PEKA
Jangkrik berderik menandakan malam yang sunyi, ditemani secangkir kopi yang tidak pernah memilih siapa yang bisa menikmatinya. Terdengar dering tanda panggilan masuk di ponselku. "Suna" namanya Sunarsih biasa dipanggil Acih. Tanpa pikir panjang aku terima panggilannya.
"Kak Arly!" teriaknya di telepon, "Coba sih peka jadi orang jangan kaya Jabaniyah mulu."
"Assalamualaikum waromatullahi wabarakatuh," jawabku dengan nada sindiran.
"Eh iya lupa, hehe ... Assalamualaikum waromatullahi wabarakatuh, wahai Kakak Jabaniyah yang enggak peka-peka."
"Enggak peka apa?"
"Assalamualaikum," tuturnya membalas sindiranku.
"Iya, waalaikumsalam."
"Peka dong Kak Arly, peka," kata Acih membuatku semakin penasaran.
"Peka apa?"
"Kakak suka sadar nggak sih kalo ada orang yang suka sama Kakak!"
"Kamu suka sama Kakak?"
"Dih pede."
"Langsung ke intinya aja, enggak usah banyak drama."
"Kak Arly…," ucapnya greget, "Itu tuh, si Eby temen aku tanyain Kak Arly mulu."
"Terus?"
"Ya, Kak Arly harus pekalah, Eby itu suka sama Kakak!" jelasnya lantang seolah melimpahkan beban.
"Oh ... suka, kirain mau nagih hutang."
"Ih, Kak Arly, serius."
"Eby yang mana?"
"Itu loh, Kak, Eby Allesya Fitri. Aneh, ada aja yang mau ke Jabaniyah macam Kak Arly."
"Kamu cemburu?" Dengan nada polos aku berusaha menahan tawa.
"Ih ... najis deh aku harus cemburu," jawabnya kesal "Dah ya, Kak, aku cuma mau ngomong itu doang. Pokoknya Kakak harus peka jangan kaya Jabaniyah mulu nanti enggak laku-laku loh. Assalamualaikum," ucapnya terburu-buru mengakhiri percakapan.
Wa alaikumsalam, jawabku dalam hati.
Entahlah, awalnya aku tidak terlalu memikirkan bualan Acih barusan. Kukira itu hanya satu dari seribu candaan yang biasa dia berikan padaku dikala gabut.
Ada yang suka padaku? Aku juga sadar sih, dengan sifatku yang seperti ini mana ada orang suka padakku.
Eby Allesya Fitri. Namanya memang tak asing ditelingaku. Sosok wanita yang sedang naik daun di kalangan santri laki-laki, bukan hanya karena kecantikannya saja yang bak permaisuri, pun karena kepintaran dan keuletannya turut menghiasi.
Suatu hal yang mustahil bagiku jika harus meyakini pernyataan Acih tentangnya padaku. Aku yang jauh dari kata sempurna, tak pantas jika aku yang menjadi pilihannya.
Malam yang sunyi, kini telah hilang berganti pagi disambut sang mentari. Di dalam kamar tiga kali empat meter. Sinar mentari menembus jendela, menyapa mata yang masih terlelap, seakan mengajak diri untuk bergerak. Perlahan kubuka mata yang masih menyisakan rasa kantuk, disambut refleks ulet peregangan sendi kaku yang kurasa.
Astagfirullah, gumamku dalam hati.
Aku terdiam kaget, melihat jarum jam dinding menunjuk angka delapan kurang seperempat. Usai salat Subuh tadi, tidak sadar aku ketiduran di atas sajadah. Pikirku, mungkin karena semalam aku terlalu sibuk berbincang dengan hati dan pikiran, hingga lupa aku sedang berada pada dimensi di mana semua insan sedang terlelap dalam kesunyian, menunggu pagi. Haruskah kuanggap canda perihal semalam? Apa harus kulupakan? Ah ... tak bisa kulupakan, semakin aku berusaha untuk melupakan, semakin aku bertambah penasaran. Benarkah yang dia katakan? Apa hanya sekedar gurauan?
Pokoknya Kakak harus peka jangan kaya Jabaniyah mulu nanti enggak laku-laku loh