1 Pertemuan pertama kami

Musim hujan telah berlalu, dan musim panas pun tiba. Banyak tunas dan rerumputan mulai muncul dari permukaan tanah kosong yang basah karena hujan yang hendak menghilang...

Tunas itu mulai bertumbuh seakan menandakan musim baru telah tiba dan musim hujan akan segera berlalu...

17 Juli, aku mengingat kapan aku benar-benar terpukau melihat seseorang dari kejauhan. Dia sedang melihat danau dari atas jembatan tua di area perkotaan, dekat taman kota. Aku mengamatinya dari ujung jembatan tua yang hendak aku se-berangi. Ketika melihat dia, aku berhenti sejenak seakan waktu pun terhenti sesaat bagiku.

Dia menggunakan baju terusan berwarna putih dengan corak bunga mawar merah yang terletak di bagian bawah dress-nya. Dress yang digunakannya sangat indah, dan gelang di tangannya bukanlah gelang biasa, karena itu adalah gelang yang terdiri atas berlian berkualitas tinggi. Sehingga aku tau, dia adalah anak dari kalangan bangsawan. Yang tidak ku ketahui kenapa anak dari seorang yang disegani bisa ada di atas jembatan tua ini. Karena anak bangsawan kota tidak akan pernah keluar rumah tanpa adanya pengawal di sampingnya.

Dari kejauhan, terlihat dia menggunakan pita berwarna merah dirambutnya yang terurai sebahu berwarna hitam kecoklatan, dan sesekali rambut lurus nya itu tertiup oleh angin sepoi-sepoi danau yang berhembus. Kulitnya sawo matang yang identik dengan warna kulit orang di kota ini. Matanya berbinar dan memikat hati yang melihatnya. Kecil dan mungil hidungnya, bibirnya seperti warna merah jambu yang sulit untuk dilupakan. Tingginya 147 cm, anak perempuan itu sangat kecil dibandingkan anak-anak seusianya.

Tiba-tiba dia melihat kearah ku dan tersenyum. Senyuman nya membawa kehangatan, namun terlihat menyedihkan. seakan dia ingin menggambarkan kebahagiaan di balik senyumannya itu, namun juga ingin mengatakan bahwa ia menderita.

ketika aku hendak berjalan ke arahnya, dia berpaling dan pergi, lalu menghilang dalam bayangan.

Aku tidak pernah melihat bidadari secantik itu selama 14 tahun aku hidup. Setelah itu, aku terus mengunjungi jembatan tua itu, akan tetapi tak pernah lagi aku melihat sosok bidadari itu.

***

14 tahun yang lalu, sebelum aku bertemu dengan sang bidadari...

Malam hari di musim hujan, hujan turun dengan lebatnya. Seorang selir bangsawan Duke akan segera melahirkan, namun tak ada seorang pun di sisinya. Suaminya Duke Karen sedang berada di luar istana untuk mengurus tambang emas yang berada di bagian wilayah kekuasaannya atas perintah kaisar benua.

Sedangkan istri Duke sendiri, Duchess Riani tidak sudi untuk membantu selir Duke. Sehingga ia memerintahkan dan mengancam akan membunuh orang-orang yang membantu persalinan selir Duke tersebut.

"Dinginnya malam merambat ke dalam tubuhku wahai calon bayiku tersayang. Ibumu yang hina ini dan tidak memiliki kekuasaan apa-apa tidak bisa melindungi mu. Tolong maafkan lah aku, ya anakku. karena kau harus terlahir dari kandungan ku. Akan lebih baik jika kamu terlahir dari kandungan sang Duchess".

Sambil terisak-isak menangisi kemalangan sang calon bayi, sang selir menguatkan tekatnya untuk melahirkan bayi yang sehat bagi Duke. Dengan menahan rasa sakit, dimana pinggulnya terasa akan robek, darahnya mengalir keluar dan sesak menghampirinya. Dengan perjuangan terakhir ia berteriak sekuat tenaga pada malam itu,

"aakkk" ha..ha...ha "aakkk"....

Seketika petir menyambar dan kilat menciptakan rasa ketegangan yang lebih kuat. Akhirnya lahirlah seorang putri.

"oek" hiks...hiks...hiks "oek"....

Sang putri dibalutnya dengan kain berwarna putih, diangkat dan digendongnya bayinya dan melihatnya dengan tatapan kasih sayang.

Matanya merah berair dan ingin menangis lah ia, namun dibungkamnyalah mulutnya dengan tangannya dan menenangkan dirinya.

Saat melihat betapa imut putrinya, ia tidak menyesal melahirkannya ke dunia. Meskipun ia tahu, kehidupan putrinya yang lahir di kediaman ini akan sangat menderita karena lahir dari seorang selir rendahan.

Sang selir menangis malam itu dalam diam. Bukan karena kesaktian yang ia rasakan dan bukan pula karena pengabaian yang di tunjukkan oleh semua pihak dalam kediaman bangsawan Duke. Akan tetapi karena anaknya yang walaupun memiliki darah dan daging dari seorang Duke, tetap saja diabaikan seperti ibunya.

"Nak, jika engkau besar nanti, janganlah jadi seperti ibumu ini. Ibumu yang hina ini dengan berani mencintai seseorang bangsawan ternama, kiranya sang dewa langit akan memaafkan ibumu ini".

"Namamu adalah Athanasia yang artinya adalah keabadian".

***

Seiring berjalannya waktu, tidak terasa 7 tahun telah berlalu. Walaupun lahir sebagai anak dari seorang Duke, Athanasia tidak mendapatkan perlakuan spesial sama sekali, selain dari pakaiannya yang mewah. Dia mengerjakan dan mengelolah sendiri kebutuhannya yang seharusnya biasa dilakukan oleh para pelayan.

Athanasia adalah anak yang ceria dan berbesar hati. Saat berusia 7 tahun, ia mengerti harus melakukan pekerjaan mengurus rumah.

Ia dan ibunya di tempatkan di bagian belakang istana. Mereka menempati istana mawar, yang terletak paling ujung dan paling jauh dari istana utama Duke. Istana itu terbilang kecil, namun terlihat besar karena hanya memiliki 2 penghuni saja, Yaitu Athanasia dan ibunya.

Ibunya mulai sakit-sakitan saat Athanasia mulai memasuki umurnya yang ke-6 tahun dan bertambah parah saat usia Athanasia yang ke-7 tahun. Duke jarang mengunjungi mereka. Namun, Athanasia bisa mengerti. Karena ibunya memberikan ia pengertian mengenai hal itu.

Ia tahu bahwa ayahnya Duke mencintai ibunya yang seorang selir. Namun, selayaknya seorang penguasa kota, Ia jarang berada di kediaman. Jika Duke ayahnya memperlihatkan bahwa betapa ia mencintai seorang selir rendahan, maka Duchess akan menyiksa aku dan ibu dengan sangat tragis ketika Duke Karen tidak berada di kediaman.

"Nak..." uhuk...uhuk... terdengar suaranya memanggil Athanasia

"Ya, ibunda." sahut Athanasia

"Kemarilah. Ibu ingin menyampaikan sesuatu." terdengar suara balasan dari dalam kediaman.

Athanasia berlari masuk ke kediaman dan mendapati ibunya duduk di sebuah kursi sofa empuk berwarna kuning keemasan. Dia melangkah dan duduk di samping ibunya.

Wajah ibunya terlihat sayup dan badannya sangat kurus. Ia menggenggam tangan ibunya dengan lembut dan berkata :

"Ada apa Ibunda memanggil saya?"

"Ibu mungkin tak bisa menemani mu lagi, berjanji lah padaku. Bahwa kamu tak akan membenci orang-orang dari kediaman ini!" Sahut ibunya.

"Apa yang ibunda pikiran, apa ibu lelah. Mari saya antarkan ibunda ke kamar. Ibunda harus beristirahat". Jawab Athanasia mengalihkan topik pembicaraan.

Ibunya menggenggam tangan Athanasia dan menggelengkan kepalanya sambil tersenyum,

dan melanjutkan pembicaraan.

"Nak, jika besar nanti apa yang hendak kamu lakukan?" Tanya sang selir dengan senyuman tipis di wajahnya.

"Ibunda sekiranya mungkin, aku ingin menjadi cendekiawan bijaksana, seorang filsuf tersohor dan mengerti tentang theologia yang akan mengubah pandangan rakyat mengenai Feodalisme. Sehingga tidak akan ada lagi orang-orang yang dapat merendahkan orang lain karena status. Aku juga ingin semua orang bisa mencintai dengan leluasa tanpa status sebagai penghalangnya ibu". Athanasia menceritakan apa yang ingin ia lakukan dengan sangat antusias.

Athanasia memang berbeda dari anak-anak bangsawan lainnya. Karena terlahir dari rahim seorang pelayan dan memiliki darah seorang bangsawan, ia mengerti dan mengetahui hal-hal yang akan sulit dipahami oleh orang lain yang tidak berada di posisinya yang memiliki darah campuran.

Sejak berusia 4 tahun ia belajar membaca dari guru yang sengaja dengan rahasia disiapkan oleh ayahnya Duke. Dan saat berusia 5 tahun sampai sekarang Athanasia menghabiskan waktunya dengan membaca. Sehingga ia belajar untuk menjadi dewasa karena keadaan.

"Ibu tahu kamu adalah anak yang bijaksana. Namun anakku, di bandingkan menjadi seorang Filsuf tersohor. Ibu lebih ingin kamu menjadi seorang yang mengerti mengenai tanaman obat. Jadilah seorang alchemist nak".

Lanjut ibunya menyarankan...

"Ibu mengerti keinginan mu, feodalisme sudah ada sejak zaman nenek moyang kita. Itu artinya sudah berabad-abad lamanya pemahaman ini tertanam ke dalam pemikiran masyarakat Niela. Dan untuk merubah pemahaman mereka Itu bukanlah suatu yang bisa dilakukan dengan mudah". sahut sang selir

"Apakah ibunda tidak percaya padaku?" jawab Athanasia penasaran

Sambil memegang tangan Athanasia sang selir menjawab : "Ibu percaya padamu. Tapi, Ibu berharap kamu akan mempertimbangkan saran ibumu ini. Pergilah ke timur nak. Ibu mendengar bahwa di sana banyak pengetahuan mengenai pengobatan. Tidak ada paham Feodalisme disana. Ini hanyalah kota kecil anakku. Di luar sana cukup luas untuk kamu jelajahi. Pergilah dari kota ini saat kamu berusia 14 tahun. Akan tetapi sebelum kamu pergi, kunjungi lah sebuah desa kecil yang terletak di daerah paling barat dari kota ini. Maka kamu akan tau kenapa ibu menyuruh mu mengambil profesi sebagai alchemist." ibunya menjelaskan sambil mengelus rambut Athanasia.

"Tapi, Ibunda..." Jawab Athanasia menunjukkan komplain.

"Sudah, ibu tak mau berdebat (sang selir tersenyum ramah), bisakah kamu mengantarkan ibu ke kamar?" Tanya sang selir

"Dengan senang hati Ibunda"...

Jawab Athanasia dengan senyuman.

Athanasia berdiri dan memegang tangan ibunya menuju ke kamar tidur sang selir. Membuka jendela yang terdapat di sebelah timur agar angin segar masuk dan membawa nuansa kesejukan di kamar itu.

Kemudian Athanasia keluar ke halaman rumah dan memetik beberapa mawar merah dan meletakkannya di pot berwarna putih di atas meja sebelah kanan dari kasur tidur ibunya. Dengan segera, ruangan itu dipenuhi aroma mawar merah.

"Nak, pergilah ke kediaman ayahmu. Dan mintalah 2 orang pelayan untuk di tempatkan di istana mawar. Aku yakin ayahmu tidak akan menolaknya". Sang ibu berkata dari atas tempat tidurnya

"Baiklah Bu. Saya akan segera kembali".

Meskipun tidak mengetahui alasan mengapa ibunya tiba-tiba menginginkan pelayan dan menyuruhnya untuk pergi ke kediaman utama, Athanasia tetap melaksanakan apa yang ibunya perintahkan.

Ia berjalan Sekitar 30 menit untuk sampai di kediaman utama. Dan menginap selama 1 hari atas permintaan ayahnya.

***

avataravatar
Next chapter