webnovel

BAGIAN YANG LAIN.

Aku percaya dengan hal-hal ghaib. Aku percaya bahwa ada banyak hal yang tidak bisa dijelaskan dengan logika di dunia ini. Manusia memiliki akal dan kecerdasan sehingga bisa menilai banyak hal. Tapi manusia juga memiliki keterbatasan dengan akalnya. Aku percaya bahwa ada hal-hal yang bersifat misteri dan jauh lebih baik jika tetap menjadi misteri. Ada sesuatu yang cukup sebatas dipercayai tanpa harus melihatnya. Aku perlahan mempercayai semua itu tidak hanya hidup dalam cerita-cerita fiksi. Perlahan, setelah bertemu lagi dengan seorang teman lama. Teman yang tidak pernah lagi kudengar kabarnya sejak kecelakan yang menewaskan seluruh penumpang. Kecuali, dia. Salwa. Awalnya aku sama seperti keluarganya yang menganggap Salwa mengalami gangguan yang istilahnya sering disebut skizofrenia. Sebuah penyakit gangguan yang membuat penderitanya berhalusinasi, melihat, dan mendengar hal-hal yang seharusnya tidak ada. Karena berulang kali nyaris memutus tali kehidupannya, terlibat dalam hal-hal berbahaya, aku dan keluarganya sepakat untuk mengirimnya ke pusat rehabilitasi gangguan kejiwaan. Setuju atau tidak.

NurNur · Horror
Not enough ratings
17 Chs

Bagian V ( Seseorang yang Mengenalku)

Hari libur akan menjadi sangat panjang karena tidak ada hal yang ingin Salwa lakukan. Dia juga sedang tidak ingin menghabiskan waktunya dengan bertemu Bakal Manusia. Ingin beristirahat. Tapi, meski berkata tidak ingin, kakinya tetap saja melangkah ke tempat dimana pertama kalinya Salwa melihat Bakal Manusia. Di sebuah coffe shop yang kira-kira berjarak 200 meter dari perumahan tempatnya tinggal.

Salwa memesan roti bakar dan segelas latte hangat. Tatapan gadis di meja pemesanan sedikit aneh. Diam-diam memperhatikannya ketika sedang memilih menu. Ketika Salwa mengangkat wajahnya dari buku menu, gadis itu kemudian berpura-pura melihat ke arah lain.

Tampaknya kejadian dua bulan lalu sangat berkesan. Buktinya masih ada saja beberapa orang yang mengingat wajah Salwa sebagai seorang wanita yang bertingkah aneh di depan pintu, yang menarik seorang anak perempuan dengan panik, dan berbicara pada angin. Setelah hari itu, segala pandangan Salwa mengenai definisi kehidupan yang tenang berubah. Cara Salwa melihat dunia juga berubah.

Melihat sesuatu yang tidak bisa orang lain lihat benar-benar telah mengubah hidup Salwa. Perasaan tidak sama seperti yang lain menjadi ganjalan besar di dadanya. Membuatnya tidak bisa terbuka dan sukar bersosialisasi.

Salwa mengabaikan pandangan para pegawai tentangnya dan memilih duduk di kursi kosong pojok paling belakang. Dinding kaca besar yang menghadap ke jalan membuat Salwa bisa dengan leluasa mengamati jalan dan segala hal yang ada di luar.

Keadaan kafe masih sepi. Hanya ada dua orang pria yang duduk saling berhadapan di seberang tempat duduknya. Tampaknya kedua orang itu sedang serius membicaraan masalah pekerjaan. Di sisi lain ada sepasangan pria dan wanita, mereka mengambil banyak foto dan tertawa-tawa.

"Tidakkah seharusnya kamu mulai membangun hubungan dengan sesamamu?"

Sebuah suara berdesir seperti di tiupkan ke telinga Salwa. Aaron. Dia muncul di kursi kosong depan tempat duduk Salwa. Salwa yang semula bertopang dagu mengamati jalan mengalihkan pandangannya untuk menatap Aaron.

"Sudah," jawab Salwa. Salwa sudah sangat terbiasa dengan kemunculan yang tiba-tiba seperti saat ini. Jadi, kapan pun salah satu dari 'mereka' muncul, Salwa sudah menyiapkan diri. Tidak akan merasa terkejut. "Aku melakukannya dengan anak-anak didikku di sekolah. Aku sangat menyukai mereka."

Salwa mengamati cangkir kopinya. Ada riak di dalamnya padahal dia yakin sebelum Aaron muncul tidak ada apa-apa di sana. Tenang. Setenang siang ini.

Diam. Tidak Salwa ataupun Aaron yang melanjutkan pembicaraan mereka. 1 menit, 3 menit, 5 menit, 10 menit dan Aaron pun menghilang sesaat ketika Salwa mengalihkan pandangannya. Salwa menghela nafas begitu menyadari Aaron telah pergi. Mungkin inilah makna dari kalimat 'datang tak dijemput, pulang tak diantar yang sebenarnya.'

"Mau pesan…"

"Awas!" Sergah seorang pria dengan kasar.

Salwa menoleh dan segera mengenali pria yang baru masuk itu.

"Kamu!" Pria itu menunjuk ke arah Salwa dengan murka. Matanya yang menatap tajam, di penuhi dengan kebencian. Dengan langkahnya yang besar-besar pria itu mendatangi meja Salwa dan mengebrak. "Kamu wanita jalang yang sudah memukulku sampai pingsan. Aku datang untuk memberimu pelajaran!"

"Jangan berani macam-macam!" Salwa memperingatkannya dengan suara lantang. Berusaha tidak merasa takut dan terintimidasi oleh sifat kasar dan kebencian pria itu.

Jika harus membandingkan kekuatan fisik, kekuatan Salwa memang tidak ada apa-apanya. Salwa juga tidak berpikir, dia bisa menang. Meski tidak bisa menang, meski tidak memiliki kekuatan, Salwa bersikeras tidak ingin tunduk begitu saja pada ketidak berdayaannya. Paling tidak dia bisa berpura-pura berani.

"Kamu!!" Pria itu berang mendengar jawaban Salwa yang seakan berani menantangnya.

Tanpa peringatan pria itu menarik rambut Salwa dengan kasar. Sakit, sudah jelas. Akar-akar rambutnya seolah akan tercabut semua. Perihnya seperti kulit kepalanya hendak ikut dikuliti. Tidak akan ada satupun orang yang menolong Salwa selain dirinya sendiri. Meski dia berteriak kesakitan, atau mati sekalipun.

Dua pria yang duduk di seberang tempat Salwa, terlihat berbisik-bisik tengah merencanakan sesuatu. Si pria kasar yang curiga segera menunjuk ke wajah keduanya untuk memperingatkan. Pria yang datang bersama pasangannya juga hendak membantu, tapi wanitanya menahan, mengandeng tangannya erat-erat agar tidak kemana-mana.

Akhirnya Salwa bisa merasakan berada di posisi harus mengandalkan diri sendiri dan berharap pada takdir. Salwa sering melihat orang-orang yang berada di posisinya ketika bersama salah satu dari Bakal Manusia. Sifat tak acuh yang selalu berulang, seperti kata Jun. Situasi, keadaan, dan orang-orang yang berbeda, tapi sifat yang masih sama.

Terus mengaduh kesakitan, mata Salwa mulai menitikkan airnya. Salwa berusaha keras menggapai gelas minumannya di meja. Berhasil dalam genggaman, Salwa menyiramkan kopinya ke wajah pria itu.

Pria itu meneriakkan kata panas, mengaduh, dan menjadi semakin berang. Setelah berhasil mengalahkan rasa sakitnya karena tersiram kopi panas, tangannya melayang, mengarah ke wajah Salwa. Gelas yang ada di tangan Salwa terlempar dan pecah.

Salwa tidak menyangka pria itu bisa pulih dengan cepat. Terlalu cepat. Bahkan sebelum Salwa sempat memikirkan langkah perlindungan diri selanjutnya. Tidak cukup dengan satu tamparan, pria itu mencekik leher Salwa dan merapatkannya ke dinding.

Salwa merasa tulang lehernya remuk dalam genggaman besar pria gila itu. 1, 2 nafasnya mulai terputus-putus. Jangankan merintih kesakitan, bernafas normal saja tidak mampu. Tubuh Salwa lemas, tidak lagi mampu memberontak. Entah dia akan mati karena tulang lehernya remuk atau karena berhentinya suplai oksigen.

Di saat pandangan Salwa mulai kabur dan rasa sakit pada kematian mendekat, Salwa mendengar seseorang meneriakkan kata 'berhenti.' Semakin lama, semakin banyak yang mengatakan hal yang sama. Beberapa dari mereka juga mengancam. Karena bergeming setelah diperingatkan, seseorang mendekat dan memukul punggung pria itu. Seorang wanita. Wajahnya… Salwa tidak bisa melihatnya dengan jelas. Sepertinya nafasnya benar-benar akan terputus.

Tubuh Salwa jatuh membentur lantai ketika cekikan dilepas dari lehernya. Suara sirine mobil polisi masih bisa terdengar meski tubuh Salwa telah kehilangan kekuatannya. Seseorang yang entah siapa menghubungi polisi diam-diam.

"Mereka… ternyata masih memiliki perasaan sebagai seorang manusia." Gumam Salwa dan… Gelap.

"Hei… bangun! Mbak, eh Salwa? Salwa, Salwa bangun…"

*****

Kematian itu seperti apa? Apa sebuah lembah kegelapan yang tak berujung? Apa kehampaannya melebih kekosongan yang tertinggal dalam diriku? Apa dinding-dindingnya kokoh memenjarakan terpidananya? Kematian itu… benarkah begitu menginginkanku. Terus merapatiku, membuatku sesak, namun tidak juga memutus nafasku– Salwa.

"Salwa, Salwa!"

Suara yang awalnya hanya terdengar a, a perlahan di terjemahkan oleh pendengaran Salwa hingga membentuk satu kata yang berarti namanya.

Siapa? Suara siapa?

Salwa membuka mata perlahan. Dia hadapkan pandangannya ke sisi kiri untuk mengetahui siapa orang yang baru saja memanggil-manggil namanya. Suaranya terdengar akrab. Caranya menyebut setiap huruf yang ada dalam nama Salwa begitu familier. Seorang gadis, mengenakan kerudung, bibirnya menyunggingkan senyum lega. Matanya berbinar penuh semangat.

"Tunggu, sebentar! Aku akan panggilkan orangtuamu. Mereka sedang menemui dokter untuk berkonsultasi." Gadis berkerudung itu berkata lagi. Dia pergi dengan langkah-langkah cepat. Suara pijakannya masih terdengar meski tubuhnya telah menghilang dari balik pintu.

Rumah sakit. Salwa selalu saja menemukan dirinya yang lemah berbaring di tempat ini.

Mengetahui anaknya telah sadar, orang tua Salwa memasuki ruangan dengan perasaan lega yang luar bisa. Mereka benar-benar sedih melihat keadaan putri satu-satunya. Ibu bahkan menangis sampai terisak. Air mata mereka sudah begitu banyak terbuang. Untuk mengkhawatirkan, untuk bersedih. Ibu memeluk Salwa dan terus mengucap syukur karena masih memanjangkan nafas anak tercintanya.

Gadis berkerudung itu juga masih ada. Senyumnya tersungging semakin lebar meski sebenarnya dia menahan titik-titik air di matanya yang hendak jatuh karena haru.

Ibu memperkenalkan gadis berkerudung navy itu. Namanya Dian Lubna. Dian adalah salah satu teman dekat Salwa saat di sekolah. Gadis itu, Dian, meraih tangan Salwa, menyalaminya, menyebutkan lagi namanya, dan mendoakan kesembuhan untuk Salwa.

Pantas saja ada bagian dalam diri Salwa yang merasa tidak asing. Ternyata benar Salwa mengenalnya. Pantas saja wajah Dian terasa begitu akrab. Ternyata sebelumnya mereka adalah teman dekat.

Salwa berusaha memahami perasaannya. Seharusnya dia merasa senang bisa bertemu seseorang yang terasa akrab. Seseorang yang mengenalnya. Tapi, melihat Dian entah kenapa justru membuatnya merasa sesak.

Dian adalah orang yang hidup di masa lalunya yang hilang, orang yang pernah berteman dengannya, pernah begitu dekat. Melihat Dian seharusnya menjadi hal yang menyenangkan, tapi kenapa justru jadi terasa begitu menyedihkan. Apa karena warna di masa lalunya telah hilang. Atau karena Salwa tetap tidak mengenalnya meski merasa akrab. Atau dalam hati kecil Salwa, sebenarnya dia berharap orang-orang dalam masa lalunya tidak akan pernah muncul di hadapannya.

Salwa tidak mengerti. Benar-benar tidak mengerti ada apa dengannya.

"Arghh!!" Salwa mengerang, memegangi kepalanya.

"Kenapa? Apa yang sakit?" Ibu bertanya panik.

"Ayah akan panggilkan dokter."

Sebenarnya yang terasa sakit adalah dada Salwa yang terlalu penuh, sesak. Dan secara tidak terduga ribuan jarum ikut menyerang bersamaan, membuat rasa sakitnya semakin tidak tertahankan. Salwa memekik dan memegangi kepalanya. Merasa benar-benar tidak bisa lagi mengenali dirinya sendiri. Bahkan merasa tidak mampu memisahkan apa yang sedang dirasakan dan apa yang dipikirkan. Tiba-tiba merasa begitu kacau.

*****

Tiga hari terkurung di rumah sakit dalam gerak yang terbatas, benar-benar membuat Salwa lega ketika mendengar kabar kalau akhirnya sudah diperbolehkan pulang.

Tempo hari kepala sekolah dan guru-guru di tempat Salwa mengajar menjenguknya. Saat guru-guru lain berkumpul di ruangan tempat Salwa dirawat, Ibu dan kepala sekolah berbicara hanya berdua saja di kejauhan. Tidak tahu persis apa yang mereka bahas. Tapi tampaknya berkaitan dengan Salwa karena beberapa kali Ibu menatap ke arah Putrinya dengan tatapan mata sedih.

Salwa menangkap basah tatapan sedih ibunya setelah selesai berbicara dengan kepala sekolah. Salwa berharap kepala sekolah tidak melaporkan tingkahnya yang susah membaur dengar guru-guru lain saat di sekolah. Atau tentang Salwa yang sering menghilang saat jam istirahat. Atau sering absen dalam kegiatan antar guru. Salwa tidak ingin hal-hal kecil mengenai kepribadiannya membuat orang tuanya cemas. Ayah dan Ibu sudah cukup banyak menghawatirkannya akhir-akhir ini.

"Salwaaa!!!" Dian muncul ketika Salwa tiba di rumah dan membuka pintu kamarnya. "Selamat datang!" katanya sembari membungkukkan badan. Bertingkah seperti seorang dayang yang menyambut kedatangan Putri terhormat kembali ke istananya.

Ayah dan Ibu hanya tersenyum. Sepertinya mereka memang telah memberi Dian izin untuk memasuki kamar saat Salwa tidak ada. Tentu saja. Dian tidak terlihat seperti orang yang sembarangan dan lancang.

"Sedang apa di kamarku? Apa kamu enggak kerja?" Salwa bertanya tidak mengerti.

Dian menggerak-gerakkan jari telunjuknya di depan wajah Salwa. "Hari libur. Waktunya istirahat. Lihat!" Dian menunjuk angka yang berwarna merah dalam kalender.

Tahun baru imlek. Hari libur nasional. Ayah, Ibu, dan Daffa juga berada di rumah. Pantas saja rumah sangat ramai dan mereka tidak melakukan aktifitas seperti biasa.

"Kalau begitu kita pergi sekarang. Ayo!" Dian menarik tangan Salwa.

"Eh, apa? Mau kemana?"

Dian tidak menjawab atau meminta persetujuan Salwa lebih dulu. Dian hanya pamit kepada Ayah dan Ibu. Kemudian setengah berlari, Dian menarik Salwa untuk ikut bersamanya.

*****

"Itadakimasu!" Dian mengucapkan selamat makan dalam bahasa Jepang dan mulai menyantap Bakmi ayam yang ada di depannya.

Salwa menghela nafas dan hanya bertopang dagu menatap Dian makan dengan lahap. Dian mempersilahkan Salwa agar mulai makan juga. Agar tidak sungkan. Salwa menggeleng-gelengkan kepalanya dan mulai mengangkat sendoknya dengan malas.

Dian hanya tinggal tiga bulan di kota yang sama dengan Salwa. Dian magang di sebuah perusahaan batu bara. Hari itu, ketika Dian melihat Salwa dicekik oleh seseorang tidak dikenal adalah hari pertamanya sampai. Dian sedang berkeliling dan melihat-lihat bagaimana keadaan kota yang akan dia tinggali untuk sementara waktu.

Tempat tinggal Dian tidak jauh dari coffe shop tepi jalan tempat pertama kali mereka bertemu yang artinya, jarak ke rumah Salwa pun tidak terlalu jauh.

<span style="font-size: 18px; line-height: 1.66667;">Orang tua Salwa sudah menceritakan bagaimana keaadaan Salwa pada Dian sehingga tidak sekalipun Dian pernah menyinggung mengenai masa lalu. Bahkan hanya untuk sekadar menyebutkan nama-nama yang akrab.</span>

"Apa kamu memiliki teman yang bisa kita datangi hari ini?" Dian bertanya di sela-sela kunyahannya.

"Enggak ada. Aku enggak punya teman dekat."

"Sama sekali? Bukannya ibumu bilang kamu sering sekali ke luar jalan-jalan." Setelah makanan di mulutnya habis, Dian menyeruput jeruk hangatnya. "Ah, bukan teman. Apa mungkin pacar? Kamu punya seseorang yang kamu suka. Benar, 'kan ? Ayolah kenalkan padaku. Seperti apa orangnya? Seperti Lay Zhang, Takanori Iwata, atau Jay chou? Ayo kenalkan!" Dian menarik-narik lengan baju Salwa. Mulai bertingkah berlebihan.

Tampaknya Dian ingin sekali mengetahui bagaimana Salwa hidup setelah kehilangan masa lalu dalam kepalanya. Dian terus memaksa untuk mengajaknya menemui siapapun yang kini Salwa tengah akrab. Walau pun sebelumnya mereka berteman dekat, walau pun ada sedikit dari perasaan itu tertinggal dalam diri Salwa, tapi Salwa tetap tidak mengingat Dian. Tetap berpikir bahwa Dian adalah orang asing.

Salwa menatap ke arah Dian dengan tatapan dingin. Mengerti Salwa merasa terganggu dengan rengekan-rengakannya yang berisik, Dian berhenti dan tidak lagi berusaha memaksa. Dian melanjutkan makannya dalam diam. Wajahnya menunduk tapi ada senyum kecil yang menghias di bibir mungilnya.

Dian tidak seperti teman yang datang untuk menawarkan persahabatan. Salwa bisa merasakannya. Dian seperti sedang mendekat untuk menawarkan bantuan. Entah terlihat semenyedihkan apa Salwa di mata Dian, tapi untuk tujuan seperti itu, Salwa sama sekali merasa tidak nyaman.

"Aku akan pergi ke suatu tempat," kata Salwa setelah mereka selesai makan.

"Ba…"

"Aku akan pergi sendiri." Salwa memutus kalimat yang belum selesai Dian ucapkan. Dian terlihat kecewa setelah mendengar kalimat Salwa, padahal dia sangat bersemangat sebelumnya.

"Oke. Lain kali ajak aku jalan-jalan, ya. Aku juga enggak punya teman di sini." Dian berusaha memaklumi dan memberi tempat untuk privasi Salwa.

"Memiliki teman tidak terlalu buruk, 'kan." Jun berkata sembari mensejajarkan langkahnya dengan langkah Salwa.

"Bagaimana denganmu, apa sudah yakin dengan pilihanmu? Ini hari terakhirmu, 'kan?" Salwa balik bertanya pada Jun tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan untuknya.

Hari terakhir. Sepertinya mendatangi Salwa hari di hari terakhir adalah tata krama Bakal Manusia yang disebut sebagai berpamitan. Setelah Yusuf, kemudian Jun. Satu persatu dari mereka pergi. Selain menjadi saksi terhadap kegilaan yang terjadi di tengah-tengah manusia melalui perantara Bakal Manusia, Salwa juga menjadi saksi adanya kehidupan lain. Bagian yang lain. Sisi yang jauh berbeda.

Salwa meninggalkan warung lebih dulu dibanding Dian. Ketika itulah Jun muncul. Salwa menyebrang jalan dengan langkah yang mantap. Dia tahu kemana tempat yang harus dituju. Salwa benar-benar memiliki tempat yang ingin didatangi, bukan sekadar alasan agar Dian mau meninggalkannya sendiri seperti yang sedang dia pikirkan.

"Entahlah," Jun menjawab. "Kamu bisa mengunjungiku jika ingin tahu jawabannya."

Jun menghilang tersapu angin setelah menyelesaikan kalimatnya. Salwa berhenti melangkah dan menatap udara kosong di sisi kanannya.

Mengunjungi?

*****