webnovel

Dufan : 1

"Loh, yang lainnya mana?"

Marchel yang baru saja akan memasukan tas kamera eiger-nya ke dalam mobil seketika membalikan badan dan mendapati Anna yang memandangnya dengan dahi mengerut.

"Ada di dalem, An. Masuk saja."

Anna mengangguk, lantas kembali melangkahkan kakinya menuju teras depan rumah Revan.

Pagi ini, dihari sabtu.

Sesuai dengan rencana beberapa hari yang lalu ia berserta yang lain akan pergi ke dunia fantasi -Dufan, dengan tiket gratis pemberian Dimas.

Dan, rumah Revan adalah lokasi sarang berkumpulnya mereka.

Gadis itu menghentikan langkah tepat di depan pintu rumah Revan yang memang sudah terbuka. Senyum di bibir terbit kala melihat Dimas, Billy dan Rena tengah duduk di ruang tamu seraya mengobrol.

"Hai semua!"

Seru Anna membuat ketiganya menghentikan obrolan dan langsung menolehkan kepala kepada gadis itu.

"Eh, hai, An! Ayo sini masuk."

Rena tampak senang begitu melihat Anna datang, sadari tadi ia hanya gadis sendiri di antara yang lain.

"Mana Revan?"

Tanya Anna kemudian mendudukan dirinya di sebelah Rena.

"Masih prepare. Lo gak bareng Karin sama Manda?"

"Nggak, Dim. Gue bareng supir. Kalau Manda sih bareng Karin dan Erik. Mereka lagi di jalan. Sebentar lagi mungkin.."

Dimas mengangguk paham.

"Lo, bawa apa saja. An? Gak bawa cemilan gitu?"

Tanya Billy begitu melihat Anna yang hanya mengendong mini ransel di pundaknya.

Anna menggeleng.

"Emang harus? Di sana juga kan banyak yang jual makanan. Gue sih cuma bawa ponsel, power bank terus dompet."

"Oh, gue kira lo bawa cemilan. Kan lumayan, gue bisa minta nanti."

Billy tersenyum tengil membuat Dimas menonjor pelan kepala laki-laki itu.

"Makanan mulu yang ada di otak lo. Dasar mental gratisan!"

"Iya nih, Bil. Kamu malu-maluin aku tahu gak."

Timpal Rena, memandang gemas Billy.

Kontan Anna pun tertawa kecil melihat itu. Sementara, wajah Billy terlihat kesal sesaat Dimas mengejeknya. Sampai-sampai Marcel yang baru masuk itu pun di buat bingung karenanya.

"Loh, ada Anna."

Suara itu membuat Anna mendongkak dan mendapati Laura yang baru saja keluar dari dapur. Gadis itu tersenyum dan lantas beranjak mendekatinya.

"Mommy, Anna kangen!"

Laura tersenyum tatkala Anna memeluknya singkat.

"Mom juga kangen banget sama kamu. Kamu sih, kenapa gak main lagi ke rumah?"

Anna terkekeh.

"Abis, Revan nggak pernah lagi ngajak Anna sih mom."

"Ya jangan nunggu di ajak dia dong, An. Anak itu mah suka diem-diem bae. Kalau mau main, main saja ya."

Laura mengusap lembut kepala Anna, membuat Anna mengangguk tersenyum, memamerkan deretan giginya yang rapi.

"Siap, mom!"

Drama antara Laura dan Anna barusan tidak luput dari pandangan Dimas. Laki-laki itu melihat dengan dahi mengerut seolah kata-kata bermunculan di kepalanya.

Tak lama, Revan turun dari tangga. Dengan jaket demin yang dipadukan dengan kaos putih polos. Serta celana jeans dan sepatu kets, membuat laki-laki itu terlihat sangat tampan. Khususnya Anna, gadis itu menelan saliva-nya.

Gila! Kok ganteng banget sih dia!

Revan mengerutkan dahi begitu tiba di depan Anna, gadis itu menatap dengan mata tanpa berkedip seakan menatapnya lapar.

Sementara Laura yang berdiri di antara Anna dan Revan tersenyum-senyum melihat keduanya. Ia jadi merasa gemes sendiri.

"Ekhem."

Suara deheman dari Billy seketika membuat Anna sadar, lantas terkekeh singkat mengusap tengkuknya menahan malu.

"Ciee.. ada yang terpesona nih!"

"Ciee... ciee... ciee.."

"Ciee, ada yang salting."

Anna menolekan kepalanya pada Rena, Billy, Marchel dan Dimas. Gadis itu berdecak sebal saat tahu mereka tengah mengodanya.

"Heh, bisa diem nggak kalian? Siapa juga yang terpesona."

"Ah, ngaku saja, An. Berasa nonton drama korea nih gue."

Kata Rena mengerling jahil menaik turunkan alisnya.

"Ih, apaan sih lo, Na. Malu gue, dilihatin mommy."

"Mommy apa Revan?"

Anna mencurutkan bibirnya, sebal. Sementara Revan hanya menggelengkan kepala dan kemudian duduk di samping Dimas.

Laura terkekeh mengusap bahu Anna.

"Kenapa malu sama mommy? malah mommy juga gemes sama kamu."

"Ih, apa sih mommy."

Anna menyunggingkan senyum kecil dengan pipinya yang merona. Hingga akhirnya Laura meminta izin pergi karena mendengar suara tangisan Gwen yang baru saja bangun dari tidurnya.

Tak lama, suara klakson mobil dari luar terdengar.

Mereka bersama memutuskan bangkit dan keluar dari rumah. Saat itu pula terlihat Erik, Karin juga Manda yang baru saja keluar dari mobil.

"Aduh, sorry ya telat. Abis nunggu lama si Manda sama pasangannya sih."

Pernyataan Karin barusan seketika membuat Anna menautkan kedua alisnya bingung.

Pasangan Manda? Siapa?

Kemudian salah satu pintu mobil itu kembali terbuka, menampakan seorang laki-laki yang keluar dari dalamnya.

"Leo?"

Tanpa sadar, Anna mengucapkan nama laki-laki itu. Membuat Revan yang berdiri di sebelahnya melirik sekilas gadis itu.

"Santai saja, Rin. Kita semua juga baru datang kok."

Jawab Dimas, kemudian memperkenalkan dirinya pada Erik -kekasihnya Karin. Hingga mata itu mengarah pada Leo yang menatapnya dengan pandangan biasa saja.

"Thanks ya, lo juga udah mau datang."

Leo mengangguk.

"Thanks juga lo udah ngajak gue."

Dimas membalas dengan senyuman dan anggukan.

"Oke! Udah kumpul semua, kan? Ayo pergi."

Kata Billy membuat Dimas kembali mengangguk, lalu mereka melangkah hendak memasuki mobil, diikuti Rena di belakangnya. Sementara Marchel menatap sebentar Manda, gadis itu terlihat berseri-seri. Entah apa yang membuatnya ceria, apa mungkin karena laki-laki yang bernama Leo?

"Chel! Cepet naik!"

Dimas yang duduk di bangku supir itu berteriak memanggil. Dan, akhirnya Marchel pun membalikan badannya melangkah menunduk seolah pikiran berputar di kepalanya.

"Sebentar."

Kata Anna pada Revan, sesaat laki-laki itu hendak akan melangkah menuju mobil. Lalu arah pandangnya mengikuti Anna yang melangkahkan kaki menghampiri Karin dan Manda.

"Man, Rin. Nggak apa kan gue gak semobil bareng kalian?"

Tanya Anna pada kedua sahabatnya, tapi sesekali matanya melirik Leo sekilas.

"Nggak apa-apa kali, An. Kita ngikutin mobil kalian dari belakang kok."

Jawab Manda, membuat Anna tersenyum. Tapi sekali lagi, matanya melihat ke arah Leo yang berdiri di belakang Manda. Ia ingin sekali bertanya kepada laki-laki itu, kenapa ia bisa sampai di ajak Dimas?

Namun, semua harus tertahan begitu suara seseorang berkata..-

"Ayo."

Gadis itu menolehkan kepalanya pada Revan. Laki-laki itu menggenggam erat tangannya, lantas mengajaknya pergi.

...Tanpa ia sadari, dua pasang mata saling beradu pandang setajam belati.

***

Kedua mobil itu berhenti tepat di parkiran Dufan. Satu-persatu dari mereka keluar dari dalam mobil.

"YAEH...., AKHIRNYA!."

Billy berteriak seraya merenggangkan otot begitu ia keluar dari mobil.

Marchel berdecak.

"Apaan sih lo, lebay."

"Nih dengerin, Chel. Hidup kita tuh udah kebanyakan beban. Beban sekolah, Beban hidup. Ditambah wajah kita yang tampan ini juga beban. Capek nggak sih lo dikejar-kenjar mulu cewek? Nah, ini waktunya kita bersenang-senang."

Ucapan Billy sontak membuat orang-orang di sekitar tertawa, kecuali Rena. Gadis itu terlihat memandangnya sebal.

"Receh anjir si Billy."

Dimas menggelengkan kepala tak habis pikir. Sementara, Anna malah terkekeh kecil.

"Oh ya, jadi sekarang rencananya kita bakal naik histeria, baru roller coaster, baru kora-kora, baru bumber car, baru..."

Seketika Dimas langsung mendekap mulut Billy.

"Ya udah sih, buruan! Lo bawel banget asli. Kalau elo ngomong mulu, gak akan selesai ini. Keburu ni tempat tutup."

"Iye!."

Pada akhirnya mereka bersama memasuki kawasan dufan dan langsung menuju histeria, lalu berbaris dan mengantri.

Mendadak Billy pun takut, ia menelan sulit saliva-nya begitu melihat seseorang muntah setelah menaiki wahana tersebut.

"Kayaknya untuk histeria, gue nggak ikutan deh."

Pernyataan Billy membuat Dimas juga Marchal tertawa ngakak.

"Kenapa coba? Perasaan lo yang tadi paling semangat. Lemah banget jadi cowok."

Sindir Marchel kemudian.

"Bukannya takut, cuma..-"

"Nggak ada alesan, Bil! Pokoknya kamu harus temenin aku!"

Rena menggenggam erat lengan Billy yang membuatnya tidak bisa pergi ke mana-mana.

"Kamu nggak takut, kan?"

Anna yang sadari tadi tersenyum memperhatikan tingkah Billy langsung mengalihkan pandangannya pada Revan -kekasihnya itu.

"Nggak, kok. Kan ada kamu."

Revan tersenyum kecil, tangannya tidak pernah lepas menggenggam gadisnya. Entahlah... ia hanya perlu melakukan itu.

Sementara Leo yang berdiri tepat di belakang Manda menatap keduanya dengan pandangan yang sulit diartikan seolah menahan gejolak dalam hati. Merasa tidak tahan, Leo pun mengalihkan pandangannya lalu menghembuskan napas kasar.

Dan, Manda sadar.

Gadis itu berusaha kuat menahan dirinya, ia tidak ingin momentnya saat bersama laki-laki itu harus rusak karena sebuah keegoisan.

Setelah menunggu kurang lebih dua puluh menit untuk menaiki wahana histeria, kini giliran mereka bersepuluh yang akan menikmatinya. Revan duduk di sebelah Anna lalu membantunya memasang pengaman itu. Anna tersenyum berterimakasih karenanya.

Perlahan, permainan itu bergerak dan membuat mereka berteriak gembira.

"Kita sekarang ke roller coaster, kan?"

Tanya Dimas pada yang lain.

"Gue, nggak ik..."

Tolak Billy seraya menahan rasa mual. Ia merasa ingin mengeluarkan sesuatu dalam mulutnya. Melihatnya, secara inisiatif Rena pun menghampiri Billy, dan mengusap-usap punggung kekasihnya itu.

"Kamu beneran nggak kuat, ya?"

Billy mengangguk lemah.

"Anjir, beneran K.O si Billy, udah gaya lo paling so tadi. Dasar lembek!"

Kata Dimas dengan tawa berderai.

"Kita ganti wahana, bisa nggak? Atau gue nggak usah naik sekalian!"

"Payah lo! Kita udah jauh-jauh ke sini dan lo nggak nikmatin? Rugi tahu nggak."

Celutuk Marchel menganggapi omongan Billy.

"Oke fine! Lo semua selalu bilang gue lemah atau something like that! Gue cuma mau kasih tahu lo semua, jangan lo salahin gue kalau liburan kali ini nggak sesuai dengan harapan elo-elo."

Billy berlalu dan lantas memaksakan dirinya menaiki roller coaster. Membuat Rena dan yang lain menganga.

Hingga wahana itu melaju, semua kembali teriak histeris.

Kali ini, Billy benar-benar muntah dibuatnya.

"Mending lo nggak usah so-soan lagi deh, Bil. Kalau lo ampe pingsan, kita juga yang repot."

Dimas menggeleng jengah.

"Gue juga udah bilang tadi, bego!"

"Ya udah kita mencar saja, gimana?"

Tanya Anna mengintrupsi yang lain.

"Iya, bener! Kita kan jadi bebas sendiri milih wahana-nya. Dari pada barengan, yang satu mau, yang satu nggak. Malah jadi ribut akhirnya."

Pernyataan Karin barusan membuat semua orang mengangguk membenarkan.

"Oke, kali ini kita mencar. Tapi begitu jam makan kita kumpul lagi. Nanti gue share ke wa kalian satu-satu."

Dan, pada akhirnya semua berjalan masing-masing dengan pasangannya. Revan dan Anna, Karin dan Erik, Manda dan Leo, Billy dan Rena. Sementara Dimas bernasib sial karena harus berpasangan dengan Marcel. Begitu pun Marchel, rasa iri hati terhadap Leo saat tahu Manda berpasangan dengan laki-laki lain selain dirinya.

"Mau naik apa dulu nih?"

Tanya Revan pada Anna sesaat mereka berdua berjalan berkeliling. Kontan, Anna pun menoleh.

"Bebas, semuanya aku berani."

"Tornado?"

Ujar Revan menaikan sebelah alisnya, lalu tersenyum.

"Jadi nantangin? Hmm.."

Revan tertawa.

"Boleh."

Jam berputar. Waktu semakin berlalu. Baik Anna juga Revan sudah mencoba berbagai wahana di Dufan. Dari mulai wahana mendebarkan sampai wahana santai. Anna- gadis itu tidak pernah untuk tidak tertawa saat bermain bersama kekasihnya itu.

Ia benar-benar merasa senang.

Revan sudah benar-benar menunjukan dirinya pada gadis itu, bahwa ia adalah pacar yang terbaik untuknya.

"Istirahat dulu, ya? Sambil nunggu kabar dari yang lain."

Anna mengangguk, lalu mereka berdua duduk di kursi taman seraya melihat orang-orang yang berada di atas wahana niagara. Diam-diam Anna tersenyum menatap wajah Revan. Meneliti setiap inci wajah kekasihnya. Demi Tuhan! Ia tidak pernah akan melupakan wajah itu.

"Mau minum?"

"Ada?"

"Aku beli dulu, tunggu."

Revan beranjak dari kursi, lalu melangkahkan kakinya menuju spot makanan untuk membeli minuman. Senyuman masih tercetak di bibir Anna, matanya masih setia memandang laki-laki itu. Sampai pada akhirnya..-

"Anna."

Leo, laki-laki itu kini berdiri di depan Anna dengan mata menyelidik. Dalam bahasa isyarat, mereka berdua saling menatap.

... Dan, Revan tidak tahu apa yang terjadi di belakangnya.