3 》Prekedel Kentang

Aku disini bukan membahas masalah resep, tapi Prekedel Kentang-nya. Dulu ini menjadi makanan wajibku di sekolah. Kalau yang lain nyariin pagi-pagi buat pinjem buku PR, aku ngak  bakal ada di kelas. Bukan pelit, tapi aku lagi makan Prekedel Kentang di kantin.

Se specila itu?, jawabanku selalu Iya!. Aku lebih suka jika ada yang menyediakan setumpuk prekedel kentang saat ulang tahunku ketimbang kue ulang tahun yang nasibnya akan naas di wajahku.

Ibuk kantin juga selalu nyiapin prekedelnya buatku jaga-jaga kalau stocknya hampir habis. Jadinya setiap pulang sekolah si ibuk nanyain, aku mau berapa biji biar di umpetin besok pagi. Ibuknya baik banget, aku jadi merasa special kayak prekedelnya.

Aku sempat berpikir kalau aku tidak akan pernah bosan dengan prekedel kentang. Ternyata aku salah, namanya juga manusia. Bukan karena ibuk kantinnya naikin harga, tapi karena orang yang beliin aku prekedel tiap hari.

aku ngak tau motifnya apa, kalau cuma mau pinjam buku PR ngak mungkin Irfan mau melakukannya tiap hari. Setiap pagi dia yang maksa beliin dan nyuruh aku tetap dikelas, bilangnya biar aku ngak telat kalau bell berbunyi. Tapi aku sendiri ngak pernah telat masuk kelas, diapun tau.

Keselnya setiap prekedel yang ku pesan jumlahnya selalu berkurang satu, tau-tau dimakan sama Mavis. Dia bilang aku harus bersedekah buat orang yang sedang kelaparan meski hanya sebuah prekedel. Mau nabok tapi takut di kroyok dayang-dayangnya, jadi selalu ku biarkan.

Doyanku ada batasnya, jadi suatu pagi si Irfan datang dengan membawa prekedel di tangannya.

"Ntar malam minggu, mau keluar ngak?" Tawarnya.

"Kemana? Bertiga?,"tanyaku.

"Mavis ngak usah di ajak, aku mau curhat,"

"Yaudah deh," kataku. Irfan adalah teman yang baik dan special. Jadi aku tidak pernah berprasangka terhadapnya.

Tapi malam itu hujan  turun dengan lebat. Aku pikir ini berkat do'a para jomblo yang dijabah oleh Allah biar tidak banyak orang yang memanfaatkan malam minggu untuk berbuat maksiat. Aku sendiri merasa lega, jujur aku sidikit takut jalan berdua dengan Irfan, karena dia adalah orang yang kusuka dan kukagumi.

Aku takut akan bertingkah bodoh dan membongkar semua yang selama ini susah ku rahasiakan. Bahkan aku susah membungkam mulut Mavis yang mengetahui rahasiaku.

"Kakak mau kemana? Diluar kan lagi hujan," kata mamah yang melihat aku melamun di ruang tamu.

"Tadinya mau beli siomay ma, tapi ngak jadi," kataku bercanda

"Jadi mau pergi sama Irfan buat beli siomay? Kenapa ngak minta anter sama adek kamu,"

"Bercanda kok mah, katanya dia mau curhat, tapi diluar hujannya makin lebat,"

"Kenapa ngak lewat hp aja? Kan zaman udah canggih kak," kata mamah sambil berlalu ke dapur.

Benar juga kata mamah, kenapa ribet banget buat curhat? Kan bisa aja lewat telfon. Jadi ku ambil hp di kamar dan ku teldon dia.

📞"Udah jalan? Belum kan? Hujan lebat nih," kataku.

📞"belum, mobil di pakai nyokap, jadi mungkin agak lama jemputnya," kata Irfan diseberang sana.

📞"ngak usah aja, lo curhatnya sekarang aja, lebih simple."

📞"hmm gue bingun mulai dari mana, intinya gue mau bilang kalo ada orang yang suka sama lo,"

Aku terdiam, ditambah suara gledek membuat kesan yang sedikit horor. Sudah lama aku tidak mendengar hal seperti 'suka kamu' itu tertuju padaku. Hidupku selama ini memang santai, tidak pernah terlilit tali hubungan asmara. Bukan karena aku ngak laku, memang aku yang pandai menjauh dari situasi seperti itu. Tapi mendengar seseorang berkata seperti itu membuatku pusing seketika.

📞"siapa? Kok dia cerita ke lo? Bukan langsung ngomong ke gue?" Kataku berusaha terdengar santai.

📞"kan gue udah ngomong langsung,"

Bludarrrr, petir sekali lagi menyambar. Kali ini aku benar-benar mematung. Perasaan cemas menyelimuti semuruh tubuhku. Aku ngak tau harus berbuat apa, untuk menjawabnya saja mulutku bergetar hebat. Untung saja aku sudah di kamar, jadi mamah ngak akan melihat kondisiku sekarang.

📞"gomenn" kataku dan langsung memutuskan sambungan.

*gomen= maaf, dalam bahasa jepang*

Aku berusaha mengatur nafasku, mengatur ulang memori ku dan menghapus bagian yang tidak ingin ku ingat.

Hal seperti ini bisa kulakukan dengan mudah, aku sudah melatihnya dari kecil sehingga bisa membantuku dalam situasi sulit.

Ku tarik selimut dan langsung berbaring. Aku ingin tidur untuk membantu proses deleted yang sedang ku program. Suara hujan juga membatu menidurkanku, aku terlelap hingga suara hujan itu terdengar samar.

***

"Pagi!" Kataku pada Mavis yang sedang duduk diatas mejanya.

"Ngak ke kantin?, kayaknya si Irfan bakalan telat,"

"Udah balik dari kantin kok, ibuknya bilang bakal telat buka, rumahnya kebanjiran, sedikit."

"Lo tau dari mana?,"

"Tadi gue telfon,"

"Punya nomornya?"

"Iya, udah lama gue simpan," kataku dengan santai sambil menata mejaku.

"Terniat," Mavis menggelengkan kepalanya sambil berjalan keluar kelas, aku hanya tersenyum tipis membalas responnya.

***

"Gue tau lu freak, tapi nga mungkin kan perasaan lo hilang seketika?" Mavis mencoba berdebat dengan ku soal kejadian semalam.

"Kan gue udah bilang dulu ke elu, gue ngak bisa pacaran,"

"Iya, tapi kenapa?"

"Ya gitu, perasaan gue langsung sirna,"

"Dia kan orang yang lu suka!"

"Hasilnya akan sama, meski dia orang yang gue suka atau bukan. Please deh, gue ngak mau debat."

"Iya, tapi kenapa bisa?" Mavis masih saja memaksaku untuk cerita, dia tidak bisa membaca ekspresiku, aku sudah cukup tertekan saat ditanyai olehnya.

"Datang ke rumah gue nanti malam, ajak Arfin, gue akan cerita," kataku dan pergi ke toilet untuk membasuh muka.

Begitulah awalnya dan saat itu aku memutuskan untuk menceritakan semuanya kepada mereka tentang hal-hal yang ku ingat, karena ada kenangan itu yang terhapus permanen dari ingatanku.

Semenjak saat itu mereka selalu berada di sisiku, menjaga ku meski dari kejauhan, dan siap siaga saat aku dikondisi darurat.

***

*kembali ke kejadian di kantin kampus*

"Lain kali lo harus nolak, meski mereka maksa buat masuk atau ngancam akan ngeluarin lo dari kelompok, keselamatan lo lebih penting dari nilai," kata Irfan yang masih berjongkok di depanku.

"Iya iya," kataku sambil melihat kedalam matanya. Dia selalu tulus membantuku. Aku senang mereka selalu di sisiku, dan tidak pernah mencoba menjauh dariku, thank you, lain kali akan ku ucapkan dengan lantang.

avataravatar
Next chapter