4 》Es Krim Vanilla

"Mau rasa apa?" Tanyaku pada Mavis.

"Rasa jangung bakar," jawabnya dengan menyilang tangan di dada.

"Ngak ada, adanya cuma rasa jagung."

"Kalo gitu biar nanti gue bakar."

Ku acuhkan saja omongannya, susah meladeni anak luar biasa seperti Mavis, butuh kesabaran ekstra.

"Punya lo rasa vanilla," kuberikan es krim itu pada Irfan.

"Dan lo rasa strawberry," kataku pada Mavis.

"Jagungnya mana?, kan gue pesan yang jagung."

"Kata bapaknya lagi ngak ada, yang ada cuma toping jagung, itupun habis."

"Kenapa rasa strawberry?"

"Kan lo alergi coklat, dan lo pernah nangis kalau makan es krim vanilla. Yaudah makan aja yang strawberry." Sela Irfan.

"Kali ini gue yang ngalah," respon Mavis setelahnya.

Kalau urusan makan, kami yang selalu nurutin kemauan Mavis. Aku sih ngak ada masalah sama alergi, jadi aman makan dimana saja. Sedangkan Irfan alergi udang, mau ngak mau dia harus nahan nafas kalau kami makan di restoran seafood.

Anehnya Mavis selalu ngajak kami kalau soal makan, dia ngak pernah ngajak temannya yang lain. Kalau aku sedang sibuk, dia pergi berdua dengan Irfan. Dan kalau kami berdua sedang sibuk, dia memilih makan di kost. Meskipun begitu, setiap dia ngajak, dia akan tetap membanyar makanannya sendiri dan tidak pernah memaksa kami untuk traktir.

Sebenarnya ada alasan kenapa dia seperti itu. Dulu waktu SMP, Mavis adalah atlit basket. Setiap pulang latihan dia akan mampir ke supermarket untuk beli es krim.

Memang es krim sangat cocok dimakan saat kita merasa gerah, bener ngak?. Karena jam olahragaku sama dengan jadwal latihannya jadi kami sering beli es krim bareng.

Seperti biasa, yang ku pesan es krim coklat dan Mavis vanilla. Sampai saat itu tidak ada yang salah dengan Mavis, dia masih bisa melahap es krim itu sampai habis.

Karena kami tinggal lingkungan yang sama, jadi kami selalu pulang bareng. Kadang kami singgah di taman dekat rumah sambil menghabiskan es krim dan kadang cuma sekedar duduk sambil memperhatikan Mavis main bola basket yang ada di lapangan sebelah taman.

Saat main waktu itu, Mavis ngak sengaja melempar bola ke arah anak kecil di dekat ku. Niatnya mau lempar ke aku yang sedang melamun tapi salah sasaran. Adek itu nangis karena bolanya mengenai es krim di tangannya.

Mavis menghampiri dan mengajaknya beli es krim yang baru. Dari wajah Mavis tidak ada perasaan bersalah dan menyesal, dia terlihat biasa saja.

Seminggu kemudian saat aku pulang olahraga dan mengajak Mavis beli es krim, dia langsung menolak. Alasannya karena kenyang. Aku tau dia berbohong, dia baru saja selesai latihan dan belum sempat makan karena ada turnamen yang mau mereka hadapi.

Aku dan Irfan bikin rencana buat traktir Mavis setelah turnamennya selesai karena belakangan dia terlihat kurang semangat.

📞"Hari ini terakhir turnamen kan? Setelah pulang langsung nyusul kami ya di warung pak Bambang." Kataku saat menelfonnya.

📞"kenapa?"

📞"kami mau traktir!" Kataku terus terang, biar dia semangat. Dan sesuai dugaan ku, dia terdengar kegirangan.

Mavis beneran datang tepat waktu. Dan kami mentraktirnya sesuai janji. Hari itu special bagi Mavis karena teamnya menang turnamen, jadi aku pikir es krim vanilla adalah hadiah yang tepat untuknya.

Tapi aku salah, setelah es yang aku pesan datang, dia langsung menangis. Tentu saja aku dan Irfan bingung, dia menangis lima belas menit lamanya. Setelah itu dia langsung cerita.

"Sorry ya gue tiba-tiba nangis," katanya terisak.

"Lo kenapa? Gue langsung panik tau!" Kataku.

"Kenapa langsung nangis? Lagi ada masalah apa? Yok cerita" kata Irfan sambil menepuk pelan punggung Mavis.

"Gue jadi keinget adek kecil yang waktu di taman, es krimnya jatuh karna gue. Gue ngak tega makan es krimnya karena merasa bersalah." Ceritanya.

Aku dan Irfan diam seribu bahasa. Kami takjup dengan kopolosan Mavis, dia nangis cuma karena masalah sepele. Tapi saat itu kami juga kebingungan mau menanggapi seperti apa, jadi pilihan kami tetap diam.

"Waktu latihan, pelatih traktir kami es krim. Aku dapat rasa vanilla, jadi aku nangis. Yang lain langsung ketawa bilang aku cengeng padahal punya badan gede," curhatnya lagi.

Aku dan Irfan langsung nahan ketawa, jujur saja bagi kami itu juga sangat lucu, tapi kami tau perasaan Mavis sangat kacau waktu itu. Jadi kami biarkan dia terus menangis sampai tisue di meja sudah habis.

***

"Tapi itu pas gue SMP, sekarang udah kuliah coy," katanya pada Irfan.

"Mana tau tiba-tiba lo nangis lagi? Kan kami yang malu jadinya," jawab Irfan.

"Sini es krim lo!" Katanya sambil menarik mangkuk es krim mikik Irfan. Matanya berkaca-kaca seketika. Aku yang menyadari itu langung mengembalikan mangkuk Irfan.

"Kan, lo masih nangis!" Ejek ku sambil memberikan sehelai tisu.

"Lo salah liat, tadi itu karena tersedak," katanya sambil menyeka air mata.

Aku dan Irfan hanya geleng-geleng melihat tingkah bayi raksasa di hadapan kami.

avataravatar
Next chapter