Hari berikutnya berita duka menyelimuti sekolah tempat Salwa mengajar. Lebih tepatnya lagi ruang VIII-C, kelas dimana Salwa bertugas sebagai guru pembimbing Bahasa Inggris. Seorang anak didiknya ditemukan meninggal minggu kemarin. Amir. Keramahan dan bagaimana senyumnya mengembang, masih melekat kuat dalam ingatan Salwa. Sejak hari itu, hari dimana Salwa melihat Zeis muncul di sekolah dan berdiri di belakang Amir.
Polisi dan beberapa reporter mulai berdatangan guna mengumpulkan informasi.Tubuh Salwa gemetar. Samar-samar dia melihat beberapa Bakal Manusia muncul dan menghilang. Mereka berkumpul di sekitarnya. Mereka berbentuk uap dan dengan tubuh yang belum sempurna terbentuk.
Entah pertanda apa.
"Mbak enggak apa-apa?" Seorang guru yang melihat wajah Salwa yang begitu pucat, bertanya khawatir.
Salwa menggeleng. Berusaha meyakinkan orang-orang yang menatapnya bahwa dia baik-baik saja. <span style="font-size: 18px; line-height: 1.66667;">Yuni, seorang guru BP memberi Salwa segelas air. Setelah meneguknya Salwa merasa seluruh ketegangan yang dialami tubuhnya mulai mencair.</span>
Bisa melihat hal-hal yang tidak bisa orang lain lihat seharusnya membuatnya sadar sejak awal, bahwa setiap orang yang dikenalnya atau berada di dekatnya bisa saja mengalami kejadian 'gila' yang sama. Meski memiliki pengetahuan itu, tetap saja membuat Salwa terkejut sampai-sampai sulit bernafas.
Kematian selalu menjadi kabar yang menyedihkan. Derai air mata dan isakan tangis selalu mampu membuat hati bergetar pilu. Darah yang membeku, tubuh yang dingin dan kaku, menjadi satu dalam jasad yang kosong. Ditinggal pergi oleh semangat dan roh yang menjadi pondasi terpenting dalam tubuh manusia.
Salwa dan guru-guru di tempat Amir menuntut ilmu, datang bertandang. Tumpahan tangis keluarga yang ditinggalkan masih membanjiri suasana duka. Pekikan histeris tidak terima semakin membuat kesedihan tampak menyedihkan. Takdir telah menjatuhkan ketetapannya. Jika menangis darah bisa mengubah keadaan, seandainya memekik sampai memutuskan urat-urat bisa membalikkan ketetapan takdir, maka kesedihan tidak akan meninggalkan duka yang menyakitkan.
"Korban pembunuhan yang terjadi pada hari minggu di pastikan adalah korban ke lima dari kasus pembunuhan berantai tahun lalu. Kasus yang tidak kunjung terpecahkan itu menjadi dilema menyedihkan bagi…"
Televisi dimatikan meski berita belum selesai ditayangkan. Daffa dan Dian yang duduk di ruang tengah menengok bergantian ke arah Salwa yang hanya diam saja.
Seorang petugas kepolisian baru saja mendatanginya. Meminta konfirmasinya karena ada seseorang yang bersaksi melihatnya ditempat kejadian. Salwa telah menceritakan semuanya, Dian juga ikut menambahkan, untuk memperkuat penjelasannya.
"Salwa… em… ada yang mau aku tanyakan." Dian mendekati Salwa dengan ragu-ragu.
"Nanti saja." Salwa bangkit setelah mengingat sesuatu yang penting. "Ada urusan yang harus aku selesaikan," tambahnya berlalu dan meninggalkan rumah.
Seharusnya Salwa mengingatnya sejak awal. Seorang pria yang berpapasan dengannya di gang minggu itu, kehadiran Zeis, seharusnya dia bisa memahami semuanya lebih cepat. Seandainya Salwa melihat mata pria itu mungkin dia bisa langsung mengenalinya. Bahwa Salwa pernah bertemu sebelumnya. Melihat orang itu menatap lurus ke arah Amir dengan tatapan yang berbeda.
"Saya ingin bertemu dengan Pak Budiman," kata Salwa mengingat nama petugas yang baru saja menemuinya. "Ini mengenai kasus pembunuhan anak SMP yang baru terjadi," tambahnya pada seorang petugas yang Salwa temui di depan ruang lapor.
Petugas itu segera bertanya pada seorang petugas wanita di ruang lapor mengenai keberadaan Komandan Budiman. Karena Komandan Budiman sedang tidak ada di tempat, Salwa diminta menunggu.
Jika pria itu adalah pelaku yang sama dengan pembunuhan yang terjadi setahun lalu, itu berarti dia adalah orang yang mengerikan. Dia harus segera ditangkap agar rantainya terputus.
"Zeis!"
Zeis tiba-tiba muncul. Zeis duduk tepat di samping Salwa.
"Apa dia juga seorang pasien sebelumnya?" Salwa bertanya.
Salwa menghabiskan waktu 7 menit 19 detik untuk menunggu Komandan Budiman. Begitu tiba, Komandan Budiman segera menemui Salwa.
Salwa menceritakan segala hal yang ada dalam pikirannya dan bagaimana dia bisa bertemu pria aneh itu dua kali. Mengerti semua hal yang Salwa katakan, Komandan Budiman beserta asistennya mengajak Salwa ke ruang penyidikan.
Komandan Budiman meminta data pada seorang petugas yang lebih muda dan berpangkat lebih rendah. Dalam sebuah map penjepit terkumpul data beberapa orang. Komandan Budiman memperlihatkannya pada Salwa dan memintanya mengidentifikasi siapa pria yang dimaksud. Apa datanya sudah masuk dalam daftar atau belum.
"Ada!"
Salwa menunjuk seorang pria yang terdapat dalam lembar ke-5. Fahim Yuda, 27 tahun. Pria itu bekerja disalah satu perusahaan tempat penyewaan dan pengoprasian alat-alat berat.
Komandan Budiman berterima kasih pada Salwa atas kesediaannya berkerjasama. Kepolisian akan memanggil Fahim untuk lebih dulu datang pada introgasi sukarela. Keterangan dan pembelaan dirinya yang kemudian akan digunakan sebagai acuan proses penyelidikan selanjutnya.
Sebagai guru dari korban, Salwa meminta pada Komandan Budiman agar memperbolehkannya menyaksikan dengan mata kepala sendiri saat Fahim diintrogasi. Meski ragu, Komandan Budiman seju.
Salwa bersikeras pada keyakinannya bahwa pria itulah yang telah membunuh Amir. Meski tidak memiliki bukti atau mengetahui bagaimana cara pembunuhnya bekerja, keyakinan Salwa tetap tidak goyah.
*****
Apa dia benar-benar melihatku membunuh?" Fahim balik bertanya dengan kepercayaan diri yang tinggi.
Salwa tidak sedang berada di ruang introgasi. Ada ruangan lain yang terpisah dari ruang introgasi. Di tempat itu, melalui monitor dan speker yang tertanam di sudut atas dinding, Salwa bisa mendengar dan melihat bagaimana proses introgasi berjalan.
"Kalau begitu kenapa kamu berada di tempat kejadian?" Petugas yang mengintrogasi bertanya lagi. Petugas itu bernama Ikhsan.
Ikhsan dan Komandan Budiman ditugaskan untuk memecahkan kasus, juga kasus yang belum ditemukan titik terangnya tahun lalu. Tim telah dibentuk tapi perkembangan proses penyelidikan belum juga menunjukkan adanya perbaikan.
"Dua dari kasus di tahun lalu juga ada saksi mata yang melihatmu di tempat kejadian," Ikhsan berkata lagi, berusaha menyudutkan dengan tatapannya yang tajam.
"Setahun lalu kami juga mendatanginya untuk meminta keterangan mengenai mengapa dia berada di tempat kejadian." Komandan Budiman yang berdiri tepat disisi kanan Salwa berkata. "Tapi tempat yang digunakan pelaku untuk membunuh adalah tempat yang meski sepi, siapapun bisa melewatinya dengan leluasa. Tanpa bukti kami tidak bisa menahan atau memposisikannya sebagai tersangka."
"Apa… ada hal lain yang memungkinkannya sebagai tersangka?" Salwa bertanya karena membaca ekspresi Komandan Budiman yang seperti menyimpan kecurigaan pada Fahim.
"Masa lalunya. Tapi itu tidak bisa dijadikan dasar untuk memutuskan seseorang bersalah." Komandan Budiman menjawab dengan pandangan lurus ke arah Fahim, lekat. "Tidak ditemukannya bukti dan saksi yang bisa memberatkan, penyelidikan terhadapnya pun dihentikan."
Fahim belum juga membuka mulut untuk memberi jawaban dari pertanyaan terakhir yang Ikhsan ajukan. Fahim terdiam cukup lama.
Petugas Ikhsan mengulang lagi pertanyanya. Berharap kali ini mendapat jawaban yang memuaskan meski hanya sepatah, dua patah kata.
Salwa menatap Fahim lekat, berusaha mencari tahu apa yang ada di pikirannya. Mungkin dengan memperhatikan hal kecil dari gerak gerikannya akan ditemukan celah.
"Sebenarnya…" Fahim mulai bersuara "Aku… bisa melihat masa depan," katanya menatap Ikhsan.
"Apa?!" Ikhsan nyaris terbahak. Sungguh jawaban yang di luar dugaan.
Ikhsan mengira Fahim akan memberikan jawaban yang sama seperti jawaban yang tahun lalu diutarakan. Tidak sengaja lewat atau hanya kebetulan.
Tempat penemuan mayat korban selalu memiliki ciri khas yang sama. Meski sepi, namun intensitas orang lewat selalu ada setiap tiga atau lima menit sekali. Sehingga menggunakan alasan tidak sengaja atau kebetulan, bukanlah hal yang mencurigakan. Karena jika mau diurutkan, ada nyaris 10 orang yang menggunakan alasan yang sama.
"Karena aku pikir bisa menyelamatkan mereka." Fahim tetap melanjutkan kalimatnya meski petugas di depannya tidak mempercayai, bahkan menertawakannya. "Tapi, meski aku dapat melihat masa depan, aku tetap tidak mampu mengubah takdir." Tatapannya berubah sedih.
Kalimat terakhir yang Fahim ucakan sangat menyentuh. Terdengar seperti nyanyian tulus dari seorang budiman yang bersenandung merdu. Untuk sesaat tatapan Fahim seperti mengelana ke tempat yang jauh.
Petugas Ikhsan menatap ke arah CCTV. Sepertinya mulai goyah. Padahal hanya beberapa kalimat yang didengarnya. Fahim ikut memandang ke arah mana petugas Ikhsan memandang.
Saling bertatapan meski hanya melalui monitor, meski orang-orang yang berada di sana tidak mampu menebak dengan pasti keberadaan orang-orang yang berada di ruang sebelah, tetap mampu membangkitkan kesan yang sama seperti hari itu. Hari ketika pria berpenutup kepala itu diam-diam menatap Amir.
"Hatinya memberi isyarat, tapi dia angkuh dengan sikap tak acuhnya."
Sebuah kalimat kembali mengiang di telinga Salwa. Seandainya hari itu Salwa melakukan sesuatu, seandainya dia meminta Amir untuk hati-hati dan waspada, seandainya ada sedikit saja kepedulian dalam hatinya…
Perasaan bersalah menyarang Salwa.
Padahal Salwa sudah banyak melihat berbagai hal yang sengaja di tunjukkan Bakal Manusia padanya. Pernah menjadi bagian yang nyaris diacuhkan. Melihat semua pemandangan itu dan merasakannya sendiri harusnya mampu membuat hatinya lebih peka. Nyatanya, dia sama saja.
"Aku sudah menduga itu kamu."
Seseorang berkata ketika Salwa telah meninggalkan kantor polisi. Salwa berdiri di tepi jalan hendak menyeberang ketika seorang pria dengan tinggi badan 185 cm, mengenakan topi juga switer yang melapisi kaos abu-abu tuanya mendekat. Fahim.
Peraturan tetaplah peraturan. Tanpa saksi dan bukti yang jelas, seseorang tidak mungkin bisa ditahan. Apa lagi Fahim memenuhi panggilan hanya untuk introgasi suka rela. Setelah semua pertanyaan dijawab, Fahim bisa dengan leluasa bisa meninggalkan kantor polisi.
Salwa hanya diam. Tidak berencana menanggapi atau berdebat. Salwa tahu ini belum berakhir. Salwa yakin cepat atau lambat Fahim akan menebus dosanya. Harus!
"Aku bisa melihat masa depan. Aku bilang seperti itu pada polisi." Fahim berkata lagi. "Dan aku… bisa melihatnya juga ketika menatap matamu." Fahim menggerak-gerakkan jari telunjuknya. Memutar-mutarnya di udara. "Kematian… menempel begitu rapat di punggungmu."
"…"
Pria itu menatap Salwa kemudian tersenyum.
"Apa itu artinya aku korban selanjutnya?" Salwa bertanya. Rahang Salwa mengeras. Keangkuhan Fahim semakin membuat Salwa merasa bertanggung jawab atas apa yang telah menimpa anak didiknya.
Lagi. Fahim tersenyum lagi. Fahim tidak menjawab pertanyaan Salwa, dan melenggang pergi begitu saja.
"Zeis, aku yakin itu dia!" Salwa berkata tegas pada Bakal Manusia yang sudah terlihat di matanya sejak keluar dari kantor polisi.
"Salwa !"
"Dian?!"
Salwa terkejut melihat Dian yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya. Akhir-akhir ini kemunculannya yang tiba-tiba sudah seperti Bakal Manusia. Salwa yang belum terbiasa selalu dibuatnya terkejut.
"Aku ingin bicara denganmu." Dian berkata tegas. Jelas sesuatu yang akan dibicarakan adalah masalah serius.
Zeis menghilang. Memberi ruang pada Salwa dan Dian untuk berbicara.
"Apa sebenarnya yang kamu lihat?" Dian bertanya dengan ekspresi serius yang tidak dibuat-buat.
Salwa mengerutkan kening. "Yang aku lihat? Apa yang aku lihat?" Salwa balik bertanya.
"Zz…Zeis?"
Dian menyebutkan nama Bakal Manusia yang baru beberapa detik yang lalu meninggalkan mereka. Pikir Salwa, Dian pasti mendengarnya ketika berbicara dengan Zeis.
"Bukan apa-apa. Ayo, kita pulang!" Salwa mengalihkan pembahasan. Bercerita pun tidak akan ada yang percaya.
"Ayah, Ibu, Daffa, mereka semua menghawatirkanmu…"
"Kalo begitu ayo, kita segera pulang!" Kata Salwa menegaskan kembali ajakannya. Salwa hendak meraih tangan Dian, namun Dian justru menyembunyikan tanggannya di belakang punggung.
Dian menggeleng. "Mereka mendengar orang-orang membicarakanmu." Kalimat Dian membuat tangan Salwa berhenti di udara. "Orang-orang mengatakan setelah keluar dari rumah sakit kamu selalu berkeliaran. Beberapa dari mereka bahkan melihatmu bicara sendiri. Berada di suatu tempat dan menatap ke arah kosong, tanpa siapapun."
Salwa mendengarkan. Ketika Dian telah menyelesaikan kalimatnya, Salwa pun berkomentar, "Enggak perlu didengar apapun yang orang lain bicarakan."
"Kalau begitu katakan padaku apa itu Zeis?" Dian melangkah lebih dekat kearah Salwa. "Yusuf… Ilyas… Jun…"
Dian menyebutkan nama-nama yang akrab di telinga Salwa. Bukan hanya akrab tapi Salwa mengenal mereka semua. Salwa terkejut, sangat terkejut. Bagaimana Dian bisa tahu semua nama-nama itu. Bahkan nama-nama mereka yang tidak tampak.
Dian memperhatikan sahabatnya. Kening Salwa berkerut dalam. Alisnya bahkan sudah menyatu. Salwa yang dikenalnya memang akan bereaksi seperti itu saat ada hal-hal yang tidak bisa di pikirkan oleh logikanya.
Ceritakan padaku semuanya. Kita teman, 'kan? Sebelumnya kita bahkan sangat akrab. Percayalah padaku, aku akan membantumu!" Dian memegang bahu Salwa dan berkata dengan kalimatnya yang memaksa.
Salwa berusaha mengerti, berusaha memahami perubahan sifat Dian, tapi tetap tidak bisa. Ada banyak tanda tanya dalam benaknya. Ada apa, kenapa. Dian yang berada di depannya saat ini bukan seperti Dian yang selama ini sekamar dengannya. Dian menatap Salwa dengan tatapan yang berbeda.
Salwa menepis tangan Dian agar melepaskan cengkeramannya yang semakin menyakitkan.
"Aku enggak mengerti apa yang kamu bicarakan!" Kata Salwa sengit dan meninggalkan Dian lebih dulu.
Seolah tersadar dengan sikapnya yang terlalu memaksa, Dian hanya mematung di tempatnya. Begitu menyadari kesalahannya, Dian mengejar langkah Salwa. Berjalan di belakang Salwa dengan tenang.
"Aku pulang."
Salwa memasuki rumah. Dian masih membuntut di belakang. Salwa pikir orang-orang di rumah saat ini telah sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing, ternyata tidak. Semua berkumpul di ruang tengah. Menunggu kepulangan Salwa.
Ayah, Ibu, dan Daffa melakukan kontak mata dengan Dian. Sebuah isyarat yang hanya Salwa satu-satunya yang tidak mengerti maksudnya. Dian menggeleng. Ibu tiba-tiba menangis. Semua keluarga terlihat kecewa sekaligus sedih.
Maafkan Ibu sayang." Ibu memeluk Salwa dan terus terisak.
"Kenapa? Ada apa ini?" Salwa sama sekali tidak mengerti. Tatapan mata Ayah dan Daffa, isak tangis Ibu. Sama sekali tidak bisa membaca situasi seperti apa yang sedang terjadi.
Semua orang masih terdiam. Isak Ibu semakin keras, air mata yang tumpah pun semakin deras. Ayah meminta Ibu tenang, mengantikan Salwa dan merangkul Ibu.
Sekian lama hanya diam, Dian memberanikan diri mendekati Salwa. Dian menyodorkan smart phonenya. Layar ponsel memperlihatkan beranda sebuah blog. Salwa mengerutkan keningnya. Tidak mengerti apa hubungan blog dengan situasi yang sedang terjadi.
'Bagian yang Lain,' Salwa membaca salah satu judul bacaan yang ada dalam blog.
"Yusuf, Ilyas, Luna, Adam, Jun, dan Zeis adalah nama tokoh yang hidup dalam cerita 'Bagian yang Lain'," Dian berkata selagi Salwa membaca.
Salwa melompati beberapa kalimat dengan tidak sabar untuk bisa segera sampai pada inti cerita. Nafas Salwa tertahan dan pijakannya seperti tidak benar-benar menapak di bumi. Profil pemilik blog adalah dirinya sendiri. Ponsel Dian merosot dari genggamannya dan jatuh ke lantai. Salwa sendiri nyaris ambruk. Sofa yang tepat berada di sampingnya dijadikan pegangan untuk menguatkan pijakannya.
Pikiran Salwa kacau. Benar-benar kacau. Sekali lagi dia tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. Yusuf, Jun, Zeis, dunia Bakal Manusia, bahkan nama Rumia tertulis jelas dalam cerita yang dia publikasikan dua tahun lalu. Tepat sebelum kecelakaan terjadi.
Salwa menatap mata semua orang. Dian, Ibu yang masih menangis, Ayah, dan Daffa. Salwa tidak lagi mampu membaca ekspresi mereka. Entah mereka sedang mengasihaninya atau menganggapnya gila. Salwa tidak ingin menyimpulkannya. Dia takut. Merasa ngeri.
"Tidak, bukan aku yang salah tapi mereka. Mereka yang salah memahami keadaan dan begitu saja mengambil kesimpulan sendiri." Salwa yakin. Tidak mungkin dia yang salah!
"Maafkan Ibu sayang, Ibu pikir dengan menciptakan lingkungan baru dan segala hal yang baru, luka lamamu akan menghilang. Ibu pikir itu baik untukmu." Ibu berbicara di sela-sela isaknya.
"Ayah juga minta maaf." Ayah menimpali.
Salwa menggeleng. Kata-kata yang sudah berada di ujung lidahnya tidak mampu keluar meski sangat ingin dia katakan. Salwa ingin keluarganya mengerti bahwa mereka telah salah paham. Bahwa ini tidak seperti yang mereka pikirkan.
"Dokter bilang penyebabnya mungkin saja otak yang tidak bisa memilah mana dunia yang sebenarya dan mana yang diciptakan. Dokterin, lingkungan baru. Hal itu merusak keseimbangan otak dan lahirlah halusianasi-halusinasi yang bagimu terlihat nyata. Sesuatu yang lebih bisa kamu pahami." Dian menjelaskan.
Halusinasi? Jadi, selama ini semua orang dalam rumah menganggap…
"Enggak, aku enggak gila!" Salwa menepis pikiran semua orang dengan berang.
Mereka yang salah paham. Mereka yang berpikiran sepihak. Bagaimana Salwa bisa menjelaskan semuanya pada mereka. Apa yang dilihatnya benar-benar nyata. Bagaimana caranya menjelaskan hal-hal yang hanya dia yang bisa melihatnya. Bagaimana harus meyakinkan mereka bahwa Salwa baik-baik saja.
"Salwa…"
"Jangan sentuh!" Salwa menepis tangan Dian kasar. "Aku enggak gila. Ibu percayalah, Ayah…" suaranya berubah memelas.
Salwa mengharapkan reaksi yang lebih baik setelah dia membela diri. Salwa berharap mereka mempercayainya. Tapi tidak. Tidak ada yang berubah. Semua orang tetap menganggapnya sebagai orang gila. Menatap dengan tatapan menyedihkan.
"Bagaimana… bagaimana caraku menjelaskannya pada kalian?!"
Salwa merasa frustrasi. Dia memekik berharap dengan itu perasaanya bisa tersampaikan. Air mata Salwa tumpah, mengalir dengan deras. Kepalanya penuh tapi perasaannya tetap kosong.
"Kenapa kalian enggak percaya padaku? Kenapa kalian enggak percaya pada anak kalian sendiri? Itu menyakitkan. Mengetahui bahwa kalian semua berpikir aku gila itu sangat menyakitiku..."
"Bukan begitu," Dian menyahut "Bukan mereka yang enggak percaya, tapi kamu yang enggak percaya mereka."
"Diam!" Salwa memekik pada Dian. "Apa karena dia? Karena kalian lebih suka bersama Dian dibanding aku jadi kalian lebih memilih mempercayainya?!"
Dian merasa terpukul. Ibu tiba-tiba berhenti terisak. Ayah menggeleng tidak menyangka. Daffa terbelalak. Salwa tahu betapa jahat tuduhannya, tapi dia tetap tidak bisa mengendalikan dirinya.
"Bagaimana dengan blog itu? Bukannya semuanya sudah jelas. Yusuf enggak ada, Jun enggak ada, Zeis enggak ada!"
Salwa menutup telinganya, tidak sanggup mendengar satu kalimatpun yang Dian ucapkan. Tidak sanggup menjelaskan asal blog pribadi miliknya, tidak juga menolak keberadaan Bakal Manusia. Bakal Manusia nyata, bagaimana mungkin dia menolaknya.
"Dian sudah..." Ibu akhirnya menengahi. "Iya sayang, Ibu percaya. Maafkan Ibu, maaf…"
"Tapi, Bu…"
"Tolong berhenti. Kita hentikan ini." Ayah ikut bersuara.
Ibu memeluk Salwa, Ayah menggusap-usap punggungnya. Sebagai orang tua mereka merasa terluka melihat anak mereka terluka. Sebagai orang tua, mereka tidak tega melihat anak mereka tertekan.
Tidak ada satupun kalimat yang terdengar. Hanya isak Salwa dan tangis Ibu yang saling berganti-gantian mengisi kebisuan, memenuhi senja yang mulai termakan gelap.
*****