3 Desert Beast : Desert Giant Worm

"August, apa yang kau lakukan !?" ujar Pamanku meneriakkanku dari belakang.

"Eh ? Memangnya apa yang salah ?"

"Dengarkan baik-baik, August. Semua makhluk hidup itu mempunyai kelemahan. Dengan strategimu yang lemah itu kau tak dapat menaklukannya dengan mudah meskipun kau mempunyai pukulan super."

Kala itu aku sedang diajari oleh Pamanku untuk melawan seekor makhluk buas. Dia mengajakku ke sebuah area di gurun yang selalu di jaga oleh makhluk buas itu, yaitu Lupuricans. Makhluk itu merupakan seekor serigala yang berdiri dengan kedua kaki dan melawan dengan kedua tangannya yang dilengkapi dengan kuku yang sangat tajam. Meskipun dapat berdiri dengan kedua kaki, serigala ini selalu menyerang, maju, dengan bergerak seperti serigala pada umumnya. Dan dia benar-benar merepotkanku kala itu.

Aku berkali-kali kewalahan menghadapi terkamannya yang cepat dan kuat. Pedangku saja dibuat terlempar olehnya. Untung saja dengan sigap aku dapat meraihnya kembali dan mempertahankan diriku.

"Coba perhatikan dibagian kepalanya kemudian lihat seluruh tubuhnya. Bagian mana yang bisa kau serang dengan mudah... gunakan hal itu untuk memberimu sedikit keringanan !" ujar Pamanku.

"Keringanan ?"

Serigala jadi-jadian itu kalau aku pikir-pikir lagi dia lebih suka menyerang dan menyergap. Bisa saja aku serang kepalanya dan membuatnya jatuh pingsan dengan pedang kayuku. Namun masalahnya, sekarang aku memakai adalah pedang andalanku yang dapat membelah kepalanya menjadi dua. Aku tak boleh seperti itu karena aku disini hanya belajar.

Tak lama setelah itu, aku sedikit lengah. Pedangku jatuh dan aku tepat berada di dalam area sergapannya. Aku tak memiliki kesempatan untuk menangkisnya secara langsung. Dan saat itulah Pamanku datang dan melakukan sesuatu kepada makhluk tersebut.

Aku ditutupi oleh bayang-bayang mereka. Wajah pamanku terhalangi karena membelakangi sinar matahari. Saat itulah pamanku mengalahkan hewan buas itu dengan satu kali serangan.

"Hanya inilah yang sebenarnya harus kau lakukan, August." ujar Pamanku menatapku dengan tajam.

"Hanya itulah yang sebenarnya harus aku lakukan. Sekarang aku mengerti paman. Apa yang sebenarnya harus kulakukan."

Sekarang aku berada di sini. Melaju dengan kencang menuju lubang mulut cacing raksasa itu. Ku terobos angin-angin yang melawanku. Aura kematian berkecambukan di sekitar cacing raksasa itu namun badanku tidak gemetar. Itu karena, aku tahu apa yang harus kulakukan.

Mengamuklah... Badai yang sunyi !

+---+---+---+---+

"Ah ! Dia sudah pergi..."

Jeanne kemudian membuka payungnya. Lalu dia mengambil sebuah cangkir dari punggungnya. Sebuah teh kemudian mengalir dari payungnya dan mengisi cangkir Jeanne yang kosong.

"Mari kita bersantai sedikit."

Sebuah roh tiba-tiba muncul dari atas payung Jeanne dan memegang teko tempat keluarnya teh tersebut. Kemudian satu roh lagi muncul dari punggung Jeanne dengan membawa sebuah kursi santai ala-ala pantai. Gagang payung yang Ia gunakan kemudian menjadi panjang. Dan pada akhirnya terbuatlah satu set santai seperti di pantai.

"Sayang sekali bajuku sedikit tebal saat ini..." ujarnya sambil mengibas-ngibaskan kerahnya, "Brio ! Kipasi aku..."

Kemudian, satu roh keluar dari dalam pasir sambil membawa kipas raksasa. Warna dari roh itu berbeda dari kedua roh sebelumnya. Akan tetapi, Jeanne tidak memedulikan itu.

"Sekarang sekarang... Kita lihat perkembangan August..." ujarnya sambil mengambil teropong di pinggang roh yang berada di sebelahnya. Diapun memakainya dan melihat August dari kejauhan.

+---+---+---+---+

Cacing raksasa itu berdiri di depanku dengan mengubur sebagian tubuhnya di dalam pasir. Dia menatap ke arahku mengancam. Aku mengangkat Desert Rose tinggi-tinggi dan kemudian dia sedikit gempar. Dan tak lama kemudian, dia mulai bergerak mendekatiku.

"Baiklah... aku sudah dapat perhatiannya. Tinggal melancarkan rencanaku."

Cacing raksasa itu masuk ke dalam pasir. Dia menenggelamkan tubuhnya dan terus-terusan menggali pasir tersebut hingga seluruh tubuhnya masuk. Bumi pun mulai bergetar. Aku dapat merasakan gerakannya melalui getaran tubuh kudaku.

Aku mengarahkan kudaku menuju cacing tersebut. Pada awalnya dia terlihat ketakutan dengan mengurangi kecepatannya. Namun setelah aku belai kepalanya, dia perlahan-lahan mulai membaik.

Cacing itu telah masuk ke dalam pasir. Keberadaannya dapat aku rasakan dan perkirakan hanya dengan merasakan getarannya saja. Atau begitulah yang seharusnya terjadi. Seharusnya aku dapat merasakan getarannya. Tapi kenapa...? Kenapa aku tak bisa merasakan getarannya sama sekali. Setelah aku berangkat ke ibu kota beberapa hari yang lalu rasanya tidak ada kejadian yang benar-benar normal.

"Draft President ! Tugasmu sudah selesai."

Aku melompat menjauhi kudaku. Ia kemudian masuk ke kandang sihirnya yang berbentuk bola kecil berada di genggaman tanganku. Draft President tidak boleh mempertaruhkan nyawanya disini. Hanya aku dan monster itulah yang bertanggung jawab atas pertarungan ini.

"Majulah ! Cacing raksasa !"

*Roaaaarrrr* tiba-tiba terdengar auman keras seperti makhluk buas. Suaranya terdengar sangat dekat di sekitarku. Menyebabkan getaran-getaran yang Ia timbulkan kembali terasa.

Mungkinkah dia sebelumnya mengisyaratkan untuk berduel ? Kalau begitu ,aku tidak boleh lengah. Aku harus dapat menentukan lokasi monster raksasa itu di sekitar sini.

Getaran yang aku rasakan terasa konstan. Tidak ada perbedaan yang signifikan di setiap getarannya. Maka dimanakah makhluk itu berada ? Kalau begini terus aku sama saja dengan tidak merasakan getarannya sama sekali.

Aku menutup mataku kemudian berpikir. Waktu telah melambat. Hanya otakkulah yang bergerak dengan cepat.

"August, apa yang kau lakukan !?"

"Kamu sudah menjadi dewasa sekarang."

"Ayo kesini, August."

"Dunia ini sangatlah luas August. Sebelum kau menjelajahinya maka kau harus kuat terlebih dahulu."

"Akulah yang akan menjadi mentormu... Evans Juliet. Mari kita jelajahi dunia ini."

"August awas !!"

"Di bawahku !"

Pasir yang aku injak tiba-tiba meledak. Cacing raksasa itu muncul dan menegakkan tubuhnya dengan sangat tinggi. Aku sempat melompat mundur dan berpegangan tepat di bagian tubuhnya yang keras dekat mulut.

"Emm... Hai...?"

*Rrrrooooaaaaaarrrrrr*

Cacing itu tidak membalas dengan ramah. Dia kemudian menggoyang-goyangkan tubuhnya dan melemahkan genggamanku. Aku berayun-ayun digoyang-goyangkan oleh makhluk kolosal tersebut. Kugenggam kuat-kuat peganganku berusaha agar tidak melepaskannya.

"Sepertinya aku berhasil membawanya keluar. Waktunya strategi kedua."

Aku mengambil pedang rapier dan mengalirkan aliran sihirku kepadanya. Sambil membaca mantra, aku menghadapkan bagian tajam pedangku ke udara.

Aku dapat merasakannya. Aku dapat merasakan keseluruhan tubuh cacing ini bagaikan telah meraba-rabanya. Bagian tubuhnya yang paling keras terdapat tepat 5 meter di bawahku. Bagian itu berbentuk seperti borgol yang terlihat sengaja dipasang pada cacing tersebut. Dan inilah yang harus aku lakukan.

"Hanya inilah yang sebenarnya harus kau lakukan... Pukul musuhmu dengan sekeras mungkin ! Di bagian vitalnya..."

Pamanku menyikut keras tulang rusuknya dihadapanku bermandikan terik cahaya matahari. Terlihat makhluk itu langsung kehilangan kesadarannya. Dia hanya pingsan dan terlihat masih bisa bernafas secara perlahan-lahan.

"Tapi bagaimana aku mengetahui itu bagian vitalnya ?"

"Mudah saja... Setiap makhluk hidup yang bernafas pasti memiliki bagian paling keras untuk melindungi..."

"Bagian vitalnya !"

"Seperti manusia, tulang rusukmu melindungi paru-paru dan jantungmu bukan ? Atau tengkorakmu yang melindungi otak. Mereka sangat fatal apabila dirusak."

Terima kasih Paman. Karena telah mengajariku sesuatu yang sangat berguna hingga saat ini. Saat-saat aku akan menaklukkan cacing kolosal ini.

Aku menendang cacing tersebut, melepas genggamanku, dan jungkir balik di udara. Ku genggam pedangku kuat-kuat dan aku rapal sihirku lagi. Aura merah menyelimuti tubuhku dengan cepat. Pedangku diselimuti aura berwarna merah tajam.

"!! Ouranios : Red Velvet !!"

Bagian keras itu telah berada tepat di depanku. Dengan cepat aku memukulnya sekeras mungkin dengan pedangku. Kekuatanku bertambah-tambah setelah aku mengayunkan pedang ini. Terdengar suara dentuman keras seperti besi yang di pukul. Cacing itu kemudian goyah dan berteriak mendecit. Kemenangan telah berada di dalam genggamanku.

"Syukurlah... Sekarang tinggal bagaimana caranya aku selamat dari ketinggian ini."

Akan tetapi bukan itu saja. Aku terlalu meremehkan hewan yang tergolong ganas. Sebelum dia kehilangan kesadarannya, dia memukulku dengan badannya hingga aku terpental jauh.

*brakk* "Aaaaarrrrgggghhhh..."

Aneh... Sungguh aneh... Aku tidak merasakan sakit sama sekali. Hanya tubuhku yang terhempas menjadi efek sampingnya.

Cacing itu tumbang. Tubuhnya terjatuh ke pasir. Membuat pasir-pasir beterbangan dan menghembuskan angin-angin di sekitarnya.

Sementara itu, aku terhempaskan jauh dari cacing tersebut. Aku jatuh dan berguling-guling di atas pasir dengan cepat dan kuat. Efek aneh yang membuatku tahan sakitpun telah hilang.

"Aduh... Untunglah aku sudah berhenti berguling." ujarku sambil terengah-engah memegangi lengan kananku.

Seseorang tiba-tiba datang dari belakangku. Menggunakan payungnya untuk menghalangiku dari sengat sinar matahari yang panas.

"Kerja bagus, August. Sekarang bangunlah dan kita akan melanjutkan perjalanan."

"Oh Jeanneku sayang... Bisakah kau tidak membuatku kesal untuk 5 menit saja."

"Ahaha jadi kau belum sadar bahwa akulah yang telah menyelamatkanmu ?"

"Jangan bodoh... Hanya kau disini yang dapat membantuku. Terima kasih karena kau telah menepati janjimu." ujarku sambil terduduk kesakitan.

Di atas padang pasir yang panas ini, Jeanne memayungiku dengan payungnya. Dia terlihat senang ketika sedang memayungiku.

Angin sejuk menerpa kami berdua. Kami menatap makhluk buas itu dengan tenang. Pelajaran yang di ajarkan pamanku saat itu tidaklah sia-sia. Tidak, bukan hanya itu saja. Namun setiap pelajaran yang diajarkannya kepadaku tidaklah sia-sia. Aku sangat bahagia menjadi muridnya.

"Ayo kita pergi... Jeanne."

Jeanne mengangguk kemudian mengulurkan tangannya dan membantuku berdiri. Aku tersenyum kepadanya sambil membenarkan topiku. Sungguh, dia benar-benar membantu.

Bersambung

avataravatar
Next chapter