2 Ibu Pergi Meninggalkan ku

*Istana Utama kediaman Duke Karen

Akhirnya aku sampai, perjalanan tanpa kuda sungguh menyulitkan ku. Aku harus cepat bertemu ayah dan kembali kepada ibu.

Athanasia berkata di dalam hati sambil melihat ke arah istana Duke Karen, ayahnya.

Kemudian ia melangkah masuk ke istana.

"Selamat datang putri Athanasia" sambut pelayanan penjaga pintu dengan nada bersungut-sungut.

(Apa yang dilakukan anak hina ini disini, ujar pelayan dalam hati).

"Aku ingin bertemu Ayahanda, tolong sampaikan pesan saya. Saya akan menunggu di ruang tamu". Jawab Athanasia sambil melangkah maju menuju ruang tamu istana.

"Baik, putri" Jawab pelayan bergegas.

(Aku benci harus melakukan ini, tapi dia tetap saja adalah putri Duke, pemilik kediaman ini. Ujar pelayan menggumam saat hendak pergi).

Athanasia mengambil langkah dan menuju ke arah selatan istana itu. Terlihatlah sebuah ruang besar nan megah, dihiasi lampu kristal yang berbinar memancarkan cahaya ke seluruh ruangan yang ada. Terlihat sebuah piano di sebelah barat sudut ruangan itu dan terdapat jam dinding menunjukkan angka 16:00, menunjukkan hari sudah sore.

Athanasia duduk di sebuah kursi yang empuk berwarna merah dan duduk dengan tenang menunggu ayahnya. Namun tidak lama setelah ia duduk seraya melepaskan lelahnya, datanglah sang Duchess mencari masalah. Ia tahu bahwa ia tidak akan mendapatkan perlakuan spesial dengan jamuan teh hangat. Hanya saja ia lelah dan tidak ingin meladeni Duchess istri Duke ayahnya.

"Lihat siapa yang datang!" ujar Duchess

"Salam Nyonya, Bagaimana kabar anda?" ujar Athanasia menyembunyikan rasa lelahnya

"Pergilah dari sini sekarang, sebelum aku yang menyeret mu keluar." Teriak sang Duchess dengan ekspresi tak senang dengan kedatangan Athanasia.

"Maafkan saya nyonya. Tapi ada hal yang harus saya sampai kepada Ayahanda." Jawab Athanasia dengan tenang.

"Hahahaha... siapa yang kau sebut Ayah? Dia adalah suami ku dan dia bukanlah Ayahmu. Siapa juga yang akan mengakuimu yang lahir dari Selir rendahan" Duchess menyinyir.

Hati Athanasia seketika membara. Ia memang telah terbiasa dengan kata-kata hinaan seperti ini. Akan tetapi, ia tetap tidak bisa mendengar kata-kata kasar soal ibunya. Sejenak Ia tertegun dan menenangkan dirinya dan kemudian tersenyum. Seketika itu Duke pun memasuki ruangan.

"Salam Ayahanda" "Salam yang Mulia" ujar Athanasia dan Duchess bersamaan.

Duchess mengambil tempat duduk di depan Athanasia dan Duke berjalan menuju kursi utama.

"Ada urusan apa kamu datang kemari putri?" Tanya Duke tegas. Ia bahkan tak menyebutkan nama putrinya karena melihat keberadaan sang Duchess.

"Ayahanda, kedatangan hamba kemari adalah untuk menyampaikan pesan ibunda. Ia hendak menyuruh saya untuk datang dan meminta 2 pelayan untuk saya bawa ke istana mawar kediaman kami. Apakah Ayahanda akan memperbolehkan nya?" Tanya Athanasia dengan kata-kata yang terbata-bata.

Seketika suasana menjadi hening dan Duke pun berekspresi sangat aneh. Terlihat sekilas ada kesedihan dimatanya dan rasa bersalah yang tak pernah ia ekspresikan sebelumnya.

Ia teringat akan apa yang pernah ia bicarakan dengan Selirnya, ibu dari Athanasia 1 tahun yang lalu.

"Lancang kamu Athanasia, beraninya Selir rendahan itu meminta pelayan!" Duchess angkat bicara memecahkan keheningan.

kemudian Ia berkata lagi dengan sopan kepada Duke:

"Yang mulia, anda tidak dapat memberikan pelayan kepada seorang selir rendahan. Bahkan para pelayan kita pun dari keluarga bangsawan. Bagaimana bisa pelayan kita mau melayani seorang dengan kasta yang lebih rendah dari dia?"

"Saya yang akan memutuskan. Putri menginap lah hari ini disini karna hari sudah malam. Kepala pelayan akan menunjukkan kamarmu. Besok kamu akan pergi bersama kedua pelayan seperti yang kamu inginkan." Lalu Duke berdiri dan pergi meninggalkan ruangan. Dan tiba-tiba berhenti di depan pintu karena mendengar ucapan Duchess mengomentari keputusannya.

"Tapi yang mulia..." Duchess mencoba mengubah keputusan.

"Pergilah istirahat, Adinda. Keputusan ku sudah bulat". Duke menjawab tanpa memalingkan wajahnya dan pergi keluar hingga tak kelihatan lagi. Dipanggilnya kepala pengurus istana dan meminta nya untuk mengatur 2 orang pelayan yang akan pergi ke kediaman istana mawar dan menyuruhnya menyiapkan 1 kamar untuk putri Athanasia. Setelah itu Duke pergi ke ruang kerjanya dan tak pernah keluar dari sana untuk beberapa saat lamanya.

Duchess memperlihatkan ekspresi yang kesal dan marah. Ia pergi meninggalkan Athanasia sendirian di Ruang tamu istana dan menyumpahinya bahwa Ia akan melakukan segala cara agar Athanasia dan ibunya di usir keluar dari kediaman Duke.

Athanasia terdiam dan kembali duduk serta menghela napasnya dalam-dalam. Ia yang baru berusia 7 tahun sangat ketakutan jauh dari ibunya. Ia juga mengkuatirkan ibunya yang ia tinggalkan sendirian dalam kondisi yang kurang sehat.

"Hanya 1 malam, mungkin tidak apa-apa" gumam Athanasia.

Setelah beberapa lama kemudian, pelayan menghantarkannya ke kamar untuk mandi, makan dan beristirahat. Ia tertidur dengan lelap dan hari pun berlalu.

Saat bangun pagi, Athanasia mempersiapkan segala perlengkapannya dan menuju keluar kamar. Pelayan kediaman mengantarnya ke ruang makan untuk bersama-sama mendapatkan santapan pagi bersama Duke dan istrinya serta kakak perempuannya Ritna yang adalah anak dari Duchess.

Terlihat jelas bahwa Kaka perempuan dan Duchess tidak ingin melihat ia duduk makan bersama dengan mereka. Sehingga suasana pun menjadi kaku dan sangat menegangkan bagi Athanasia. Namun dengan cepat suasana itu berlalu. Dan Athanasia pun undur diri untuk kembali ke kediaman nya.

Athanasia bergegas kembali dengan tergesa-gesa. Ia sampai di kediaman nya bersama 2 orang pelayan yang di berikan ayahnya. Tersirat senyum di wajahnya dan berlari masuk ke kamar ibunya seakan-akan waktu berlalu begitu lambat saat ia tidak berada di samping ibunya. Ia benar-benar merindukan ibunya yang hanya di tinggalkannya dalam 1 malam.

Ia berlari di lorong kosong menuju kamar ibunya. ketika dibukanya pintu itu, tersentak lah hatinya dan raut wajahnya mulai berubah. Ia berjalan masuk dan berkata:

"Ibunda, mengapa kah engkau membuka jendela di saat mendung seperti ini. Untunglah aku tiba dengan cepat. Oh ya, ayahanda menyetujui untuk memberikan 2 pelayan rumah untuk kita. Kelak ibunda tidak perlu lagi memasak di dapur." ujar Athanasia tak berhenti sembari menutup jendela kamar dan menyalakan lampu kamar yang tepat di sebelah kiri pintu masuk.

Namun anehnya, Ibunya tak merespon apapun yang di katakan Athanasia. Ia memanggil-mangil ibunya namun tak ada jawaban apapun yang keluar dari mulut ibundanya. Seketika itu tahulah ia bahwa ibunya telah pergi meninggalkan ia selamanya. Air mengalir keluar dari matanya. Senyuman nya menjadi hilang dan tak kuasa ia untuk menahan kesedihannya. Digenggamnya tangan ibunya dan berkata :

"Ibu kenapa engkau begitu kejam kepadaku. engkau menyuruhku pergi, apakah agar aku tidak bisa melihat kepergian mu?" Tanya Athanasia kepada ibunya.

Badan sang selir membatu dan sedingin es. Terlihat senyum tipis di wajah wanita yang telah wafat itu. Seakan-akan ingin memberitahu kan kepada Athanasia bahwa ia sangat bahagia hidup bersama Athanasia dan tidak memiliki penyesalan apapun.

Athanasia mengoyakkan pakaiannya dan berkabung. Ia mengirimkan surat ke kediaman Duke ayahnya menyampaikan pesan bahwa ibunya telah meninggal. Namun sampai hari ke-3 kematian ibunya, Sang Duke tak kunjung datang. Ia memutuskan menguburkan ibunya sendiri di halaman belakang istana mawar.

Pemakaman itu hanya dihadiri oleh dirinya dan kedua pelayanannya.

Athanasia mengurung dirinya selama berhari-hari dan enggan untuk melakukan aktivitas. Ia sangat hancur dengan kepergian ibunya. Hal ini membawa perubahan besar pada Athanasia. Ia berubah menjadi sangat dingin dan pendiam.

**

*Disisi lain ruangan kerja Duke.

Setelah kepergian Athanasia Duke menghabiskan berhari-hari mengurung dirinya di ruang kerjanya dan tak mau diganggu. Ia mengetahui bahwa selir kesayangannya mungkin telah wafat saat perjalanan Athanasia ke kediaman utama.

(Kejadian 1 tahun yang lalu di istana mawar, halaman belakang kediaman. Terlihat seorang pria sedang berbaring di pangkuan seorang wanita sambil berbincang di bawah pohon. Dimana udara segar pada siang itu membuat suasana menjadi sangat nyaman)

"Yang mulia, aku khawatir jika suatu saat akan meninggalkan Athanasia sendirian. Penyakitku semakin parah hari demi hari."

kata sang selir.

"Selirku, kamu akan baik-baik saja" ujar Duke dengan ekspresi yang sedih.

"Yang mulia jika suatu saat aku mengutus Athanasia kepadamu dan meminta mu untuk memberikan 2 orang pelayan, maka mohon kabulkanlah itu. Aku tahu itu adalah hal yang sulit walaupun yang mulia adalah seorang Duke sekalipun. Akan tetapi, Karena itu adalah permohonan terakhir ku sebelum aku pergi meninggalkan dunia ini aku memohon dengan sungguh." Ujar sang selir dengan rasa penasaran apakah Duke akan mengabulkan permohonan terakhirnya.

"Aku akan melakukannya, selirku. Apapun itu, aku akan melakukannya untuk mu". Sang Duke tak kuasa menahan kesedihannya. Memerah lah matanya dan berlinang air matalah ia.

"Janganlah engkau menangis wahai kekasihku. Maafkan aku karena permohonan ku akan membuat kau di cerca para pelayan istana dan akan memiliki gosip yang buruk di kalangan bangsawan bahwa kau memberikan seorang pelayan yang memiliki status lebih tinggi kepada seorang yang rendahan seperti ku." Ujar sang selir sambil mengusapkan air mata yang membasahi wajah Duke.

"Kamulah satu-satunya yang ada di hatiku, caroline." Duke memeluk erat kekasihnya dan sang selir menghiburnya.

"Berjanjilah bahwa kau tidak akan menginjakkan kakimu lagi di istana mawar selama hidup mu. Ini akan menjadi pertemuan terakhir kita. Dan aku tidak pernah menyesal untuk menjadi selirmu. Aku bahagia." Sang selir tersenyum.

Ia berdiri, menahan Duke untuk mengeluarkan sepatah kata, lalu ia mengantarkan sang Duke ke kudanya dan melihat ia pergi.

Setelah hari itu, Duke menahan kerinduannya terhadap Caroline kekasihnya dan menepati janjinya untuk tidak pergi mengunjungi selirnya lagi. Bahkan walaupun ia ingin melihat jasad terakhir dari kekasihnya, ia tetap mempertahankan janjinya.

***

avataravatar
Next chapter