webnovel

antara CINTA atau UANG

Area dewasa!!! Cerita ini Hiatus untuk waktu yg lama, masih harus banyak revisi agar bisa nyambung ceritanya! Menjalin cinta dengan dua pria!! Lia bertemu Max dan saling jatuh cinta tanpa mereka sadari. Diantara hubungan yang mulai berkembang munculah Jack, si pengusaha yang misterius. Pria seksi bermata abu itu juga menjerat perasaan Lia. Max tak mau begitu saja melepaskan perasaannya pada Lia. dia berusaha meyakinkan Lia kalau dia adalah pria yang pantas. Max selalu ada saat Lia tertimpa masalah, tapi Jack punya cara lain untuk menghibur Lia. Cinta segitiga oh bukan. masih ada tuan Edward, bos Jack sekaligus ayah dari Max yang menginginkan Lia.. bagaimana akhir hubungan rumit ini?

Ayun_8947 · Urban
Not enough ratings
243 Chs

Obrolan yang salah

Jalanan Ohio yang kosong di pagi buta, mobil mewah dengan atap terbuka membuat angin menghembuskan rambut pirang mereka

"Apa kau tahu Sekarang pukul berapa?" Mariah menoleh pada Max

"Sekarang pukul empat pagi."

"Bersyukur sekali kakak belum pulang, kalau tidak habislah kita!"

"Apa Mama mengatakan sesuatu padamu bi? kenapa dia tidak pulang akhir minggu ini?" Max melepaskan stir sebentar dan menoleh pada bibinya yang duduk santai dengan jok rendah di sebelahnya, Mariah melirik sekilas sambil memijat dahinya, nampaknya dia masih pengar karena alkohol. Wanita itu mengangkat bahu membalas tatapan penuh tanya Max

"Aku pikir kau tahu kenapa kakak tidak pulang?" Selidik Mariah

"Aku malah tidak tahu" Max memberi tatapan tak mengetahui apapun.

Mariah mengeryitkan dahi, dia juga tak tahu apa alasan kakak wanitanya tidak pulang Minggu ini.

"Aku senang ayahmu tidak banyak ikut campur!" Ujar Mariah mengalihkan topik pada tuan rumah

"Kau tahu dia kan bi, haruskah kita senang atau tidak atas sikapnya?" Dari raut wajah nya jelas Max tak menyukai tuan Edward hadir dalam percakapan mereka.

"Kenapa ayah dan ibumu tidak bercerai saja?" Max tertawa getir mendengar kalimat tak berperasaan dari bibir bibinya yang sexy ini

"Aku baru pertama kali mendengar seorang adik mengatakan seperti itu!" Dengus Max tak percaya. Mariah mencibir saja, dia hanya ingin berkata jujur.

"Max, kau tahu kan hubungan ibu dan ayahmu itu tidak baik? Mereka hanya menganggap pernikahan itu sebatas hubungan formalitas saja" siapa yang tidak tahu, bahkan tukang kebun dan tukang penyedot tangki kotoran rumah Edwardo juga tahu itu.

"Aku rasa semua orang juga tahu jika keluarga Eduwardo tidak pernah punya hubungan yang baik"

"Ya aku setuju denganmu"

Memasuki kawasan rumah mewah keluarga Edwardo, tembok beton tinggi dengan desain bata merah tersusun rapi, hingga hampir lima meter, di atasnya dihiasi semacam lampu taman berbentuk kubus dengan ujung lancip seperti tombak kristal. Lampu menyala temaram menabrak merah bata, memberi kesan dingin dan tegas. Dari tembok besar ini, mobil harus melaju melewati lahan pertanian yang dihiasi pohon Pinus dengan luas lahan satu hektar, hingga menggapai gerbang kedua rumah Edwardo.

Max memutar stir, memarkirkan mobil ke pekarangan rumah. Dia meletakkan asal mobilnya karena sepertinya kantuknya akan segera menyerang.

dia dan Mariah keluar dari mobil menelusuri pelataran rumah, menaiki tangga penghubung antara taman rumah dan teras, sesekali mereka berdua bercerita dan tertawa kecil seperti tidak ada beban hidup

Mariah meraih lengan Max, menyeimbangkan diri. Wanita itu berpegangan pada lengan kekar Max dan melangkah dengan high heel nya. Menaiki tangga.

"Kupikir gadis tadi kekasihmu"

"Apakah menurutmu Dia gadis yang cocok untukku?"

"Haruskah aku berkata jujur?" Balas Mariah menatap wajah ponakannya dengan senyuman menggoda.

"Kenapa tidak" tantang Max. Tak seorang pun mengatakan ada gadis yang tak pantas untuknya.

"Kupikir gadis seperti itu harus mendapatkan pria yang jauh lebih baik darimu! hahaha.." ledek Mariah berlari meninggalkan Max, Mariah masuk ke ruang utama keluarga dengan pilar besar di tengahnya.

"Itu sangat menyakitkan!" Bisik Max menahan tawa kecil, dia tau bibinya hanya menggoda saja.

"Tidak Max, aku hanya bercanda. Dia terlihat sangat muda dan manis seperti anak anjing yang masih begitu polos dan butuh banyak bimbingan hidup" ujar Mariah kemudian

"Maksud bibi dia harus belajar liar seperti bibi?" Sinis Max menyusul langkah Mariah masuk ke ruang utama keluarga. Lampu rumah dalam keadaan mati, hanya nyala lampu lampu hias kecil yang temaram.

"Hahaha.. itu kau tahu itu!" Tunjuk Mariah setuju, dia merebahkan diri di sofa dan meluruskan kaki.

"Itu bukan belajar bi, tapi merusak!" Ujar Max to the point

"Ayolah Max, tahun berapa ini? kita hidup di negara yang bebas!"

"Lalu.."

"Tidak ada muda-mudi yang tidak suka berpesta dan bersenang-senang!!" Mariah menunjuk dirinya dengan bangga.

"Aku tidak, aku rasa Lia juga tidak" ujar max membayangkan wajah Lia dan membuat wajahnya tersipu sendiri 

"Siapa lia?"

"gadis yang kau sebut seperti anak anjing tadi!"

"Oh jadi namanya Lia? Nama yang bagus" ujar Mariah menurunkan kaki dan meraih gelas di meja, tenggorokannya terasa kering, dia merasa haus dan membutuhkan air putih. Max membantu Mariah menuangkan air di gelasnya.

"kupikir dia memiliki masalah hidup yang rumit, kau tahu semua orang juga menghadapi hidup yang rumit tapi menyimpan Apa itu keperawanan sampai usia dua puluh tahun, sepertinya bukan kah itu terlalu naif?" Mariah masih membahas Lia dalam obrolan di penghujung malam mereka.

"Lalu apa bedanya dengan ku?" 

"kalau kau jelas berbeda, kalau kau itu tidak normal! mana ada pria normal menahan diri sampai sejauh ini!" Tuding Mariah mentertawakan ponakannya yang melongo dengan wajah polos.

"Kenapa bibi berkata begitu?" Max tak percaya dengan tudingan kasar bibinya.

"kau bahkan sudah sekamar dengan seorang wanita dalam keadaan mabuk dan setengah telanjang. Tapi kau tidak melakukan apapun padanya kan? Dan sekarang kau menolak dikatakan pria tidak normal, ayolah Max!!" Bibi Mariah memang orang yang apa adanya, dia mengatakan semua yang ada di dalam kepalanya dengan spontan tapi max merasa nyaman saat mengobrol perihal pribadi dengannya. Dia teman yang santai dan Max bisa mengerti setiap kata yang dia ucap.

Maria membanting diri di sofa sekali lagi. Dia melempar tas kecilnya entah kemana

Max meraih gelas dan menuangkan air minum untuk dirinya sendiri, tenggorokannya juga ikut terasa kering mendengar banyak cibiran Mariah.

"Sudah kubilang bi, aku tidak bisa melakukan itu pada sembarang orang, bagiku 'itu' seperti harta.." ujar max bergumam. Dia masih mau melanjutkan obrolan aneh ini tapi juga sedikit malu jika membahasnya terlalu vulgar.

"apa! harta? Apa kau berbicara tentang rumah ini? ini semua yang akan kau miliki! Kenapa kau membicarakan harta! Berapa banyak aset Edwardo yang akan kau miliki Max!" Ujar Mariah menunjuk rumah mewah ini

"Dalam hal seperti itu, 'itumu' hanya bagian dari dirimu yang harus kau lepaskan suatu saat nanti" apa maksudnya dengan 'itumu' Max sedikit bergidik saat bibinya mengatakan kata itu. Dia melirik juniornya. Shit! Dia membayangkan tubuh Lia yang terbaring di kamar. Membayangkan ciuman panas mereka.

"bisakah kita berhenti membahas ini, Aku merasa sedikit jengah." Bisik Max tak bisa menahan diri saat imajinasinya membayangkan lekuk indah tubuh Lia, seandainya gadis itu tidak jackpot di atas pakaian mereka, mungkin semua istilah sudah tak ada lagi melekat pada dirinya, dan bibi Mariah akan berhenti menyebutnya perjaka.

"Kau akan melajang seumur hidupmu jika kau terlalu memikirkan hal itu!" Mungkin Mariah tidak tahu jika saat ini wajah Max sudah sangat merah karena obrolan tak senonoh mereka, pria itu terus saja membayangkan Lia dan mulai kesulitan menahan diri, dia sepertinya harus segera ke kamar mandi dan mendinginkan badan.

"Kupikir kau dan dia berjodoh, akan seru jika malam pertama kalian di jadikan sebuah film!" Mariah masih saja mengoceh.

"Berhentilah membicarakan itu bi.." pinta Max di batas ambang kesabarannya. Dia sangat normal hingga gejolak testoteron begitu terasa dalam dadanya. Dia hanya terus berusaha menahan diri saja.

"Menurutku itu sangat lucu, Apakah kau membutuhkan seorang produser, sutradara atau pemain tambahan?" Mariah masih saja senang menggoda Max

"Sudah hentikan. jangan membahas hal itu lagi!" 

"Itu penting Max, itu masa depan keluarga Eduardo, kau mau keluarga ini tidak melanjutkan keturunannya, kau kan anak semata wayang!!" Mariah masih saja bersemangat melanjutkan obrolan aneh mereka sementara Max sudah malas melanjutkan perdebatan

Sepertinya obrolan ini harus disudahi segera.

"Terima kasih atas masukan mu bi, aku akan memikirkannya" ujar Max kemudian bangkit dari duduknya. Dia hendak pergi ke kamar.

"Ya, sebaiknya kalian memikirkannya!!"

suara lain yang menyamar di antara pembicaraan Max dan mariah membuat keduanya tertegun

Lampu menyala menerangi tiap tiap bagian ruang keluarga dan seluruh rumah.

Seorang wanita melipat kaki di kursi tepat berada di depan Mariah membaringkan diri, dia tidak lain dan tidak bukan adalah nyonya besar rumah Edward. Nyonya Pauline.

Melihat kehadiran Kakaknya, Mariah membenarkan posisi, dia segera duduk dan segera menegakkan punggung

Max kembali ikut bergabung di kursi di sebelah Mariah, mereka berdua seakan siap akan sidang dadakan ini. Lihatlah mata tajam itu.

"Bagus sekali akhirnya kalian pulang." suara berat dan nada sumbang yang terdengar sangat menakutkan

"kalian tahu berapa lama aku menunggu kalian sampai di rumah?"

Baik Max ataupun Mariah tak ada yang berani menjawab

"Sudah sejak tadi kalian banyak bercerita dan berceloteh kenapa sekarang diam saja!" Dengus Pauline dengan sudut bibir tertarik sinis

Bagaimana Max dan Mariah menjawab pertanyaan Pauline jika tatapan matanya begitu tajam seperti ini

"Lanjutkan pembicaraan kalian, siapa tadi itu, keperawanan, keperjakaan, teman tidur, telanjang, mabuk!"

Max dan Mariah semakin tertegun

Pauline bangkit dari kursi, berjalan perlahan menuju belakang kursi di mana Maria dan Max duduk, telapak tangannya memegang pundak satu persatu dari dua makhluk tertuduh itu, membuat Mariah dan Max sedikit terperanjat. Pauline sedikit menurunkan kepalanya mendekatkan mulutnya pada telinga Max dan mariah

"Apakah kalian cukup bersenang-senang malam ini?"

Max dan Mariah saling melirik dan tertunduk dalam. Darah mereka berdesir ngeri