Waktu begitu cepat berlalu. Semua hal telah kembali seperti sebelum Dian datang. Tidak benar-benar sama, karena jejak-jejak yang Dian tinggalkan begitu kuat.
Ini sudah tiga minggu lima hari sejak Dian meninggalkan rumah. Salwa tidak pernah lagi bertemu dengan Dian. Untuk disebut sebagai teman dan pernah tinggal sekamar, Salwa bahkan tidak menyimpan nomor ponsel Dian. Salwa hanya berharap Dian baik-baik saja dan lebih bahagia.
"Mbak, ada tamu." Seseorang berkata kepada Salwa.
Salwa duduk di mejanya, sedang mengoreksi ulangan harian dari kelas yang dimasuki hari ini. Salwa menoleh ke sumber suara dan Dian terlihat berdiri di depan pintu.
"Bagaimana kabarmu?" Dian bertanya lebih dulu ketika mereka telah berpindah ke tempat lain.
"Baik. Apa terjadi sesuatu?" Salwa balik bertanya. Merasa tidak biasa didatangi ke tempatnya bekerja.
Dian terlihat ragu. Masih Dian yang sama. Yang penuh keragu-raguan. Setelah berpikir sesaat akhirnya Dian mengeluarkan apa yang ada dalam tasnya. Sesuatu yang memang dibawa untuk diberikan pada Salwa.
"Bacalah ini." Dian menyerahkan beberapa lembar kertas HVS yang dijilid berbentuk buku. "Ini cerita mengenai Bakal Manusia yang sengaja aku ambil dari blogmu. Ada tiga judul didalamya. 'Setelah ini', tulisan pertamamu mengenai Bakal Manusia. 'Bagian yang lain' dan 'Sisi yang berbeda' sebenarnya satu cerita. Tapi kamu pisah dalam bentuk cerpen."
"Apa maksudnya?" Salwa menatap tajam ke arah Dian. "Kamu masih mengira aku gila?"
"Aku ingin mengabaikanmu, tapi enggak bisa. Seberapapun inginnya tetap enggak bisa. Aku melihatmu beberapa kali. Kamu tersenyum, tapi dalam dunia yang enggak ada, berulang kali berada dalam bahaya. Bukankah sudah pernah kukatakan agar jangan merasa sendiri dan sepi."
"Bahaya? Bahaya apa? Aku baik-baik saja!" Salwa menekankan nada suaranya.
Bagi Salwa, kalimat Dian terdengar semakin tidak masuk akal. Seperti mengada-ada agar dia benar-benar terlihat gila.
"Beberapa hari yang lalu, ada sebuah tempat yang terbakar. Aku melihatmu hendak masuk, melompat ke dalam api." Dian menjelaskan bahaya apa yang dimaksud.
"Aku memaksa menerobos api untuk menyelamatkan seorang bayi yang masih terjebak di dalam, apa salahnya. Enggak seperti semua orang yang hanya diam saja menonton." Salwa menjelaskan dengan alasan yang masuk akal.
Kebakaran yang Dian maksud adalah kejadian lima hari yang lalu ketika Salwa mengikuti salah satu Bakal Manusia. Sebelumnya Salwa telah menyaksikan bagaimana bayi itu harus berjuang sangat keras untuk bisa terlahir ke dunia dalam keadaan hidup.
Mendengar dari Bakal Manusia yang lain, sebelumnya bayi itu adalah Bakal yang menghilang karena memilih ikut campur kehidupan manusia dengan menyelamatkan pasiennya. Melanggar peraturan, ikut campur terlalu dalam. Hati yang sudah dikurung dengan aman ternyata mampu bergetar sampai akhirnya mendobrak ke luar dari jerujinya.
Setelah berhasil terlahir dan hidup, bayi itu masih harus mengalami hal lain sebagai dampak dari pilihannya saat menjadi Bakal. Yang terakhir adalah hari itu, terkurung dalam kebakaran dan nyaris terlahap si jago merah.
"Mereka enggak melakukannya karena apinya besar. Enggak mungkin memaksa masuk dengan kobaran sebesar itu. Dan lagi… mereka bukan diam saja. Mereka berusaha memadamkan api dengan mencari sumber air terdekat." Dian berusaha mematahkan alasan Salwa dengan kalimatnya. "Aku benar-benar ingin menolongmu."
Dian berkata nyaris putus asa. Tidak tahu bagaimana lagi cara membujuk Salwa bahwa dia memang butuh pertolongan.
"Aku enggak gila!" Kali ini Salwa berkata dengan suara tinggi.
Dian memperlakukan seolah Salwa benar-benar menyedihkan. Benar-benar sakit. Salwa tidak peduli apa yang orang lain pikirkan tentang dirinya. Tapi tidak dengan Dian. Bagaimana saat ini Dian memandangnya begitu melukainya. Sama menyakitkannya seperti saat keluarganya menilai gila.
"Kalau begitu jelaskan tentang cerita dalam buku ini, tentang Bakal Manusia, dan tokoh-tokoh yang ada di dalamnya." Dian berusaha tetap tenang saat berbicara.
"Itu terjadi sebelum aku kehilangan ingatan. Bagaimana aku bisa tahu?"
"Percaya padaku. Aku enggak sedang membuatmu terlihat menyedihkan. Ceritakan semua yang kamu lihat dan sama-sama kita pikirkan kebenarannya. Hm?" Dian terus berusaha membujuk.
Dian mengendalikan dirinya dengan baik. Mungkin telah belajar cara menghadapi Salwa dari kejadian terakhir kali. Dian tahu terlalu menekan akan mengacaukan semuanya.
Satu-satunya yang tidak dapat Salwa jelaskan adalah sumber cerita yang Dian perlihatkan. Sama seperti Salwa tidak dapat menjelaskan apa yang dia lihat karena memang hanya dia yang bisa melihatnya. Seandainya ingatannya pulih, seandainya dia tahu alasannya, Dian pasti akan berhenti menganggapnya 'sakit.'
Seandainya…
Dian pamit lebih dulu karena harus pergi bekerja. Dian meninggalkan nomor ponselnya di belakang kertas berjilid yang diberikan pada Salwa. Dian yakin Salwa akan menghubunginya karena Salwa juga menganggapnya teman.
Keyakinannya itu yang akhirnya membuat Salwa ragu pada dirinya sendiri.
*****
Waktu menunjukkan pukul 22.03. Salwa telah menyelesaikan persiapan materi untuk mengajar esok hari dan hendak tidur. Ketika mengamati ruangan tempat dimana Salwa terkurung sendiri di dalamnya, Salwa merasa kamarnya kembali terasa kosong dan asing. Sama seperti perasaan ketika pertama kali pulang setelah ke luar dari rumah sakit.
"Maafkan Ibu sayang. Ibu pikir dengan menciptakan lingkungan baru dan segala hal yang baru, luka lamamu akan menghilang. Ibu pikir itu baik untukmu."
Tentu saja asing, karena segala hal yang ada di kamarnya memang sesuatu yang baru.
Dian meninggalkan satu foto untuk Salwa. Foto Salwa bersama teman-temannya. Ada Mia, ada Dian. Foto yang terasa akrab saat melihatnya. Sayangnya bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah kenapa Salwa bisa melihat hal yang seharusnya tidak bisa dilihat.
Salwa melirik ke arah tempat kertas berjilid yang Dian berikan padanya tersimpan. Salwa meletakkannya dalam laci. Sengaja diletakkan dalam tempat yang tertutup agar matanya tidak tergoda dan hanya fokus mempercayai dirinya saja.
"Enggak masalah, 'kan kalau hanya ingin memastikan," batin Salwa menggoda.
Tangan Salwa telah memegang gagang, siap menarik laci dan mengambil isinya. Salwa diam memberi jeda.
Keraguan mulai menyerangnya. Pikiran dan semua pendapat Dian terdengar saling bersahut-sahutan. Diri Salwa yang lain menggapnya bodoh dan tolol jika sampai terhasut oleh kata-kata Dian. Jika mempercayai Dian, itu artinya dia tidak percaya pada dirinya sendiri. Jika mempercayai Dian itu sama artinya dia percaya dirinya memang tidak waras.
Pikiran-pikiran dalam kepala Salwa terdengar seperti diteriakkan langsung ke telinganya. Memekakan, membuat frustasi. Salwa tidak tahan.
Salwa mengurungkan niatnya dan menjauhi meja. Naik ke ranjang dan menyembunyikan diri dalam selimut.
"Aku enggak tahu kenapa, tapi melupakan masa lalu semenyakitkan apapun itu bukankah enggak baik... Sifatmu sekarang sudah sedikit mirip dengan Salwa yang dulu... Percayalah padaku, aku akan membantumu... Bukan mereka yang enggak mempercayaimu, tapi kamu yang enggak mempercayai mereka..."
Satu persatu kalimat yang pernah Dian katakan pada Salwa mengiang di telinganya.
"Kamu jangan merasa sepertiku. Kamu memiliki keluarga sebagai tempat pulang saat kamu benar-benar lelah... Aku ingin mengabaikanmu, tapi enggak bisa. Seberapapun inginnya tetap enggak bisa... Bukankah sudah pernah kukatakan sebelumnya agar jangan merasa sendiri dan sepi..."
Salwa mulai tergoda dan bermaksud mengambil buku dalam laci, tapi umpatan-umpatan mengenai dirinya kembali terdengar. Semakin mendominasi. Pergolakan dalam kepala Salwa membuatnya tertekan. Salwa tidak mampu menghentikan suara-suara yang saling bersahut-sahutan. Tidak tahu caranya.
Salwa merasa ingin pecah, meledak, tapi suara-suara dalam kepalanya tetap tidak mau berhenti. Mereka terus saling menyerangnya.
"Arghhhhhh!!!"
Salwa memukul-mukul kepalanya. Berharap dengan itu suara-suara yang didengarnya segera menghilang. Semakin keras memukul, semakin keras juga suara-suara itu mengutuk dirinya. Berteriak sejadi-jadinya sama sekali tidak ada artinya. Semakin Salwa tertekan, semakin puas suara-suara itu menertawakannya.
Ayah, Ibu, Daffa, mereka semua berkumpul dalam kamar Salwa. Mereka khawatir, tidak mengerti apa yang menimpa Salwa. <span style="font-size: 18px; line-height: 1.66667;">Ayah memegangi tangan Salwa agar berhenti memukul-mukuli kepalanya. Ibu menangis terisak. Daffa hanya berdiri saja di depan pintu, tidak tahu harus melakukan apa.</span>
Salwa ingin menghentikan semua ini. Ingin mengakhirinya tapi tidak tahu harus bagaimana. Dadanya terasa sesak, kepalanya seperti akan pecah. Salwa sungguh putus asa. Di saat dia ingin mengakhirinya, dia tidak tahu caranya. Semakin membuat frustrasi karena tidak ada hal yang bisa dilakukan selain menjerit-jerit.
Suara-suara itu menyukainya, menikmati saat-saat Salwa putus asa. Saat-saat dia frustrasi dan tidak tahu harus bagaimana.
Salwa menangis. Suaranya dalam, semakin dalam. Ibu mendekapnya erat. Ayah masih memegangi tangannya. Suara-suara itu akhirnya berhenti.
Salwa menangkap sebuah sosok di antara genangan air matanya. Uap yang muncul membentuk wajah. Aaron. Tatapan datar khas Bakal Manusia lurus tertuju pada Salwa. Sosok yang tertangkap indra penglihatannya itu menghilang. Muncul kembali membentuk wajah sampai leher, kemudian menghilang. Lagi. Menghilang. Lagi, sampai setengah badan dan kemudian menghilang lagi. Menghilang dan Salwa tidak lagi bisa melihat keberadaannya.
*****
"Ini." Ibu memberikan botol kecil yang berisi obat di dalamnya.
"Apa ini?" Salwa bertanya setelah botol berpindah ke tangannya.
Salwa membaca tulisan kecil yang terdapat di sisi-sisi botol. Ada kata anti depressant yang tertulis dalam baris bersama kalimat-kalimat lain dalam bahasa Inggris.
"Ibu, aku…"
"Enggak sayang, jangan salah paham." Ibu memutus kalimat anaknya cepat. "Ini hanya untuk menenangkanmu kalau-kalau merasa tertekan seperti malam sebelumnya. Kami mempercayaimu. Tapi… seandainya kamu benar-benar merasa lelah bertahan, cukup beritahu kami. Mengerti?"
Suara Ibu terdengar bergetar. Matanya berkaca-kaca. Ibu berusaha menahan kesedihannya agar tidak tertumpah dihadapan Salwa. Tidak ingin anaknya ikut sedih. Ibu mengecup kening Salwa dan kembali bekerja. Memburu jam istirahat yang akan segera berakhir.
Hari ini Salwa tidak pergi bekerja dan hanya istirahat saja di rumah. Sebenarnya Salwa tidak ingin libur, hanya saja Ibu sudah terlanjur memintakan izin pada kepala sekolah.
Tidak melakukan apapun dan hanya berdiam saja di rumah justru membuat Salwa jenuh. Ketika berada dalam kamar, matanya selalu tertuju pada laci meja belajar. Benar-benar menyebalkan!
Salwa keluar untuk berjalan-jalan dan meninggalkan botol obat yang Ibu berikan di atas meja. Ketika baru keluar dari daerah perumahan, pandangan Salwa langsung menangkap sosok Zeis di kejauhan seberang jalan.
Bakal Manusia tidak mungkin muncul tanpa sebab. Akan ada sesuatu yang terjadi. Pasti!
Seperti penguntit, Salwa mengikuti kemana Zeis pergi. Berjalan terus, dan terus, hingga sampai di sebuah terminal. Jika sudah bersama Bakal Manusia, Salwa memang tidak lagi mempedulikan waktu. Salwa selalu mendapatkan sesuatu yang bisa mengisi kekosongan dirinya. Itu sangat berarti lebih dari semua waktu yang hilang.
"Kita akan kemana?" tanya Salwa setelah masuk ke dalam bus.
Salwa duduk di kursi panjang paling bekang. Zeis menjawab pertanyaan Salwa dengan gerakan dagunya. Bahwa Zeis juga tengah menguntit seorang manusia. Tatapannya berhenti pada pemuda yang duduk di kursi kedua dari depan, sebelah kiri. Seorang pria yang menggunakan topi hitam.
Salwa merasa tidak mengenal pria itu. Tapi ketika pria yang mereka buntuti menghadapkan wajahnya ke kanan, menatap seseorang yang duduk di kursi seberang, nafas Salwa tertahan.
Fahim! Mata Salwa terbelalak. Tidak menyangka akan bertemu lagi dengannya.
"Masih yakin melanjutkan petualanganmu?" Zeis bertanya pada Salwa. Zeis melipat tangannya di depan dada dan memperbaiki duduknya.
"Apa yang harus aku takutkan?" Salwa tersenyum kecut. "Kematian bukan sesuatu yang mengerikan karena aku sudah pernah selamat dua kali."
"Tapi dia benar tentang kematian terus berada di sekitarmu, 'kan. Tidakkah itu jadi terdengar mengerikan. Seolah dia benar-benar bisa melihat sesuatu." Zeis berkata lagi. Seperti ingin memastikan sampai dimana batas keberanian Salwa.
Salwa kembali tersenyum kecut menanggapi kalimat Zeis yang terkesan mengejek. Manusia seperti Fahim, Salwa sungguh ingin tahu sampai sejauh mana bisa bertindak. Akan seperti apa berakhir. Bukankah Salwa sendiri masih memiliki ganjalan dalam hatinya.
Salwa merapat ke sisi kiri. Dia tidak ingin secepat itu terlihat sebelum bisa mengetahui apa yang sedang Fahim rencanakan.
Bus berjalan. Baru berjalan sekitar sepuluh menit, pemandangan penumpang yang ada di depan mata Salwa berubah. Salwa menggosok-gosok matanya. Semua kembali terlihat normal, namun tiba-tiba berubah lagi.
Bus antar kota kelas ekonomi berubah menjadi bus ber-AC. Kulit Salwa bahkan bisa merasakan dinginnya yang samar-samar. Pandangannya mulai kabur. Salwa menutup-membuka matanya.
Peralihan antara keadaan yang normal dan pemandangan yang matanya pernah lihat, terjadi berulang kali. Salwa menggosok matanya lagi.
Bus berubah ber-AC. Penumpangnya begitu padat. Semua kursi penuh. Sampai ke kursi belakang yang dia tempati bersama Zeis. Di depan, deretan tempat Fahim duduk, diisi oleh beberapa orang gadis. Mereka sangat bersemangat. Seperti sedang menghabiskan hari libur bersama-sama.
"Jangan, ribut!" Suara seseorang yang duduk di kursi paling depan terdengar begitu jelas, seperti berbucara tepat di samping telinga Salwa.
"Kekanak-kanakan sekali." Seorang gadis yang duduk di belakangnya menimpali.
Suara-suara itu terdengar akrab di telinga Salwa. Salah seorang dari mereka berdiri. Salwa berpikir jiika dia bisa melihat wajah gadis itu, mungkin saja dia akan mengenalinya.
"Berhenti!"
Keadaan kembali normal karena yang terdengar adalah suara laki-laki. Bus ber-Ac telah kembali menjadi bus kelas ekonomi. Pria yang bersuara tadi juga telah kembali kewujudnya semula. Fahim.
Salwa celingukan. <span style="font-size: 18px; line-height: 1.66667;">Apa yang ingin dilakukan Fahim berhenti di tengah jalan seperti ini?</span>
"Apa aku ketahuan?" Salwa bertanya pada dirinya sendiri.
Salwa menoleh ke tempat Zeis sebelumnya duduk. Kosong, benar-benar kosong. Mungkin Zeis benar-benar sedang mengujinya. Tertarik mengetahui sampai dimana batas keberanian Salwa.
Fahim turun dari bus. Tidak ada siapapun yang turun selain dia. Bus kembali berjalan. Beberapa saat kemudian, Salwa juga meminta bus berhenti dan turun. Salwa melihat Fahim meninggalkan jalan raya dan turun.
Jalan menurun yang dilewati Fahim tidak terlalu terjal namun bukan jalan yang ramah karena berupa bebatuan, dengan pijakan yang tidak rata. Rumput-rumput yang lebat menghalangi pandangan sehingga harus lebih berhati-hati. Akan sangat berbahaya jika ada kendaraan yang ke luar lintasan dan jatuh. Untungnya dibuat pagar pengaman di sepanjang jalan.
Salwa mengikuti Fahim berjalan turun. Rerumputan yang meninggi, jalan yang tidak rata, membuat mata Salwa sering kali meninggalkan Fahim. Beberapa kali nyaris kehilangan targetnya.
Matahari sangat terik. Ketika Salwa melihat ke atas, dia ternyata aku sudah cukup jauh berjalan, jauh meninggalkan jalan raya. Saat hendak mengalihkan pandangan, matanya menangkap sesuatu.
Itu…
Salwa terbelalak tidak percaya. Sebuah bus antar kota keluar dari jalurnya. Jatuh, berguling beberapa kali, dan... brak. Segala sesuatunya berputar dengan jelas di depan mata Salwa. Kepalanya pusing, mual, perutnya berontak, isinya seperti diaduk dengan kencang. Telinganya menangkap suara panik, ketakutan, sesekali berdenging.
Darah… kening Salwa bahkan terluka.
"Hoek!" Salwa muntah. Yang keluar hanya cairan karena memang perutnya masih kosong. Belum secuil makanan pun masuk dari semalam.
Beberapa saat lalu Salwa merasa seolah dirinya yang berada dalam bus yang terlempar itu. Keringat dingin mengucur deras dari keningnya. Ketika diusap, tidak ada darah di sana, hanya keringat.
Busnya…
Salwa berlari turun ke arah bus yang terbalik. Sepertinya masih belum ada yang menyadari kecelakaan yang telah terjadi. Kaca-kaca jendela pecah, bentuk bus sudah tidak lagi beraturan. Peyok di sana-sini. Beberapa korban terlempar ke luar melalui jendela-jendela yang kacanya pecah.
"Apa ada yang selamat?!" Salwa berputar-putar, mengelilingi setiap sisi bus. "Jawab aku, siapapun tolong jawab?!!"
Salwa mulai panik. Tidak terdengar sahutan atau suara apapun. Ponsel. Salwa harus menghubungi seseorang. Salwa memeriksa sakunya.
Tidak, tidak ada. Salwa meninggalkannya di kamar. Sedang diisi dayanya. Bagaimana ini, yang harus dilakukan. Salwa berusaha berpikir, namun otaknya justru tidak mau bekerja. Salwa mengetuk-getuk badan bus. Kembali memeriksa, barangkali ada korban yang masih selamat. Tubuh Salwa gemetar, panik, persendiannya melemas tapi tetap berusaha menguatkan pijakannya. Bau anyir darah menyengat dan semakin menusuk.
"Toloooong!!!"
Salwa memekik, berharap siapapun mendengar suaranya dan datang membantu.
"Tolooo…ng." Suaranya kini merendah dibarengi isakan.
Salwa merasa sangat sedih. Kesedihan yang dalam. Ini bukan perasaan terkejut karena melihat kecelakaan yang mengerikan tepat di depan mata. Ini… seperti perasaan kehilangan. Kehilangan sesuatu yang berharga.
"Siapa?"
Seseorang menodongkan sesuatu ke leher Salwa. Belati. Salwa mengangkat wajahnya dan seketika itu bus yang semula ada di depannya dengan bagian depan hancur, jendela kaca pecah, badanya peyok, hilang. Benar-benar hilang tak berbekas. Tidak tersisa apapun. Bahkan jejaknya. Hanya rerumputan rendah yang tumbuh subur. Terhampar, sejauh mata memandang.
Salwa berbalik tanpa mempedulikan belati yang masih ditodongkan ke lehernya. Heran, tidak mengerti. Salwa celingukan ke sana ke mari, mencari jejak. Tidak ada. Tidak ada apapun.
Halusinasi?
Tatapan Salwa tertuju pada satu-satunya orang yang berada di sana selain dirinya. Fahim! Meski Fahim mengenkan topi yang ditutup rendah hingga menyembunyikan separuh wajahnya, Salwa tetap mengenalinya. Ada belati silver kecil di genggam tangan kanannya.
Salwa melangkah mundur perlahan. Bersifat defensif.
"Kamu?!" Fahim mengangkat wajahnya yang terkejut.
Tidak berlama-lama merasa terkejut, Fahim segera memaksa otaknya bekerja. Bahu Salwa dipukul.
Gelap.
*****