webnovel

9

"...bahkan untuk menutut hakku pun aku tak memilikinya... "

-Aila-

"... Apakah aku tak bisa memasuki duniamu itu?..."

-Gilang-

****

Tak ada yang bisa kuhindari semua berjalan dengan kemauan ayah, pernikahan ini benar-benar terjadi. Satu jam lalu

Mereka melakukannya sangat bahagia didepan publik sedang aku sangat tau bahwa itu semua hanyalah sandiwara. Mereka terpaksa agar tidak menanggung malu atas sikap kekanak-kanakkan kak Siska.

Terlihat ayah selalu tersenyum saat satu persatu rekan bisnisnya datang menyapa dan mengucapkan selamat. Ayah terlihat sangat bahagia diujung panggung sana didekatnya terdapat ibu Miranda yang selalu menampakkan senyum menawannya jika para tamu sosialitanya datang menyapa juga.

Dekorasinya sangat mewah, bahkan baju yang sedang kugunakan adalah hasil desain perancang terkenal yang dipilih langsung oleh Siska tetapi nyatanya bukan dia yang memakainya tapi aku. Aku sedikit merombaknya dengan meminta agar gaun pengantin ini bisa digunakan dengan berjilbab.

Para tamu benar-benar menikmatinya, rasanya aku ingin berteriak marah atas ketidakadilan ini. Sebernarnya aku sedikit menyadari mereka bahkan tulus mengucapkan atas pernikahan ini tetapi tetap saja. Ini semua adalah sebuah permainan dan aku adalah korban atas keegoisan Kak Siska.

Andai, aku tau semua berakhir aku yang menjadi korban maka lebih awal aku akan menentang saat prosesi lamaran itu. Melarang kak Siska menerimanya.

Aku menghela napas lelah, takdir apa yang sedang bermain sekarang. Permainan apa yang sedang semesta perlihatkan padaku sehingga akupun bingung memecahkan teka-teki yang ada. Harusnya aku menentang bahkan memberontak tapi aku siapa? Bahkan untuk menuntut hakku saja aku tak punya.

Gilang...

Ia telah mengucapkan janji dihadapan allah, mengikrarkan sebuah janji Setia bersamaku. Entahlah ini kebahagian ataukah bencana dalam takdir. Bukankah tugasku disini hanya cukup mengkuti lalu pergi bersama keluarga Gilang meninggalkan beribu kenangan bunda dirumah itu.

Mataku mengerjap beberapa kali berusaha membendung air mata agar tak merusak make up yang telah dibuat oleh para perias itu selama 3 jam lamanya.

"Kau kenapa Aila?"

Aku menoleh menemukan seseorang dengan setelan jas silver khas pernikahan. Ya dialah suamiku. Mungkin gelagatku membuat perhatiannya teralih dari ribuan tamu yang datang.

Tentu saja ribuan tamu, pernikahan ini tetap berjalan sesuai yang mereka tau sedang nyatanya pengantin wanita yang sedang berdiri disini adalah pengganti. Aku hanyalah pengganti penutup malu keluarga ini.

Aku kembali tersentak saat mengingat pertanyaan Kak Gilang tadi. Apakah dia benar-benar perhatian ataukah hanya sandiwara seperti keluargaku yang lainnya.

"Enggak papa. Cuman sedikit capek, tamunya banyak banget, kapan kurangnya yaa?"tepat setelah aku mengucapkan itu Gilang tertawa disampingku menampilkan lesung pipinya dan tentu saja menambah ketampanannya.

Tampan?

Hatiku tersentak, apa maksudnya?,apakah ini berarti hatiku mulai menerima Gilang tapi kenapa secepat ini?

"Aila, kau melamun dan mengabaikanku yang sadari tadi memanggilmu"bibirku baru saja ingin membalas gerutuan laki-laki disampingku tetapi kedatangan Aisyah membuatku menundanya.

"Kau datang, kukira dari sekian ribu tamu yang datang tak ada yang kukenali tetapi setelah kedatanganmu membuat moodku Bagus. Terimakasih telah datang menyemangatiku"ucapku sambil memeluk Aisyah dengan erat dan tentu saja kalimat terakhirku adalah bisikan agar Gilang tak mendengarnya

Dapat kulihat dari matanya Aisyah tersenyum tulus padaku. Ia hanya bergumam membalas ucapan terimakasihku lalu berjalan pergi agar tamu selanjutnya dapat bersalaman dengan kami

"Nanti saja setelah resepsi kau bisa menelponnya selama yang kau mau."Sepertinya Gilang cukup peka sehingga mengucapkan hal itu. Hatiku memang tak rela hanya berbicara sesingkat itu dengan Aisyah. Ada sedikit ke tidak ikhlasan dalam hatiku menatapnya menjauh

Kak asiyah adalah penyemangatku tetapi kenapa ia hanya datang sejenak, aku ingin dia disini menjadi penopangku agar aku merasa diinginkan disini. Ada yang menghargai dengan sangat nyata bukan sandiwara seperti ini.

****

"Jadilah perempuan baik-baik Aila, ayah harap kau tak mengecewakan ayah lagi"

Perkataan ayah tergiang dalam pikiranku, saat ini kami sedang perjalanan menuju rumah yang telah disiapkan orang tua Gilang. Katanya rumah itu telah resmi menjadi milikku dan Gilang

Hanya perkataan singkat dari ayah tanpa pelukan atau apapun itu sedangkan Ibu Miranda aku tak tau dia dimana. Ayah hanya mengucapkan itu lalu meninggalkanku terpaku sendiri di ballroom tempat diadakannya resepsi pernikahan ini

"Apa kau menyesal menikah denganku Aila?"lamunanku buyar seketika mendengar penuturan Gilang

"Tidak."hanya itu tak ada penjelasan apapun lagi. Otakku buntu mengenai pernikahan yang Seakan mimpi untukku

Jantungku berdetak kencang saat Gilang menarik jemariku dan menggenggamnya erat lalu ia menyandarkan kepalanya di pundakku. Dapat ku lihat dari mataku ia memejamkan matanya seakan menikmati momen yang sedang tercipta saat ini

"Cobalah menerima keadaan ini Aila, kuharap kau membuka diri padaku yaitu suamimu saat ini dan jangan lupakan satu hal bahwa psikolog adalah salah satu materi yang kukuasai dapat kulihat dari mataku. Jiwamu kemana?"

Psikolog...?

Salah satu banyaknya hal didunia, inilah kata yang paling tdk kusukai, mereka tau apa tanpa kita mengucap dapat membaca luka tanpa rentenan kata yang cukup panjang

"Aila, kumohon.. Runtuhkan tembok itu dalam dirimu sambutlah cahaya yang datang padamu jangan membuangnya lagi. Bangunlah. Buanglah kegelapan itu, kembalikan jiwamu pada tempat yang seharusnya... "

Perkataan Gilang terpotong saat supir mobil kami mengatakan kita sudah sampai. Sedangkan aku hanya diam membisu tidak menjawab perkataan apapun dari seseorang yang kini berstatus suamiku

Aku masih terpaku dan tepukan singkat kak Gilang pada bahuku membuat lamunan itu menghilang menatap kaku kearah laki-laki yang sedang berdiri didepanku. Menatapku seolah akulah bidadari terindah yang Allah kirimkan padanya.

Ia begitu menaruh banyak harap pada perempuan rapuh sepertiku. Matanya. Mata itu kenapa begitu cerah saat menatapku seperti ini sedang tatapanku padanya begitu hampa, tanpa tujuan, aku bahkan menganggap ini hanya ilusi dalam termenung.

"Aila, ayo masuk." kak Gilang menggengam jemariku dan membimbing ragaku keluar dari mobil.

.

..

..