42 Rencana Akhir Pekan

Priiit... Priiit..

"Ayo, anak-anak buat barisan!"

Teriak pak Otto -guru olahraga, memberi aba-aba pada siswa dan siswi yang masih duduk bermalas-malasan di pinggir lapangan agar segera berdiri dan mendekat untuk diabsen. Anna salah satu diantaranya.

"Sekarang tanggal berapa, ya?"

Guru yang tergolong masih muda itu bertanya tiba-tiba begitu selesai mengabsen semua murid di kelas Anna.

"Tanggal 11, pak!"

Jawab Gerry, salah seorang siswa yang berdiri di belakang barisan.

"Oke, nomor absen 11, tolong segera memimpin pemanasan."

"Waduh, kok malah gue sih?"

Gerry mengeluh pelan seraya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Tolong ya, Ger. Kamu pimpin sebentar. Saya mau ngurus inventaris gudang olahraga dulu dengan pak Dirga. Nanti saya ke sini lagi."

Pintanya.

"Awas kalau kamu nggak bener mimpinnya. Saya akan kasih kamu hukuman."

Lantas pak Otto pun meninggalkan lapangan. Sementara Gerry mulai melangkah ke depan dengan ogah-ogahan untuk menghadap pada teman-temannya, bersiap memimpin pemanasan.

"Oke.. teman-teman, kita mulai dengan..argh, ngapain dulu sih kita?"

Gerry bertanya balik kepada teman-temannya dengan menggaruk-garukkan kepalanya lagi.

Anna tersenyum melihat tingkahnya.

"Pemanasan, Ger. Pemanasan."

Pernyataan Danist barusan seketika kembali membuat Gerry sadar.

"Oh ya, sorry. Rapatkan kaki, tangan di pinggang, terus yang tengok kanan tengok kiri itu ya!"

Jedanya sesaat.

"Ayo bantu hitung mulai dari yang pojok kanan depan. Sandy! Heh, San! Ya elah, San! Lo malah nguap-nguap terus!"

Gerry berseru seraya menunjuk Sandy yang terus menguap.

"Hah? Gue? Yo wes.. Yo wes. Satu.... dua.. tiga.. empat... lima.. enam.. tujuh.. delapan.."

Dan, Sandy pun menghitung dengan nada suara sedikit lemas, karena kantuk yang masih dirasakannya.

Hingga akhirnya para siswa dan siswi itu pun kembali melakukan gerakan pemanasan, dipimpin Gerry yang dibantu menghitung secara bergiliran. Yah... namanya juga instruktur pemanasan dadakan. Walhasil, ada beberapa gerakan pemanasan yang sumpah tidak bermutu, tapi tetap mereka lakukan juga meski seraya terpingkal-pingkal.

"Sudah kan, ya? Pemanasannya udah cukup ya. Seperti biasa, kita sekarang keliling dulu lapangan. Mumpung pak Otto belum balik, larinya cukup dua puteran saja. Setuju, kan? Go!"

Gerry mulai melangkahkan kakinya, sedikit berlari mengelilingi lapangan. Sementara yang lain mengikutinya dari belakang.

"Ini masih pagi, tapi kok udah panas banget gini."

Kata Manda sesaat berjalan pelan bersama kedua sahabatnya itu. Karin mengangguk setuju,

"Ya, namanya juga udah masuk musim panas. Jam 6 pagi pun tuh matahari udah nongol saja."

Lain halnya dengan Anna, ia hanya diam mendengarkan. Sebelum akhirnya..-

"Eh.. An, kemarin lo ke mana sama Revan. Lo beneran nge-date kan sama dia?"

Pertanyaan Manda tadi seketika membuat Anna menolehkan kepala. Saat dilihat, kedua sahabatnya itu tengah menatap ia penasaran.

Anna tersenyum simpul.

"Iya dong, gue diajak makan gitu di cafe pinggir pantai. Sweet banget gak sih dia."

Mendengar itu, Manda dan Karin langsung terperagah.

"Bisa gitu juga dia?"

Tanya Karin tak percaya. Begitu Anna akan menjawab, seseorang lebih dulu menyela..-

"Lo bertiga lelet banget, bisa cepetan nggak sih?!"

Baik Anna atau kedua sahabatnya, mereka seketika menolehkan kepala dan mendapati Gerry yang memandang ketiganya gemas.

Saat itu juga Anna menghentikan langkah dan membalikan badannya pada laki-laki itu.

"Ger! Lo berani ngebentak gua?!"

Anna memandang tajam Gerry, membuat laki-laki terkekeh pelan.

"Aduh.. sorry-lah, An. Bukan maksud gue ngebentak elo. Keburu pak Otto balik nih. Ntar gue di marahin kalau kalian keliatan nyantei-nyantai gitu. Lo mau lihat gue dihukum?"

Anna mendengus.

"Bodo amat, Ger. Elo ini yang dihukum."

"Yah, kok elo jahat gitu sih sama gue, An."

Gerry melemaskan bahunya. Sementara Anna -gadis itu menggulumkan mulutnya. Menahan tawa sesaat laki-laki itu mencurutkan bibir.

Dasar, nggak bisa diajak bercanda nih si Gerry cracker!

"Ya udah, yuk lari."

Kata Karin, lalu gadis itu pun kembali membalikan badannya, berlari kecil. Disusul Manda di belakangnya.

Dan, Anna yang diam berdiri dibelakang itu menolehkan kepalanya sebentar pada Gerry yang masih ikut terdiam.

"Bercanda kali gue. Gue lari nih."

Gerry tersenyum senang. Kali ini, Anna benar-benar berlari seperti teman-teman yang lain. Kontan laki-laki itu pun juga kembali berlari.

"Gue perhatiin, lo udah baikan."

Suara seseorang membuat Anna menolehkan kepala dan mendapati Leo yang tersenyum menatapnya seraya ikut mensejajarkan kaki, berlari pelan di samping gadis itu.

Anna tersenyum tipis, tak lama ia pun mengangguk kecil.

"Tepatnya, gue membuat diri ini selalu terlihat baik."

Leo menghembuskan napas, lantas menaikan kedua sudut bibirnya, mengangguk paham.

Sementara tanpa mereka tahu, Manda memperhatikan keduanya. Menatap dengan kedua alis yang menurun.

"Man, lo suka merhatiin nggak sih, cara natap Leo ke Anna itu beda dengan cara dia natap ke cewek lain?"

Pertanyaan itu membuat Manda menolehkan kepalanya pada Karin. Ternyata, gadis di sebelahnya pun diam-diam selalu memperhatikan tatapan Leo.

"Gue rasa, Leo punya hati sama Anna."

Tepat saat itu, Manda merasa ingin terbang jauh meninggalkan tempat ini. Jadi, ia pun segera berkata..-

"Gue mau ke toilet."

***

"DUFAN?!"

Billy berteriak, bertanya memastikan. Membuat penghuni kantin seketika menolehkan kepalanya pada laki-laki itu.

Tak ayalnya, Revan, Anna, mau pun yang lain juga terdiam melebarkan mata begitu Dimas menunjukan beberapa tiket Dufan di tangannya.

Ucapan Billy barusan membuat Dimas menyetil dahi laki-laki itu.

"Berisik, anjir! Yang lain denger kan jadinya."

Saat ini pada jam istirahat. Anna beserta yang lain tengah makan bersama dalam satu meja panjang di kantin. Dan, saat itu pula Dimas mengatakan akan mengajak mereka ke Dufan weekend ini. Dengan tiket gratis pemberian sang paman yang kebetulan salah satu ketua direksi di tempat itu.

"Jadi, lo semua ada waktu kan minggu ini?"

"Gue mah bisa-bisa saja sih. Eh, tapi gue boleh ngajak Rena, kan?"

Dimas mengangguk.

"Ditangan gue ada 10 tiket. Kalau lo jadi ngajak Rena, berarti tinggal sisa 2. Lo gimana, Van?"

Revan yang sadari tadi memainkan makanannya mendongkak menatap Dimas, lalu mengarahkan pandangan pada Anna yang duduk di sampingnya. Terlihat, gadis itu seakan menatap harap-harap ke arahnya.

"Gimana?"

Tanya balik Revan pada Anna. Kedua mata gadis itu pun membulat. Kenapa Revan malah bertanya balik padanya? Walau tak lama, senyuman terbit di bibirnya.

"Gimana kamu, my baby bee."

Jawaban Anna membuat orang-orang disekitar mengerling jahil, salfok dengan panggilan sayang Anna yang tak biasa pada sang kekasih. Tapi, sekali lagi - gadis itu terkekeh kecil tak peduli.

"Jadi, gimana, bee?"

Kali ini, Dimas bertanya meledek pada Revan yang dibalas decakan laki-laki itu.

"Oke."

"Oke! Chel, lo bisa kan?"

Marchel hanya mengagguk menjawab seraya memberikan jempolnya.

"Manda sama Karin, mau ya? Ayolah, lebih banyak orang lebih asyik, lebih rame."

"Boleh."

"Oke."

Dalam diam, Marchel tersenyum menatap Manda. Hatinya berseru senang kala gadis itu juga akan ikut.

"Siap! Oh ya, Rin. Siapa tahu elo juga mau ngajak pacar lo. Soalnya tinggal 2 lagi nih."

"Boleh? Nanti gue bilangin, ya."

"Oke!"

Dimas tersenyum, 9 tiket sudah dibooking. Dan sekarang tersisa satu tiket.

Terus mau gue apain sisa satu ini?

Batin dalam hati Dimas bertanya.

Hingga di mana, Anna dan Karin meminta izin pergi membeli minuman. Dimas menatap kepergiaan kedua gadis itu dan lantas ekor matanya menangkap seseorang yang duduk mengobrol tepat di belakang Revan. Setelah berpikir lama, seringai muncul di bibirnya.

"Kalau gue ajak murid baru itu, gimana?"

Pertanyaan Dimas seketika sukses membuat setiap mata yang ada di sekitar langsung tertuju padanya.

Khususnya Manda, gadis yang hanya duduk sendiri karena kedua sahabatnya belum juga kembali, mengeryit menatap tanya Dimas. Siapa maksudnya?

"Maksud lo, si Leo, murid baru itu?"

Tanya Marchel memastikan, lalu Dimas mengangguk mengiyakan. Hal tersebut lantas membuat Revan menatap tajam sahabatnya itu.

"Kenapa elo harus ngajak dia, Dim?"

Dimas terkekeh kecil menatap Revan yang seakan menusuk.

"Santai, Van. Gue cuma pengen kenalan. Selama ini kita belum menyambut baik tuh Anak, kan?"

"Apa itu harus?"

Nada suara Revan tetap terjaga. Namun, Dimas bisa merasakan tajamnya setiap kata yang keluar dari mulut laki-laki itu.

"Ya, gue rasa itu perlu kita lakukan."

Dimas tersenyum menjawab, sementara Revan semakin tajam manautkan kedua alisnya. Walau tak berapa lama, hembusan napas kasar keluar dari mulut laki-laki itu.

Revan memilih mengalihkan pandangannya.

Bagaimana pun bukan ia si pemilik acara, Dimas boleh melakukan apa pun yang ia mau. Termasuk siapa saja yang boleh dan tidak untuk ikut pergi bersamanya.

"Man, lo bisa bantu gue kan?"

***

Beberapa menit berlalu tidak ada yang memulai percakapan di antara keduanya. Revan beberapa kali menyisir rambutnya ke belakang dengan jari tangannya, seperti tengah merangkai kata untuk di ucapkan kepada Anna.

Niatnya datang ke cafe sepulang sekolah hanya untuk menanyakan sesuatu yang membuatnya gelisah sejak tadi.

Sementara, Anna tampak menatap khawatir Revan karena laki-laki itu tak kunjung mengatakan sesuatu.

"Kamu, bener mau ikut ke Dufan?"

Tanya Revan akhirnya membuat Anna mengeryit. Menaikan sebelah alisnya itu.

"Loh... iya, kan? Bukannya tadi kamu juga udah oke."

Revan terdiam sejenak. Kedua bola matanya menatap gadis itu intens.

"Kamu, yakin?"

Anna terkekeh kecil.

"Kamu kenapa sih, Van? Kamu kok nanya itu mulu."

Revan memejamkan matanya sekilas.

Sial!

Ada apa dengan dirinya? Kenapa ia mendadak tidak ingin mereka ikut? Apa ini karena Dimas yang berencana akan mengajak Leo pergi?

Sebenarnya apa yang ia takutkan dari laki-laki itu?

Toh, bukankah ia yang bersama gadis ini pada akhirnya. Dan, seketika Revan pun sadar. Jika ia tidak pergi hanya karena laki-laki itu. Itu artinya, dia termasuk laki-laki yang bermental cetek.

"Baby?"

Revan menatap kembali pada Anna yang memandang heran dirinya. Lantas laki-laki itu pun tersenyum menggeleng.

"Nggak, bukan apa-apa"

Menghembuskan napas pelan, Anna mengangguk. Tak lama, gadis itu memberanikan dirinya menyentuh ujung jari Revan karena sejak tadi ia melihat rasa gelisah di mata laki-laki itu. Dalam diam, ia tersenyum bahagia. Hatinya merasa menang. Lampu hijau sudah menyala. Kesempatan terbuka lebar-lebar.

Ia yakin, apapun yang membuat Revan gelisah sudah pasti ada sangkut paut dengan dirinya.

avataravatar
Next chapter