Pintu terbuka. Pria itu keluar dengan didampingi oleh seorang sipir. Tidak ada yang datang membesuk hari ini kecuali Salwa. Pria itu duduk di depan Salwa yang hanya di batasi oleh dinding kaca tebal transparan. Tatapannya begitu tajam seperti hendak memangsa Salwa seketika itu juga.
Kembali bertemu dengan orang yang nyaris membunuhnya, membuat Salwa mengingat kembali rasa sakit dan ketidak berdayaannya. Tangan kasar pria itu masih terasa mencengkeram leher Salwa, membuatnya sulit bernafas.
<span style="font-size: 18px; line-height: 1.66667;">Salwa sendiri tidak menyangka serangan pria itu begitu membekas dalam dirinya. Salwa menggenggam erat celananya, berusaha keras mengendalikan diri. Berulang kali memberi sugesti pada pikirannya bahwa semua telah berakhir dan dia baik-baik saja sekarang.</span>
<span style="font-size: 18px; line-height: 1.66667;">Begitu berhasil mengendalikan perasaannya, Salwa memperhatikan dengan lekat pria di depannya. Orang itu sama sekali belum berubah. Masih saja setia mengakrabi amarahnya.</span>
"Kenapa kamu enggak mati?" tanyanya tajam.
"Kalau kematian bisa begitu mudah mengambil nyawaku, mungkin aku sudah mati dua kali saat ini," jawab Salwa. Sama sekali tidak terdengar ada kebanggaan dari kalimatnya.
Melihat wajah penjahat yang menyakitinya dari dekat, benar-benar membuat Salwa tidak baik-baik saja. Salwa masih berusaha mengendalikan perasaannya, ketakutannya.
"Kalau begitu, jika sekali lagi kamu berada dalam posisi itu kamu pasti akan benar-benar mati." Pria itu berusaha menghancurkan pertahanan yang dengan susah payah Salwa bangun. "Mungkin itu adalah saat dimana kita akan bertemu lagi."
Salwa tidak menanggapi. Dia berusaha tersenyum meski ketir. "Aku kesini hanya untuk melihat bagaimana orang sepertimu berakhir. Sama sekali enggak tertarik mendengar rencana-rencanamu." Salwa bersiap-siap menyudahi tekanan psikis yang dialami jiwanya.
"Berakhir?" Pria itu menanggapi nyaris tertawa.
"Paling enggak istri dan calon anakmu akan baik-baik saja sampai waktunya tiba." Salwa menanggapi untuk terakhir kalinya.
-Brak, pria itu memukul kaca pembatas dengan kepalan tangannya yang besar. Sepertinya istri adalah harga diri tertinggi yang tidak boleh sembarang orang menyebutnya.
"Apa?! Apa yang kamu katakan pada istriku sampai menolak berbaikan?!" Suara yang tinggi mulai keluar dari mulutnya yang kasar. "Jawab!!!" pekiknya.
Sipir yang sedang berjaga segera mengamankan. Pria itu terus berteriak namun Salwa hanya melihatnya dengan tatapan menyedihkan. Kewalahan dengan kekuatan pria itu, satu penjaga lagi masuk. Keduanya menarik dengan paksa pria itu, mengembalikan ke dalam tahanannya.
Seharusnya seperti ini pilihan yang wanita itu ambil sejak awal. Pria yang mencintai dengan amarah hanya akan menciptakan sebuah neraka. Sampai kapanpun. Selama cinta dan amarah tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang berbeda. Sebagai sesuatu yang tidak seharusnya dipelihara.
*****
"Aku pulang." Kata Salwa saat memasuki rumah. <span style="font-size: 18px; line-height: 1.66667;">Dari awal Salwa memang tidak berencana berlama-lama di luar karena memikirkan orang tuanya yang akan khawatir.</span>
Setelah meminta Dian membiarkan Salwa sendiri, dia pikir tidak akan melihatnya lagi. Minimal sampai satu hari berakhir. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Mata Salwa tertuju pada tas besar di lantai dekat kaki Dian yang sedang duduk bersama Ayah dan Ibu di ruang tamu.
"Mulai hari ini Dian akan tinggal bersama kita." Ayah menerjemahkan apa yang Salwa tatap selama lebih dari lima menit.
"Apa? Kenapa?" Salwa bertanya. Terlebih karena dia tidak mengerti.
"Enggak apa-apa, 'kan Kak. Bertambah satu lagi orang, rumah pasti semakin ramai." Daffa yang sedang menonton televisi di ruang tengah menyahut.
"Dian akan tidur di kamarmu. Enggak apa-apa, 'kan berbagi kamar dengan teman sendiri?" Ibu menambahkan.
Salwa berdiri bergeming. Mencoba mencerna apa yang terjadi. Bahkan tanpa mendengar pendapatnya, semua orang telah setuju.
"Enggak apa, 'kan?" Dian menatap Salwa sembari mengedipkan matanya. Senyumnya merekah.
Karena semua orang sudah memutuskan, Salwa bisa bilang apa. Dia hanya menaikkan alisnya.
"Kalau begitu Ibu akan mulai memasak sesuatu." Ibu melewati Salwa yang masih berdiri mematung di tempatnya.
"Saya bantu ya, Bu." Dian menawarkan diri, melewati Salwa begitu saja dengan membawa tas-tasnya yang langsung diungsikan ke ruangan yang menjadi kamar Salwa.
Kehidupan baru Salwa kembali dimulai. Kali ini tidak hanya mengenai Bakal Manusia, tapi juga Dian. Salwa menggeleng tidak percaya. Terlebih tidak mengerti dengan apa yang dipikirkan keluarganya.
Rumah benar-benar bertambah ramai dengan bertambahnya satu orang. Daffa menemukan rivalnya dalam bermain game. Dian sangat jago bermain dan menguasai banyak trik. Ibu menemukan teman untuk berlama-lama di dapur, bergelut dengan bahan makanan, dan aroma masakan. Dian tidak jago memasak tapi dia sangat suka makan sehingga bertekad mempelajari banyak resep dari Ibu. Ayah menemukan patnernya untuk bertukar pikiran mengenai politik. Padahal Dian tidak mengambil jurusan pokitik, tapi dia jago sekali saat berbicara.
<span style="font-size: 18px; line-height: 1.66667;">Hanya bertambah satu orang, tapi efeknya bisa membangunkan berbagai keceriaan di setiap sudutnya. Di ruang tengah, di dapur, di teras. Semua tempat. Bahkan dalam kamar Salwa yang membeku dingin.</span>
"Boleh aku letakkan figura foto di sini?" Dian menunjuk meja belajar, Salwa mengangguk. <span style="font-size: 18px; line-height: 1.66667;">"Beberapa buku juga aku letakkan di sini, ya," katanya lagi.</span>
Dian memang selalu meminta izin pada Salwa saat akan melakukan ini atau itu, meletakkan ini atau itu, memindahkan ini atau itu. Salwa tahu Dian sangat memprioritaskannya sebagai penguasa kamar. Tapi tetap saja Salwa merasa terganggu. Dia merasa Dian begitu berisik. Seharusnya untuk hal-hal kecil Dian bisa pertimbangkan sendiri tanpa harus terus menerus bertanya.
"Hah~ waktunya istirahat." Dian naik ke kasur dengan melompat. Lagi-lagi Salwa mengerutkan kening karena merasa terganggu.
Hari memang sudah malam. Waktunya tidur. Salwa yang semula membaca, meletakkan buku bacaannya dan bersiap-siap memanggil bunga tidur.
Di samping rak buku, Salwa melihat figura foto yang Dian letakkan bersebelahan dengan figura foto Salwa sekeluarga. Dian kecil bersama Ayah dan Ibunya. Foto lama. Foto yang hanya degan melihatnya saja aura kehangatan keluarga kecil itu bisa langsung tersampaikan. <span style="font-size: 18px; line-height: 1.66667;">Sebuah foto lagi. Foto sekelompok gadis yang terlihat sedang melakukan petualang. Salwa salah satunya.</span>
<span style="font-size: 18px; line-height: 1.66667;">Salwa mengalihkan pandangannya pada Dian. Dian terlentang menatap langit-langit kamar. Sepanjang hari ini senyumnya selalu saja merekah tapi Salwa sama sekali tidak bisa menebak apa yang dipikirkannya dan bagaimana perasaan sebenarnya.</span>
"Jika tidur satu ranjang seperti ini jadi teringat masa lalu. Masa dua tahun lalu. Hanya... kurang satu orang lagi."
Dian mengalihkan pandagannya dari langit-langit kamar ke arah Salwa yang merapat ke dinding sembari memeluk guling. Binar-binar mata penuh semangat itu ternyata bisa juga menyembunyikan sebuah duka dan kesendihan.
"Siapa? Salah satu gadis yang ada di foto?" Salwa bertanya pada Dian sembari menunjuk ke arah foto yang berjajar di meja.
Dian bangun dari baringnya, mengambil foto di atas meja. Dian menghela nafas cukup panjang sebelum menunjukkan foto itu pada Salwa.
Masa lalu, ini pertama kalinya Dian membicarakannya.
"Lihat!" Dia menunjuk foto seseorang yang juga mengenakan kerudung.
Salwa ikut bangun dari baringnya dan memperhatikan foto yang Dian tunjuk. Seorang gadis manis yang berdiri di antara Salwa dan Dian. Bukan hanya ada mereka bertiga dalam foto itu. Ada seseorang di sisi Salwa dan seorang lagi di sisi Dian.
"Waktu itu kita bertiga dan dua teman kerjamu menjelajah ke dalam hutan." Tatapan mata Dian menunjukkan binar-binar mengenang. Lebih tepatnya merindukan.
Salwa perhatikan lagi semua wajah dalam foto. Mereka berdiri di depan sebuah pohon besar yang katanya berumur ratusan tahun. Meski terlihat kelelahan, tetap tidak ingin foto yang diambil menjadi berantakan sehingga gaya-gaya terbaik ditampakkan. Mereka tersenyum dan berekspresi semanis mungkin.
"Ah~ aku sangat merindukan masa itu." Dian berkata sembari menjatuhkan kepalanya tepat di atas bantal. Dian memeluk foto dan memiringkan tubuhnya membelakangi Salwa. "Aku enggak tahu kenapa, tapi melupakan masa lalu semenyakitkan apapun itu, rasanya enggak baik." Suara Dian merendah, punggungnya bergetar. Air mata mengalir membasahi pipinya.
Tenang. Tidak ada lagi yang berbicara. Tidak ada suara. Baik Salwa maupun Dian telah terlelap dalam kesunyian kamar yang meninabobokan para penghuninya.
*****
Mentari masih menyapa seperti hari-hari biasanya. Bumi juga masih berputar. Bertemu dan melihat apa yang Bakal Manusia lihat masih terus menjadi pemandangan yang tidak mampu Salwa abaikan. Mereka terus saja terlihat meski berulang kali Salwa mencoba memalingkan wajahnya.
Rumah, sekolah, dunia Bakal Manusia, Salwa melalui ketiganya sama seperti biasa. Yang tidak biasa hanya karena Dian sering berada di sekitar Salwa, membuat ruang bernafas untuk menyendiri jadi berkurang sampai setengahnya.
Minggu ini, Dian sudah memulai kehebohan pagi-pagi sekali. Sehari sebelumnya Dian memang telah mengumumkan rencananya ke pada seisi rumah. Ayah dan Ibu dengan senang hati menyetujui rencana yang Dian ajukan untuk sama-sama membersihkan rumah. Ayah bahkan telah membeli beberapa cat untuk mengubah warna ruang tengah<span style="font-size: 18px; line-height: 1.66667;">. Suasana baru akan membuat rumah menjadi lebih menarik. Secara tidak langsung juga bisa mempengaruhi suasana hati.</span>
"Daffa cepat bangun!!" Dian menggedor-gedor kamar adik Salwa.
Pukul enam teng, Dian telah mengusik Salwa yang masih terlalu nyaman dengan dunia mimpi yang dia singgahi. Tiba giliran Daffa, Daffa bisa merasa aman karena anak itu mengunci kamarnya. Membuat Dian hanya bisa berteriak dan menggedor-gedor dari luar.
"Sudah menyerah saja," kata Salwa. Telinganya mulai tidak tahan mendengar keributan yang Dian buat. Salwa beralih ke dapur yang lebih tenang dan meneguk segelas air mineral.
"Ayo, kita mulai saja bersih-bersihnya tanpa Daffa!" Ibu yang hanya melihat saja ikut menyerah sama seperti Salwa.
Ibu yang paling tahu bagaimana susahnya membangunkan Daffa. Untuk pergi ke sekolah saja Daffa baru bisa dibangunkan jika jam masuk sekolah sudah sangat mepet. Tiada hari bagi Daffa tanpa terburu-terburu. Ayah juga setuju. Ayah masuk ke gudang dan mengeluarkan segala peralatan yang dibutuhkan.
"Daffa… kamu benar-benar enggak mau bangun?"
Dian satu-satunya yang menolak untuk menyerah. Sepertinya kepalanya sekeras baja. Mungkin, meski satu dunia menyerah, Dian akan menjadi satu-satunya orang yang tidak sudih dipecundangi oleh kekalahan.
"Daffa cepat bangun, nanti kuberitahu bocoran game anime terbaru yang akan rilis maret ini. Aku mendapatkan beritanya dari websaite official langgananku. Kamu tahu, genre gamenya gun ac…" Dian menahan kalimatnya dan menempelkan telinganya rapat-rapat ke pintu kamar.
"Kakak sudah tahu? Benar tahu?" Daffa membuka pintu kamar dan bertanya memburu.
"Bihong!" Dian berkata sembari menjulurkan lidahnya. Misinya sukses dan Dian tersenyum penuh kemenangan.
Tahu dibohongi, Daffa buru-buru menutup kembali pintu kamarnya, tapi terlambat. Dian sudah menyiapkan kakinya sebagai pengganjal. Daffa kembali masuk kamar dan menutupi kepalanya dengan bantal juga bersembunyi di balik selimut.
"Ayo cepat bagun!" Dian berteriak lagi.
"Ahhhh… sial!!" Daffa mengumpati kebodohan dirinya sendiri.
Meski masih urung-uringan, bergerak dalam gerak malas, Daffa tetap keluar dari kamar. Ayah dan Ibu memberikan dua jempol untuk Dian karena usahanya. Mereka tertawa, dan Daffa hanya manyun, masih tidak terima.
Keluarga yang terlihat sangat sempurna, sayangnya Salwa justru merasa terasingkan. Yang bisa membuat mereka semua tertawa bukan dirinya. Dirinya hanya bisa memberi rasa khawatir. Selalu.
Meski merasa terasingkan, Salwa tahu keluarga adalah satu-satunya hal yang dia punya. Meski setiap tempat terasa asing, namun ketika berada di antara keluarganya, Salwa tahu itu adalah tempatnya. Salwa tidak ingin kehilangan mereka.
Bersih-bersih dimulai jam tujuh kurang sepuluh menit. Waktu banyak terbuang hanya karena begitu susah membangunkan Daffa. Ayah dan Daffa mengecat ruang tengah. Ibu memanggang roti untuk camilan sekaligus sarapan pagi, Salwa dan Dian mulai membersihkan pojok-pojok ruangan yang menjadi sarang persembunyian debu; sela-sela lemari, fentilasi, rak-rak penyimpanan buku, dan kolong-kolong.
Setelah Ibu selesai dengan roti panggangnya, Ibu mengambil tempat di teras depan. Ibu merapikan tanaman hias dan mengamankannya dari tumbuhan-tumbuhan penganggu seperti rerumputan atau hama sejenisnya.
Matahari mulai terik di luar sana, hawa panasnya terasa sampai ke dalam rumah. Kipas angin belum bisa dinyalakan karena debu masih berserakan dimana-mana. AC hanya ada di kamar. Dian mengambil sapu, sementara Salwa bertugas mengepel. Setelah debu berhasil disingkirkan, Dian menyalakan kipas angin dan duduk menguasai paling depan.
–Tong-tong, terdengar suara pukulan gong mini penjual es tong-tong keliling. Dian yang masih asik dengan tempat ternyamannya segera bangkit, masuk ke kamar, dan berlari ke luar mengejar penjual es. Salwa berpindah tempat, menguasai tempat yang sebelumnya Dian kuasai.
"Aku juga mau!"
Daffa yang semula duduk bermalas-malasan karena pekerjaannya telah selesai, ikut bangkit dan menyusul Dian. Namun belum sampai di depan pintu, Daffa menyenggol ember yang berisi air pel hingga airnya tumpah kemana-mana. Salwa lupa embernya dan hanya menyimpan alat pelnya saja di belakang.
"Biar aku yang bersihkan," kata Daffa ketika Salwa akan berdiri.
"Dimana alat pelnya?!" Daffa berteriak ketika Salwa sudah sangat nyaman dengan posisinya.
"Di samping drum!" balas Salwa berteriak.
"Dimananya?!" Daffa berteriak lagi.
Dengan malas Salwa berdiri dan mengambil alat pel yang tadi disimpannya. Ketika Salwa kembali, Dian memasuki rumah dengan lima es di tangannya.
"Kak awas li…"
–Buk, belum selesai kalimat peringatan Daffa ucapkan, Dian sudah terpeleset dan jatuh. Es yang ada di tangannya ikut jatuh dan berhambur tanpa ada satupun yang bisa diselamatkan.
"Esnya…"
Bukannya mengeluh kesakitan, hal yang pertama kali Dian lakukan justru meratapi es-esnya. Ekspresinya benar-benar sedih dan kecewa.
Gelak tawa kembali pecah. Membahana memenuhi setiap sudut seisi rumah. Cara Dian saat terjatuh, ekspresi wajahnya yang meratap, membuat siapapun tidak bisa menahan diri untuk tidak ikut tertawa. Termasuk Salwa. Es yang dingin membeku itupun mulai mencair.
"Dasar ceroboh!" cemooh Salwa.
Kesibukan hari itu di tutup dengan pergi ke pasar pada sore harinya. Awalnya Ibu sendiri yang akan pergi, namun Dian menawarkan diri. Salwa pikir Dian menawarkan diri karena akan pergi berdua dengan Ibu, namun tidak. Dian meminta daftar belanjaan yang telah Ibu buat dan mengajak Salwa agar ikut pergi bersamanya.
"Apa?! Kenapa?" Salwa tidak habis pikir.
Meski tidak mengatakan 'iya', Dian tetap menarik Salwa agar pergi bersamanya. Dan meski Salwa tidak ingin pergi, kakinya tetap melangkah di samping Dian.
"Kita mau kemana? Sayurannya kita beli di warung aja, keperluan yang lain di swalayan dekat rumah," kata Salwa memberi saran. Dia ingin sesuatu yang praktis dan cepat.
"Jangan! Kita beli di pasar, bisa sekaligus menghemat pengeluaran." Dian menepis saran Salwa. "Ayo, cepat!" tambahnya lagi berjalan di depan Salwa.
Pasar. Tempat itu letaknya tidak dekat dari rumah. Seharusnya meminta Ayah mengatar saja agar saat pulang dengan belanjaan di tangan, mereka tidak perlu merasa repot dan berat. Tapi mereka justru pergi dengan berjalan kaki.
"Pulangnya saja nanti yang naik angkutan umum," usul Dian, menyebutnya sebagai penghematan.
Padahal pulang dan pergi diantar Ayah justru gratis. Lagipula yang digunakan berbelanja adalah uang Ibu, kenapa Dian harus repot-repot melakukan penghematan untuk uang orang lain. Salwa menghela nafas panjang dan hanya mengikuti saja semua keinginan Dian yang seenaknya.
Sesampainya di pasar pun tidak berbeda. Dengan mengatas namakan penghematan, Dian menawar semua barang dalam daftar. Tidak jarang Dian berdebat dengan penjualnya untuk bisa mendapatkan harga yang dinginkannya.
Cara Dian berbelanja dan menawar sudah seperti seorang ibu dengan banyak anak. Ibu rumah tangga yang terjepit tingginya beban ekonomi dan harus berjuang keras demi menghidupi keluarga. Sampai didua daftar barang terakhir pun tidak berubah. Padahal uang dalam kantong masih tersisa banyak untuk bisa menerima berapa pun harga yang diberikan.
"Kurangi sedikit lagi, ya Bu?"
Dian terus menawar. Si penjual tetap mempertahankan harga awal yang sudah disebutkan pada Dian. Gerah, capai, membawa belanjaan yang cukup berat, Dian tidak juga mempertimbangkan semua itu dan memilih untuk mengalah. Menerima saja harga yang diberikan dan segera pulang.
"Sudah ambil saja!" Salwa yang tidak tahan dengan perdebatan Dian dan penjual, menengahi. Salwa mengambil uang lima ribuan di tangan Dian dan menyerahkannya kepada si penjual. "Ayo, cepat!" tambah Salwa setelah mendapatkan barangnya.
Untuk belanjaan terakhir Salwa yang mengambil alih. Berapapun harga yang ditawarkan segera disetujui, menyerahkan uang, dan menerima barang. Salwa tidak mengijinkan Dian berbicara selama dia yang berbelanja. Cara Dian berbelanja yang eksteram membuat banyak waktu terbuang sia-sia. Dian menghemat uang Ibu tapi melakukan pemborosan terhadap waktu orang lain.
"Kenapa minyaknya enggak ditawar? Kita, 'kan beli dua botol." Dian memprotes. "Hari ini kita membuang lima ribu secara sia-sia. Bayangkan kalau setiap hari dalam sebulan kamu melakukan itu, seratus lima puluh ribu akan terbuang sia-sia."
"Uang bisa dicari, tapi waktuku yang kamu sia-siakan, bagaimana cara menggantinya?" Salwa mendebat.
Dian tersenyum. "Sifatmu sekarang sudah sedikit mirip dengan Salwa yang dulu." Dian berucap dan tertawa. "Aku terbiasa seperti ini karena setiap uang yang ada di kantong harus kuhemat. Hidup sendiri memang seperti itu. Menjadi ibu rumah tangga sekaligus kepala keluarga bagi diri sendiri."
Yatim piatu?
Dian bercerita tanpa menatap lawan bicaranya. Mereka melewati penjual molen unyil pinggir jalan dengan gerobak beretalase. Aromanya saat di penggorengan menyebar kemana-mana. Dian yang selalu tertarik untuk makan, mampir dan mencobanya.
"Enak!" katanya setelah mengunyah satu yang berasa coklat. "Kita beli ya untuk camilan di rumah."
Dian menyuruh Salwa untuk mencobanya juga. Salwa menggeleng. Lagipula sudah dibeli, Salwa akan mencobanya nanti saat sampai di rumah.
Sebelum menemukan angkutan umum yang mau mengatar mereka pulang, mereka harus berjalan keluar dan menyebrang lebih dulu. Angkutan umum tidak diperbolehkan berhenti di depan pasar karena akan menjadi penyebab kemacetan dan mengganggu pengguna jalan lain.
"Di sana ada angkot yang berhenti, ayo!" Dian menunjuk angkot yang berhenti tidak jauh di depan.
"Zeis?" Salwa melihat sosok yang samar-samar muncul. "Tolong, pegang dulu! Aku ada urusan sebentar," tambah Salwa menyerahkan tiga kantong plastik penuh berisi belanjaan yang tadi dibawanya.
"Eh? Kenapa? Siapa ?" Dian bertanya-tanya namun Salwa hanya mengabaikannya.
Setengah berlari Salwa menuju ke tempat dimana sosok Zeis terlihat. Masuk ke sebuah gang kecil yang sepi. Langkahnya melambat. Zeis melihat ke arah Salwa.
"Sesuatu pasti telah terjadi." Batin Salwa berseru dan otaknya setuju.
Tatapan Bakal Manusia yang tenang akan berubah datar setelah menyaksikan pemandangan 'gila'. Salwa celingukan ke sana, ke mari, mencari tahu hal apa yang sudah Zeis saksikan. Pemandangan gila apa yang dilihatnya.
"Eh?"
Seseorang yang sepertinya pernah Salwa lihat muncul dari balik dinding belakang rumah seseorang. Pria, mengenakan sweter dengan tudung yang menutupi kepalanya. Langkahnya tenang dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku.
Bukan dia. Orang itu pasti bukan pasien Zeis.
"Salwa!"
Suara Dian terdengar dari kejauhan. Salwa nyaris menatap mata pria yang tepat berpapasan dengannya. Sayangnya suara Dian mengejutkannya, membuatnya harus mengalihkan pandangan.
"Kenapa?" tanya Dian mendekat ke arah Salwa.
Salwa hanya menggeleng dan mengajak Dian segera pulang. Salwa berbalik sekali lagi sebelum begitu jauh meninggalkan Zeis yang masih hanya berdiri di tempatnya. Bibir Zeis bergerak, seperti menyebutkan sesuatu. Langkah Salwa berhenti dan Zeis menghilang.
"Kenapa ?" Dian bertanya lagi. Dian ikut menatap ke arah dimana mata Salwa tertuju.
Untuk kesekian kalinya Salwa mengabaikan pertanyaan Dian. Kembali berbalik. Hanya melangkah agar bisa secepatnya sampai di rumah. Meninggalkan Dian yang masih berdiri terheran-heran. Mencari-cari sesuatu.