2 》Aku

📞"Iya mah, sebentar, ini lagi beres-beres,"

📞"Jangan telat lagi, nanti ngak di izinin masuk sama dosennya, rugi nak,"

📞"Ngak pernah kok mah, ngak bakal, udah dulu ya mah, nanti Anna beneran telat."

'Tas?, buku?, tugas?, hmm apa lagi, eh leptop?,' aku bergumam sendiri sambil mengumpulkan semua barang satu persatu. Aku bukan maba, alias mahasiswa baru, bukan juga akhir, simple aja, aku semester lima jurusan Psikologi.

Yang barusan nelfon itu mamah. Semenjak aku tinggal di rantau, hampir setiap hari mamah nelfon, padahal sudah dua tahun lebih semenjak aku pindah. Aku tau mamah pasti khawatir, karena aku anak pertama dan perempuan satu satunya.

Aku punya dua saudara laki-laki, keduanya masih SMA, jadi mereka yang jagain mamah dirumah. Papa?, beliau menceraikan mamaku ketika kami masih kecil. Kami ngak pernah merasa hidup susah meski tanpa papa, karena mamah menjaga kami dengan sangat baik. Beliau punya usaha butik yang berkembang pesat sehingga bisa membiayai hidup kami berempat.

Bukan cuma itu, mamah sampai ngutus dua orang bodyguard buat mantau dan jagain aku disini. Mereka adalah Irfan dan Mavis.

Kami satu sekolah saat SMP, kemudian berteman baik hingga masuk SMA dan Univ yang sama. Entah memang kemauan mereka atau permintaan dari mamah, aku masih ngak percaya hal yang sejelas ini bisa disebut takdir. Segitu kuatnya pertemanan kami hingga takdirpun enggan  memisahkan?

***

Sekian dulu tentang diriku, ngak sadar karena ceritanya kelamaan, aku hampir saja ketinggal bus.

"Hampir ketinggalan lagi?" Bisik seseorang dari belakang. Hampir ku sleding karena ku pikir orang cabul, ternyata Mavis.

"Masih pagi udah ngajak gelud aja ni anak, kenapa lo naik bus? Mobil lo mana?"

"Lagi di rawat di UGD, katanya terjangkit demam berdarah,"

"Hah? Lo sarapan makan apaan? Kok pinter gitu, terharu gue,"

"Sate,"

"Sarapan pake sate? Iyain aja dah~, Kenapa ngak nebeng mobil Irfan?"

"Semalam gua kepergok selingkuh, si Irfan marah, katanya ngak mau ketemu sama gue lagi,"

"Lu lagi puber? Semalam nonton drama apa? Dasar sempak kuda!"

"Kuda pakai sempak ya? Gokil~"

"Capek gue ladenin lo, untung ganteng, jadi gue masih bisa sabar,"

"Lah?"

Begitulah Mavis, dari penampilan luarnya, siapapun yang melihatnya, pasti klepek-klepek. Kalau tau aslinya kayak gimana, ngak tau lah tu cewek-cewek masih mau sama dia atau enggak.

"Masuk jam berapa?" Tanya Mavis saat kami baru saja turun dari bus.

"Lagi ngak ada kelas sih, cuma mau bikin tugas tapi yang lain pada belum balas chat gue, takutnya masih pada molor,"

"Sama, gue juga lagi ngak ada kelas,"

"Trus ngapain ke kampus? Bikin tugas juga?"

"Enggak, main wifi,"

"Terniat banget lu,"

"Kalian lagi ada kelas pagi?" Seseorang menyela diantara percakapan kami, dari suaranya aku sudah tau kalau itu Irfan.

"Gue mau ngerjain tugas," kataku sedikit canggung. Dulu aku pernah menyukainya dan waktu kelas tiga SMA, dia pernah menyatakan perasaannya pada ku. Tapi aku yang bodoh ini langsung nolak dia begitu aja. Setelah kejadian itu aku merasa bersalah bertahun-tahun. Dia bilang tidak masalah dan memintaku bersikap seperti biasa, tapi aku tetap saja seperti orang bodoh saat didekatnya.

"Kemana aja? Tadi gue jemput ke kost, katanya mobil lo di bengkel," kata Irfan pada Mavis yang terlihat merasa tak bersalah.

"Kan lo sendiri yang bilang ngak mau ketemu gue lagi," kata Mavis merajuk.

"Kapan? Lo kenapa sih? Sarapan apa tadi pagi?"

"Sate," kataku menyela percakapan mereka.

Irfan menyipitkan matanya menatap Mavis, sedangkan Mavis mematung sambil menatap kami bergantian.

"Oke... oke... karena gue salah sarapan, temenin gue cari makanan penawar, gue tau temen lo bakal telat jadi santai aja," katanya sambil menarik tas ku dan Irfan.

"Kok gue juga?" Irfan kaget tasnya tiba-tiba juga ditarik.

"Lu kan ga ada jadwal hari ini, kita sekelas bego!" kata Mavis sambil tetap menarik tas kami berdua, seperti pemeran ibu tiri jahat yang maksa anaknya buat kerja.

***

"Jadi, apa rencana kalian?" Kata Mavis tiba-tiba setelah melahap habis nasi goreng yang dipesannya.

"Kan gue mau kerja kelompok," kataku sambil menyipitkan mata ke arahnya.

"Mau cari buku referensi di perpus," sambung Irfan.

"Kalo gue mau main wifi," sambung Mavis, lagi.

"Iya gue juga udah tau lu mau ngapain, trus kenapa lu nanya lagi?" kataku.

"Temenin gue main wifi dong," Mavis merajuk.

Aku dan Irfan otomatis berdiri dan langsung meninggalkan kantin dan pergi ke tujuan masing-masing. Terlambat satu detik aja kami ngak bakal bisa lepas dari Mavis dan harus melawan tubuh besarnya dulu kalau mau selamat.

Setelah selamat dari 'dekapan' Mavis, aku langsung pergi ke tempat janjian buat bikin tugas.

Aku benar-benar kaget, mereka memilih kantin yang dominan dikunjungin anak laki-laki. Dari kejauhan, kantin itu sudah di penuhi dengan aroma yang menyesakkan.

"Lo udah nyampe? Yuk kita masuk" kata Ella yang tadang dari belakangku.

"Lo yakin mau bikin tugasnya di sini? Yang lain pada setuju?"

"Mereka setuju kok, bentar lagi nyampe, kenapa?"

Aku ngak bisa bilang kalo merasa jijik dengan kantin itu. Takutnya dia akan berfikir kalo aku norak dan aneh. Aku ga mau lagi kembali ke masa SMA.

"It's oke," kataku terpaksa. Mau atau enggak aku tetap harus ikut masuk, karena tugas ini harus segera selesai.

45 menit adalah rekor terbaruku bisa bertahan di situasi seperti Ini, tapi aku tidak akan sanggup jika lebih lagi. Bahkan mereka masih belum mulai mengerjakan tugasnya, malah asik ngobrol hal-hal yang ngak penting.

"Guys, help me," pesan itu ku kirim ke grup khusus, tentu saja anggotanya aku, Irfan, dan Mavis.

"Sorry, gue lagi ga bisa menjauh dari wifi," balas Mavis. Satu satunya yang bisa kumintai bantuan hanya Irfan.

"Fan? Please..." kataku memohon.

"Lo dimana?" Balasnya. Untung ada Irfan, jika tidak situasinya akan lebih buruk.

📞"hallo? Iya? Bocor? Oke oke, tunggu gue ya..." kataku pada orang yang ku telfon, boongan.

"Guys, sorry ya. Kayaknya aku ga bisa lanjut, soalnya ada situasi penting, tugasnya biar aku yang kerjakan." Kataku pada mereka yang tampak senang dengan tawaran ku.

"Hati-hati dijalan ya Na," kata Ella dan yang lain. Aku hanya menjawab dengan senyum penuh paksaan.

Hal pertama yang terpikirkan oleh ku adalah langsung lari menjauh dari kantin, setelah itu mencari tempat duduk terdekat karena kepalaku sudah sangat pusing.

"Minum dulu," Irfan datang menawarkan air padaku.

"Kok lo tau gue duduk disini?"

"Dari jauh gue liat lo lari-lari keluar dari kantin, trus gue ikutin. Kenapa mau masuk kedalam? Kan lo bisa liat disana banyak laki-laki,"

"Bisa ngak nanti aja ceramahnya? Kepala gue sakit banget nih"

Yaudah, istirahat aja di mobil gue, ntar gue hidupin AC biar adem, sekalian gue juga mau jemput Mavis, dia lagi sibuk main game."

Untung ada mereka, tidak, untung ada Irfan. Kalo aku tetap sendirian setelah keluar dari kantin tadi, entah apa yang akan terjadi. Sudah kesekian kalinya Irfan menolongku dari situasi semacam ini, tapi sepertinya aku belum pernah berterimakasih.

avataravatar
Next chapter