Di tengah rasa penasaran dan keraguan, aku teringat nama Elang, namanya Erlangga Satria Wira, sosok manusia berjiwa buaya darat yang tak tahu arah pulang, alias jomlo. Et ... jangan salah, meskipun dia jomlo akut, informasi yang ia miliki tentang perempuan melebihi Google pencarian.
Pandangan kuarahkan ke kasur tempat ponselku berada. Kuambil ponsel dan kucari kontak Elang guna memanggilnya.
Nuuut... Nuuut... Nuutt... tanda panggilan terhubung.
Kutarik napas dalam-dalam, kutahan dan kuhembuskan perlahan agar tidak terdengar seperti orang yang sedang tergesa-gesa.
"Assalamualaikum, Lang! elu di mana? Gabut gua di rumah terus."
"Waalaikumsalam, di tempat biasa bro, ini gua lagi sama Dafa lanjutin proyek kemarin."
"Oke ... gua otewe. Assalamualaikum."
"Siap, ditunggu, Ly. Waalaikumsalam."
Aku, Elang dan Dafa biasanya suka berkumpul di lahan kosong tak jauh dari rumah Dafa. Di sana terdapat saung kecil yang kami alih fungsikan menjadi base camp, tempat kami menuangkan kreasi seperti buat kerajinan dari bambu, sekadar mengobrol, pelampiasan gabut dan lainnya.
Bapaknya Dafa, Pak Mahmud, seorang pengrajin bambu, jika lagi ada waktu luang, Pak Mahmud suka mengajari kami beberapa kerajinan yang mudah untuk kami kuasai, seperti teknik anyaman, ukiran, dan pembentukan pola. Tak sedikit hasil karya kami bertiga yang sudah terjual berkat bantuan Pak Mahmud. Lumayan buat tambah-tambah uang jajan.
***
Di depan saung ukuran dua kali satu setengah meter itu, terlihat seorang pemuda berkaus hitam dengan topi ala Luffy One Piece sedang sibuk menggeluti anyaman Mata Walik [1] yang hampir kelar.
"Beres, Lang?" tanyaku berbasa-basi menampakkan wajah seolah tak berdosa karena baru datang langsung duduk di saung memperhatikan kegiatan Elang.
"Bentar lagi bro," jawabnya santai.
"Dafa mana?"
"Pulang, tadi dipanggil Pak Mahmud."
"Eh, Lang, semalam si Acih telepon gua loh," tuturku membujuk Elang.
"Terus?"
"Dia nembak gua," ujarku dengan nada serius.
Elang menghentikan aktivitasnya dan berbalik ke arahku, menampakkan wajah kaget tak percaya dengan pernyataanku.
Tawaku pecah, tak kuat menahannya, melihat ekspresi Elang seolah percaya dengan pernyataan dustaku, "Santuy aja kali bro," ungkapku dengan nada menyinggung.
Dari awal, aku sudah tahu, Elang suka sama Acih, bahkan aku sempat berprasangka bahwa Elang mendekati dan mau berteman denganku hanya karena dia tahu aku dekat dengan Acih.
Sunarsih Casandra, gadis dengan lesung manis di setiap senyumnya, sudah menjadi hal wajar banyak cowok yang suka padanya, termasuk Elang.
"Masa iya Acih nembak gua," jelasku ke Elang, "Semalam Acih ngomong ke gua, katanya ada cewek yang suka ke gua, Lang."
"Elu percaya?"
"Percaya enggak percaya sih, tapi aneh, Lang."
"Aneh kenapa?"
"Gua bingung, Enggak biasanya gua bingung kayak gini, Lang, elu kan udah berpengalaman nih, jadi gua mau minta bantuan elu."
"Bantu apa?"
"Bikinin kata-kata buat nembak cewek. Lu tahu sendiri kan, selama ini gua belum pernah bikin kaya gituan," ujarku.
"Ceweknya siapa?"
"Eby."
"Yang bener aja lu, Ly. Si Eby? Eby Allesya Fitri?" tanya Elang seakan tak percaya. "Gua sih dukung aja, Ly, elu mau sama siapa juga asalkan jangan sama Acih, tapi ini Eby loh, Ly, Eby Allesya Fitri, setahu gua nih ya, udah banyak cowok yang nembak dia, tapi enggak ada satu pun yang direspons sama itu cewek," jelas Elang.
"Ya, baguslah ... mendingan enggak direspons sama sekali dari pada ditolak mentah-mentah."
"Emang lu yakin bakal diterima, Ly?"
"Enggak yakin juga sih, Ya namanya juga mencoba, Lang. Kali aja gua jadi orang pertama yang menghancurkan ekspektasi semua cowok yang berharap padanya,"jawabku sambil tertawa.
"Dih Pede banget lu, Di tolak aja kena mental lu, haha, Iya-iya gua bakal bantu elu, tapi dengan syarat, elu juga harus bantu gua biar bisa jadian sama Acih, oke?"
"Bukanya lu udah pernah ditolak, Lang?" tanyaku polos.
"Itu kan dulu bro, pokoknya sebelum janur kuning melengkung, aku akan terus mengejar cintanya," ungkap Elang sambil menadahkan tangan ke langit seakan sedang berperan menjadi Romeo yang sedang mengejar cinta Juliet.
"Kalo sudah melengkung?"
"Kalo udah melengkung ya disetrikalah biar lurus lagi."
"Intinya lu mau bantu gua enggak nih?" tanyaku serius.
"Elu nembaknya mau langsung apa gimana?"
"Mmm gimana ya? Bikin surat aja deh, enggak berani gua
kalo harus ngomong langsung."
[1] Anyaman bilik dari bambu hitam dengan variasi.
Ya namanya juga mencoba, Lang. Kali aja gua jadi orang pertama yang menghancurkan ekspektasi semua cowok yang berharap padanya