Salwa pergi bekerja seperti hari biasanya. Ketika dia membuka mata di pagi yang masih gelap, Salwa menemukan sisi kiri ranjangnya kosong. Bahkan kamar masih terlalu rapi dan belum tersentuh kedatangan Dian.
Biasanya Dian selalu bangun lebih awal. Bahkan sebelum azan tedengar bersahut-sahutan. Dengan wajah yang dipenuhi basahan titik-titik air wudlu, Dian terlihat segar di tengah kemalasan pagi yang masih meniupkan uap-uap kantuk. Pagi tadi Dian sama sekali tidak terlihat. Dian tidak kembali. Tidak pulang semalaman.
"Apanya yang hanya imajinasiku." Salwa berkata pada dirinya sendiri.
Salwa sedang duduk di halte menunggu angkutan umum. Salwa tidak seorang diri. Seorang Bakal Manusia duduk tepat di sisi kirinya yang kosong sejak 5 menit lalu. Tatapannya sedang awas, mengamati seorang lelaki tengah baya. Ada hal-hal yang hanya orang tertentu saja yang bisa melihatnya, tapi bukan karena mereka 'sakit.'
Mendadak Salwa merasa bersalah pada Dian. Sore itu Salwa benar-benar merasa frustrasi. Dia ingin semua orang mengerti keadaannya, mempercayainya baik-baik saja, tapi tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya. Salwa benar-benar tidak bermaksud menyinggung perasaan Dian. Apa lagi sampai menyakitinya.
"Manusia hanya mempercayai apa yang ingin mereka percayai, sesuatu yang bisa mereka rasakan. Sesuatu yang bisa mereka ukur dengan nalar. Tapi bukankah itu manusiawi? Dunia menjadi terlalu modern itu artinya yang terlihat aneh akan menjadi yang pertama disingkirkan, dicemooh, dianggap gila." Rui menanggapi kalimat yang Salwa katakan untuk dirinya sendiri.
Suara Rui yang begitu nyata, bentuk tubuhnya yang terlihat jelas, bagaimana mungkin semua hanya halusinasi. Bagaimana bisa mereka menyebutnya imajinasi semata.
Benar. Dunia ini terlalu modern untuk bisa menganggap nyata sesuatu yang tidak mampu di tangkap oleh nalar. Tapi bukankah nalar manusia sendiri terbatas. Bukankah tidak percaya, dan benar-benar tidak ada adalah sesuatu yang tidak sama. Sesuatu yang seharusnya bisa dipisahkan.
"Bukan karena tidak ada," Rui menanggapi lagi. Rui bisa membaca ekspresi Salwa meski tidak ada satu kalimat pun yang Salwa ucapkan.
Tentu saja. Mereka selalu seperti itu. Seperti bisa mengintip hati manusia. Seandainya Rui adalah manusia normal, Rui tidak mungkin bisa melakukan itu. Jika semua Bakal adalah manusia normal, Salwa tidak perlu masuk dalam keadaan dimana keluarga menganggapnya 'sakit.'
"Bukan karena tidak ada," Rui mengulang "tapi karena percaya tidak ada, maka menjadi tidak ada."
Salwa menghela nafas panjang. Memikirkan keadaannya berulang kali tidak juga memberi jalan keluar. Begitu bus tiba, Salwa bersama beberapa orang yang telah menunggu, akhirnya beranjak. Masuk secara bergantian. Begitu tiba giliran Salwa, dia merasa Rui sedang menatapnya dari balik punggungnya.
Salwa berbalik.
Tatapan apa itu? Apa Rui juga sedang merasa mengasihaninya?
Terkadang Salwa merasa bisa mengerti dan tahu apa yang Bakal Manusia rasakan atau hendak katakan. Salwa bisa tahu hanya dengan menatap mata mereka. Bagi Salwa, mata adalah cerminan seluruh dunia Bakal Manusia.
'Aku ini kenapa?'
Salwa sering bertanya pada dirinya sendiri. Pertanyaan yang tidak pernah Salwa temukan jawabannya. Tapi, tiba-tiba saja Dian dan keluarganya memberi sebuah jawaban. Jawaban tidak masuk akal. Yang tidak bisa dia terima.
Hari ini Salwa mengajar di tiga kelas. Salwa selalu menikmati saat-saat berada di antara anak didiknya. Dengan kepribadian, dan segala keingintahuan mereka, Salwa ingin melihat bagaimana anak didiknya melalui proses tumbuh dan menjadi dewasa.
Masuk di ruang kelas VIII-C, membuat Salwa teringat apa yang menimpa Amir. Rasa sedihnya masih teramat dalam. Termasuk perasaan bersalah, penyesalan, dan rasa tanggung jawab. Menyakitkan. Ketika hal yang mengerikan menimpa seorang yang dikenal tapi tidak ada yang bisa dilakukan.
Raungan tangis tidak terima keluarga Amir, kembali mengiang di telinga Salwa.
Salwa mulai mengabsen. Ketika nama Amir yang harus disebut, Salwa memberi jeda. Melihat ke tempat duduknya yang kosong, membayangkan sosok anak itu duduk dan tersenyum.
Tidak, Salwa tidak melihat sosok Amir melainkan Zeis. Zeis muncul dan menghilang, mengacaukan pandangan Salwa. Tatapan Zeis dan Salwa bertemu. Ada jeda kosong sampai akhirnya Zeis benar-benar menghilang.
Salwa nyaman ketika berada di dalam kelas, namun berbanding terbalik saat berada di antara para guru. Salwa selalu merasakan tatapan berbeda, seolah-olah mereka membicarakan keadaannya dari belakang.
Salwa ingin sekali menghilang seperti kebiasaannya yang sudah-sudah, tapi menahan diri. Laporan pasti akan masuk ke telinga Ibu jika Salwa melakukan kebiasaannya. Untuk sementara Salwa tidak ingin bertindak sembarangan. Salwa harus menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja. Dengan begitu keluarganya akan percaya kalau dia memang baik-baik saja.
Pulang dari sekolah, Salwa melihat Dian berada di dapur membantu Ibu. Salwa lega karena Dian baik-baik saja dan mau kembali. Keadaan rumah memang masih terasa kikuk. Meski bersama Ibu di dapur, tidak sekalipun terdengar senda gurau seperti sebelumnya. Kecerian dan suara tawa yang memenuhi seisi rumah beberapa hari ini, melebur. Lenyap tak bersisa.
Salwa baru saja selesai mandi dan sedang membuat soal ketika Dian masuk ke kamar. Hening. Tidak ada pembicaraan yang terjadi selama beberapa saat. Sesekali Salwa melihat ke arah Dian yang hanya diam saja tanpa melakukan apapun. Salwa merasa Dian hendak mengatakan sesuatu karena ketika Salwa melihat ke arahnya, Dian pun melihat ke arah Salwa.
Perasaan canggung yang lebih parah ternyata menimpa Salwa dan Dian. Sama-sama merasa bersalah. Sama-sama merasa tidak enak. Dian telah selesai mengumpulkan keberanian dan mulai berbicara. Namun belum satu kata terdengar, seseorang mengetuk pintu.
"Kak, ayo kita main!" ajak Daffa yang hanya memunculkan kepalanya saja dari balik pintu. "Aku sudah membeli stik baru," tambahnya sambil memamerkam stik berwarna putih biru yang masih terbungkus plastik.
Satu stik PS yang ada di rumah memang sudah harus diganti. Sebelumnya Daffa selalu menunda-nunda untuk membeli yang baru. Daffa bilang akan menggantinya jika benar-benar sudah tidak bisa dipakai lagi. Adalah suatu keajaiban Daffa mau menggantinya hari ini.
"Ayo, ayo!" Daffa berseru riang.
Suara heboh penuh keseruan kembali terdengar. Di dalam layar 21 inchi, Daffa dan Dian berhadapan sebagai lawan. Mengeluarkan kemampuan terbaik dan tercepat dalam menekan tombol-tombol stik di tangan. Sebenarnya Daffa mengoleksi banyak permainan di ponselnya. Tapi sejak kedatangan Dian, Daffa jadi lebih sering bermain PS.
Sepertinya hanya Daffa yang merasa hari-hari masih sama seperti sebelumnya. Sama sekali tidak terpengaruh drama airmata yang terjadi kemarin.
Ah, tidak! Lebih tepatnya Daffa sedang berusaha membuatnya kembali seperti hari-hari sebelumnya.
"Yey, aku menang!!!" Daffa berseru. "Ayo kita lanjut lagi," tambahnya sambil bersiul girang.
Salwa ke luar kamar untuk mengambil air di dapur. Melalui sudut matanya, dia melirik Dian dan Daffa yang asik bermain.
"Aku akan pindah hari ini." Suara Dian terdengar rendah.
Dian melihat ke arah Daffa dan Salwa bergantian. Dian melebarkan senyumnya pada Salwa, menunjukkan bahwa dia baik-baik saja dengan keputusannya.
"Kenapa?" Daffa bertanya "Yang terjadi kemarin itu bukan kesalahan Kakak."
"Bukan masalah itu," Dian jelas sedang berbohong. "Hanya saja…"
"Kalau begitu jangan pindah!" Daffa tidak terima dengan keputusan Dian yang tiba-tiba.
Hanya dalam waktu singkat Dian sudah berhasil mengambil hati semua orang yang ada dalam rumah. Tiba-tiba mendengar Dian akan pindah tentu saja membuat semua orang terkejut. Ayah dan Ibu yang duduk dalam kamar dengan pintu terbuka, yang sepertinya sudah tahu juga terlihat sedih.
"Aku sudah memberitahu Ayah dan Ibu. Aku…"
"Mereka setuju Kakak pindah?" Untuk kedua kalinya Daffa memotong kalimat Dian.
Daffa diam sesaat, menunggu Dian menjawab. Tidak kunjung mendapat jawaban, Daffa berdiri menuju kamar Ayah dan Ibu untuk bertanya.
"Kalian setuju Kak Dian pindah? Kenapa?" Daffa menuntut jawaban. Kecewa dengan keputusan orang tuanya. "Yang terjadi kemarin itu bukan salahnya, 'kan? Ayah dan Ibu yang meminta Kak Dian untuk membantu."
"Tentu saja bukan." Ibu keluar dari kamar.
"Kami enggak menyalahkan Dian," Ayah menimpali.
"Kalau begitu jangan biarkan Kak Dian pergi. Kak Salwa, bilang sesuatu!" Daffa berkata pada Salwa. "Kakak sudah nggak marah lagi, 'kan?"
"Maaf Daffa, ini sudah jadi keputusanku," Dian berkata sebelum Salwa membuka mulut.
Daffa masih tidak terima dan masuk ke kamarnya tanpa mengatakan apapun. Daffa mengurung diri sebagai bentuk protesnya terhadap keputusan Dian. Marah.
"Terima kasih sudah menerima Dian masuk dalam keluarga kalian. Dian merasa sangat senang." Dian berkata pada Ayah dan Ibu. Tatapannya berkaca-kaca.
"Maafkan perkataan kami kemarin." Ibu berkata sembari memeluk Dian. "Kami merasa bersalah."
"Enggak. Dian yang seharusnya meminta maaf karena selama tinggal di sini sudah banyak merepotkan," balas Dian.
Keduanya saling berpelukan lama.
Salwa kembali ke kamar. Meminta maaf atas kata-katanya tetap tidak akan bisa mengubah keputusan Dian. Sebenarnya Salwa mulai menyukai Dian. Membuat rumahnya ramai, saling berbagi kamar. Salwa benar-benar memiliki teman untuk pertama kalinya setelah kehilangan hilang.
Dian memang sangat mengganggu sejak pertama kali kedatangannya, berisik. Tapi menyebalkan dan mengganggu adalah wujud keberadaannya. Salwa menyadarinya pagi tadi. Begitu tidak menemukan Dian dan rumah kembali suram, seperti ada bagian yang hilang.
Dian masuk ke kamar. Waktunya untuk berpamitan dengan Salwa.
"Boleh aku memelukmu?" Dian merentang tangannya.
Tanpa menunggu jawaban dari Salwa, Dian mendatangi dan memeluk Salwa. Dian selalu saja memperlakukan Salwa seperti itu. Bahkan sampai akhir tetap seenaknya.
Mereka hanya diam saja untuk beberapa saat, kemudian tubuh Dian bergetar. Dian menangis. Isaknya terdengar begitu keras. Tumpahan air matanya yang deras membasahi punggung Salwa.
"Terima kasih telah membiarkanku masuk dalam keluargamu. Ini menyenangkan."
"Benarkah bukan karena masalah kemarin?" Salwa bertanya di sela isak tangis Dian yang belum berhenti.
Dian melepas pelukannya dan menggeleng. Berhenti menangis dan menghapus air mata dengan punggung tangannya.
"Bukan semuanya. Tapi karena kejadian kemarin aku jadi menyadari sesuatu."
"Ternyata benar karena kemarin." Salwa tahu semua karena dirinya. Salahnya. Dian berbohong pada Daffa karena tidak enak dengan Ayah dan Ibu. Karena tidak ingin menyakiti perasaan Salwa.
"Sangat menyenangkan tinggal bersama keluargamu." Dian duduk di atas ranjang. "Aku seperti memiliki keluarga lagi. Aku pernah memiliki Ayah dan Ibu, pernah memilikimu dan Mia, dan sesaat memiliki keluargamu."
Dian menarik nafas sebelum melanjutkan cerita tentang perasaannya. Melihat sisi lain dari Dian yang biasanya ceria membuat Salwa terkejut.
"Memiliki hal yang sangat aku inginkan jika berlama-lama aku takut enggak bisa melepaskannya dan akhirnya akan melukaimu. Aku baru menyadarinya."
"Kata-kataku hari itu…" Salwa ingin menjelaskan tapi Dian memotong.
"Bukan salahmu, sungguh," kata Dian. "Nyatanya dalam hati aku memang menginginkan keluargamu."
Salwa menghela nafas, "Maaf." Hanya satu kata yang bisa dia katakan.
Dian menggeleng. "Aku sudah terbiasa melakukan segalanya sendiri. Kamu… jangan merasa seperti itu. Kamu memiliki keluarga sebagai tempat pulang saat kamu benar-benar lelah. Ibu pasti akan menangis kalau kamu dalam kesusahan tapi menolak bicara dengan Ibu. Ayah pasti akan sangat sedih kalau kamu bersikeras menghadapinya sendiri padahal Ayah selalu bisa diandalkan. Daffa… anak laki-laki kebanyakan enggak pandai mengucapkan perasaannya, tapi dia juga pasti akan sedih."
"Aku tahu." Salwa menanggapi.
Salwa mendekat pada Dian. Kali ini Salwa yang memeluknya. Tanpa izin. Dian menangis lagi.
Luka di mata itu, yang selalu coba Dian sembunyikan ternyata adalah luka dari rasa sepi. Sepi yang tidak benar-benar bisa Salwa mengerti. Karena meski Salwa terkadang merasa kosong, nyatanya dia masih memiliki Ayah, Ibu, dan Daffa. Seperti kata Dian.
Salwa membatu Dian berkemas. Belum banyak barang yang dikeluarkan dari tas sehingga tidak makan waktu lama untuk mengembalikannya lagi. Lagi pula saat datang Dian tidak membawa begitu banyak barang.
Sebelum pergi Dian masih mencoba bicara dengan Daffa, tapi Daffa tetap tidak keluar dari kamarnya. Menolak bertemu Dian. Dian bahkan melakukan tipuan yang sama seperti tempo hari saat akan bersih-bersih rumah. Jangankan membuka pintu, Daffa sama sekali tidak bereaksi.
Daffa benar-benar keras kepala.
Ayah mengantar Dian kembali ke kosan sebelum langit gelap. Dan Daffa tetap tidak juga keluar dari kamarnya.
*****<span style="font-size: 18px; line-height: 1.66667;"></span>