUE TERUS KABUR GITU AJA!". Teriak Jeka yang sudah menyamakan laju motornya dengan laju motor yang tadi menyenggolnya. Pengendara motor itu nampak acuh, ia justru menambah kecepatan motornya hingga membuat emosi Jeka semakin tersulut. Pemuda itu menarik gas motornya hingga keduanya terlibat aksi kejar-kejaran yang tentu saja mengganggu pengguna jalan lain. Beberapa kali Jeka hampir menyerempet motor dan pejalan kaki.

CKIIIIIITTTTTT!!!

Tiba-tiba saja motor di depannya mengerem mendadak, Jeka reflek mengerem motornya dan segera turun untuk menghajar pengendara motor tersebut.

"Turun loe!". Desis Jeka sembari menarik kerah jaket pemuda yang tadi menyenggol motornya.

"A-ampun Bang". Ujar si pengendara motor dengan tubuh gemetaran. Jeka melepas helm yang dipakai pengendara motor itu, dan setelahnya Ia dibuat tak tega begitu melihat wajah si tersangka yang telah menyenggol motornya tadi.

"Sumpah Bang demi kian dan terimakasih gue gak sengaja nyenggol loe". Mohon pemuda itu yang ternyata adalah Sobirin sembari menyatukan kedua tangannya dihadapan Jeka.

"Terus maksud loe apa kabur gitu aja pas tahu gue jatuh?!". Tanya Jeka sambil menempeleng kepala Sobirin dengan jengkel. Sobirin mengaduh kesakitan dan mengusap-usap kepalanya sendiri.

"Ya maaf Bang, habis muka loe nyeremin. Gue pikir preman". Cicit Sobirin takut-takut saat Jeka melotot kearahnya.

"Loe kalau gak bisa bawa motor gak usah sok-sokan begitu". Jeka menendang motor Sobirin. Sobirin pasrah, emang lagi apes. Pulang les kepala pusing gara-gara habis belajar Matematika alhasil otaknya eror, dan berakhir nyenggol motor Jeka.

"Iya Bang. Maaf, habis pulang les tadi Bang jadi pusing". Kata Sobirin menjelaskan.

Ninuuuu... ninuuuu...

"Mampus!". Umpat Jeka begitu mobil patroli polisi berhenti tepat didepan motornya dan Sobirin. Tentu saja kedua pemuda itu dikejar polisi karena telah membuat onar dijalan.

"Wahai anak muda, ikut kami ke kantor polisi sekarang". Ujar salah satu polisi. Alhasil Jeka dan Sobirin pasrah, mereka ikut ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.

--Bangsat Boys--

"Tolong tunjukkan surat-surat kendaraan kalian". Jeka dan Sobirin mengeluarkan STNK motor mereka dan meletakkannya diatas meja. Polisi mengamati STNK tersebut dan mengangguk-anggukan kepalanya.

"KTP dan SIM?". Jeka mengeluarkan SIM-nya sementara itu Sobirin termenung, mana punya KTP sama SIM orang masih kecil.

"SIM kamu mana?". Tanya pak polisi pada Sobirin.

"Eung... anu Pak, saya gak punya SIM. Kan saya masih SMP". Sahut Sobirin dengan polosnya. Pak polisi menghembuskan nafas mencoba sabar, ia menjitak kepala Sobirin dengan gemas.

"Dasar anak jaman sekarang suka bandel...". Kemudian Pak polisi menatap kearah Jeka yang cengar-cengir tidak jelas.

"KTP kamu mana?". Jeka menegakkan tubuhnya sebelum menjawab.

"Bulan September saya baru punya KTP Pak, kalau sekarang sih belum punya".

"Tapi ini kamu sudah punya SIM, ini SIM kamu kan?". Pak polisi mulai jengkel.

"Nembak Pak". Sahut Jeka dengan santainya. Astaghfirullahaladzim, Pak polisi memijit kepalanya yang mendadak pening.

"Kalian tahu sudah melanggar peraturan? Pertama kalian masih dibawah umur dan belum diperbolehkan membawa kendaraan sendiri dan yang kedua kalian sudah mengganggu kenyamanan pengguna jalan lain". Ujar Pak Polisi dengan sabar. Sobirin menunduk karena sadar akan kesalahannya, sementara Jeka malah bersiul-siul asal. Pemuda itu tidak peduli dengan teguran Pak Polisi.

"Iya Pak, saya minta maaf. Janji gak akan ngulangin lagi". Kata Sobirin dengan patuh.

"Ya sudah, silahkan hubungi orang tua kalian. Suruh datang ke sini, saya harus berbicara dengan orang tua kalian". Jeka langsung mendengus malas begitu mendengar perkataan Pak polisi.

"Harus banget Pak telepon orangtua saya? Ribet tahu!". Omel Jeka dengan kurang ajarnya.

"Orangtua kamu berhak tahu kelakuan anaknya. Setidaknya mereka akan memberikan nasehat agar kamu tidak mengulangi kesalahan yang sama".

"Yaelah lagu lama banget sih Pak. Kalau saya gak mau telepon?". Tantang Jeka.

"Kamu saya tahan sampai orangtua kamu menjemput kesini". Sahut Pak polisi langsung. Mengira jika Jeka bakal ketakutan dan akan menghubungi orangtuanya. Namun dugaan Pak polisi salah besar, Jeka justru menyender di kursi dan mengangkat sebelah kakinya keatas.

"Ya udah mending saya nginep disini aja sampai Bapak bosen lihat muka saya, kebetulan malam ini saya gak ada tujuan mau pergi kemana". Kata Jeka sambil tersenyum miring.

"Hah?!". Sobirin dan Pak Polisi menganga tak percaya.

++

Jeka dan Sobirin akhirnya dimasukkan ke dalam sel sampai orangtua mereka menjemput. Jeka juga tidak tahu kenapa Sobirin mengikutinya seperti anak itik, bocah itu tak henti menatap kearahnya tanpa kedip. Tentu saja Jeka dibuat risih pemuda itu meraup wajah Sobirin dengan gemas.

"Kenapa ngelihatin gue kayak gitu? Demen loe sama gue?!". Tanya Jeka galak, Sobirin langsung menggelengkan kepalanya.

"Abang ini keren banget, gak takut sama polisi. Fix lah gue fans Abang mulai saat ini". Jeka nyengir begitu mendengar jawaban polos dari mulut Sobirin.

"Nama loe siapa?". Tanya Jeka.

"Sobirin Bang". Jeka menganggukan kepalanya sebelum berkata.

"Loe nge-fans sama orang yang salah Bin, gue ini pentolan sekolah. Leader-nya Bangsat Boys". Kata Jeka sembari menyenderkan punggungnya ditembok sel.

"Woahhh... keren banget. Cita-cita gue juga pingin jadi pentolan sekolah Bang... Aw!". Sobirin memekik saat Jeka menjitak kepalanya.

"Heh bocah! Cita-cita itu yang bagusan dikit, jadi dokter kek, guru, atau pilot. Malah jadi pentolan sekolah, sakit loe". Omel Jeka bak bapak yang memarahi anak-nya.

"Lah Abang ini...".

"Jeka, nama gue Jeka". Potong Jeka.

"Abang Jeka kenapa jadi pentolan sekolah?". Jeka kicep begitu mendengar pertanyaan Sobirin. Bingung juga mau jawab apa, pemuda itu berdeham menghilangkan gugup.

"Ya karena gue cowok sejati, tangguh, dan berjiwa kepemimpinan. Tapi gue juga punya cita-cita". Sahut Jeka sembari menatap langit-langit atap.

"Cita-cita apa Bang?". Jeka tersenyum penuh arti sebelum menjawab.

"Jadi manten". Sahut Jeka asal kemudian terkekeh begitu melihat wajah Sobirin yang berubah masam.

"Yeee... itu mah cita-cita semua orang kali Bang". Gerutu Sobirin.

"Tapi calon manten gue gak bisa dimiliki Bin. Berat". Jeka mulai curhat. Pemuda itu terkekeh, nyaris seperti orang gila.

"Lah gimana ceritanya Bang, emang calon loe udah punya suami apa gimana?".

"Dia adik gue Bin, ah kakak gue mungkin? sinetron banget gak sih?". Ujar Jeka sembari tersenyum miris. Sobirin sebenarnya tidak paham dengan apa yang Jeka katakan, namun pemuda itu tetap mendengarkan cerita Jeka.

"Yang sabar Bang. Mungkin apa yang gue katain ini pasaran, kalau jodoh gak bakal kemana". Kata Sobirin dengan tulus. Jeka mengacak-acak rambut Sobirin dengan gemas, tidak tahu kenapa tapi Jeka merasa cocok dengan bocah itu.

"Kenapa gak minta jemput ortu loe?". Sobirin menggeleng dengan tegas.

"Gak ah Bang, gue takut dimarahin. Nanti motor gue disita ortu".

"Ya udah deh terserah loe aja, sebahagia loe aja". Sahut Jeka dengan cuek. Sobirin menatap Jeka dengan mata berbinar, pemuda itu menggeser bokongnya agar lebih dekat dengan Jeka.

"Bang, gimana rasanya jadi pentolan sekolah? Seru gak?". Tanya Sobirin dengan antusias. Jeka menatap Sobirin dengan tatapan aneh, namun setelah itu keduanya justru mengobrol seru.

--Bangsat Boys--

Hari ini Unaya ijin tidak masuk sekolah, setelah selesai kontrol dan cek darah ia dan Papa-nya segera kembali ke rumah. Namun grup chat kelas mendadak ramai membicarakan tentang Jeka yang katanya ditahan di kantor polisi. Unaya cemas tentu saja, gadis itu langsung mengirim pesan pada Jimi dan menanyakan kebenaran berita yang ia dapatkan.

From: Jimi

Iya, si Bos ketangkep polisi.

Si Bos bakal dibebasin kalau ortunya jemput.

Tapi loe tahu sendiri kan kalau si Bos gak akur sama bokap-nya?

Dia milih nginep di kantor polisi ketimbang minta tolong sama bokap-nya.

Unaya menghembuskan nafas lelah, Jeka gengsinya memang keterlaluan. Sudah kepepet seperti ini masih saja keras kepala dan meninggikan ego-nya. Gadis itu menoleh kearah Papa-nya dengan takut-takut.

"Pa, ke kantor polisi yuk". Kata Unaya sambil nyengir. Tentu saja Suryo kaget mendengar permintaan anaknya yang aneh itu, ia menoleh kearah Unaya dengan tatapan bingung.

"Ngapain? Jangan aneh-aneh Una". Unaya menatap Papa-nya dengan sorot memohon.

"Please Pa, kita harus jemput Jeka sekarang". Dan karena Unaya menyebut nama Jeka, Suryo semakin dibuat bingung.

"Terus apa hubungannya sama Papa Una?". Sahut Suryo dengan sabar.

"Jeka ditangkap polisi, kalau gak ada yang jemput dia gak akan bebas Pa". Rengek Unaya.

"Emang dia gak punya orangtua? Kenapa harus Papa?". Jelas saja Suryo tidak mau menuruti permintaan Unaya. Lelaki itu malah semakin ilfiel dengan Jeka karena ditangkap polisi.

"Please Pa, kali ini aja. Unaya kan udah mau pergi Pa, kasihan Jeka". Suryo merasa iba lantaran Unaya terlihat mau menangis. Dan karenanya, Suryo menghembuskan nafas berat sebelum mengiyakan permintaan Unaya.

Sesampainya di kantor polisi, Unaya sudah terlihat tidak sabar bertemu dengan Jeka. Gadis itu khawatir bukan main, sampai lupa jika dirinya tengah dalam misi melupakan Jeka sejenak. Suryo berbicara pada polisi dan mengatakan jika ia adalah wali yang hendak menjemput Jeka. Dan setelahnya Jeka dibawa keluar, begitu kagetnya pemuda itu melihat keberadaan Unaya dan Suryo.

"Unaya, Om?". Gumam Jeka.

"Kamu jelaskan nanti sama Om, Om bicara dulu sama polisi". Kata Suryo sembari masuk kedalam sebuah ruangan bersama Pak polisi.

Setelah Suryo masuk kedalam ruangan, Unaya dan Jeka saling menatap dengan kaku-nya seakan-akan mereka tidak pernah saling mengenal. Unaya mengusap air matanya dan dengan berani berlari kearah Jeka, kemudian memeluk pemuda itu.

"Nakal!". Isak Unaya sembari memukul dada Jeka pelan. Tubuh Jeka menegang, namun beberapa detik kemudian pemuda itu membalas pelukan Unaya. Jeka memeluk Unaya erat sekali, sebab pemuda itu sangat rindu. Ia menghirup rakus aroma Unaya, rasanya menenangkan dan membuat segala resah dihatinya hilang begitu saja.

"Ngapain ke sini sama Papa?". Tanya Jeka sembari mengusap rambut panjang Unaya. Unaya memeluk Jeka lebih erat, meletakkan kepalanya didada pemuda itu. Mendengarkan suara detak jantung pemudanya yang bertalu tidak normal.

"Jemput kamu lah, mau ngapain lagi?!". Desis Unaya sebal. Jeka tersenyum kecil, sama sekali tidak melepaskan pelukannya. Biarlah seperti ini sebentar saja.

"Aku gak apa-apa kok, aku...".

"Tapi aku khawatir! Kamu gak usah takut, aku gak berharap lebih kok. Aku gak minta kamu jadi bersikap baik sama aku". Perkataan Unaya sukses menohok hati Jeka. Pemuda itu bingung hendak menjelaskan dari mana, ia belum siap mengatakan siapa dirinya pada Unaya. Jeka mengurai pelukannya kemudian mengusap pipi Unaya lembut, menelisik wajah cantik gadis didepannya ini.

"Makasih udah khawatir, maaf juga bikin kamu repot". Kata Jeka.

"He'em gak apa-apa". Sahut Unaya yang mendadak salting. Gadis itu menatap sekitar asal tidak menatap Jeka, Jeka juga sama pemuda itu ikutan salting.

"Jeka?". Panggil Unaya.

"Ya?".

"Private number itu...".

"Unaya aku lupa, aku masuk kesini sama teman. Kamu bisa gak bantu bebasin dia?". Potong Jeka cepat-cepat. Pemuda itu sengaja mengalihkan pembicaraan agar Unaya tidak membahas private number. Jangan sampai ia ketahuan.

"Ha?". Tanya Unaya kebingungan. Padahal gadis itu yakin sekali jika private number yang sering mengirim pesan padanya adalah Jeka. Tapi mungkin waktunya tidak tepat untuk menanyakan hal itu pada Jeka. Ya sudah lah, toh bertemu dengan Jeka plus bisa memeluknya saja sudah bisa membuat Unaya bahagia.

--Bangsat Boys--