6 Bagian 5. Mimpi 2 (1)

Bagian 5. Mimpi 2 (1)

Udara yang dingin dan kabut tipis menyelimuti pemandangan di hadapanku. Aku melihat kedua orang tuaku sedang berbincang-bincang dengan sepasang suami istri di depan mereka. Di belakang mereka, terlihat sepasang anak laki-laki dan perempuan sedang berdiri diam menunggu. Sepertinya mereka adalah anak dari suami istri tersebut.

Aku melihat Liveo,kakak laki-lakiku yang berada di sebelahku juga memandangi kedua bocah tersebut. Liv tiba-tiba mendekati mereka. Ia mengajak kedua bocah tersebut bermain bersama kami.

Perlahan, aku mulai menyadari bahwa saat ini kami sedang berada di taman bermain dengan begitu banyak wahana-wahana permainan di dalamnya. Kami sekeluarga sedang berlibur ke negeri tetangga. Sepertinya orang tuaku tanpa sengaja bertemu dengan teman lamanya disini. Kedua anak dari mereka rencananya akan ditinggal bermain bersama kami.

Liveo, kakakku saat ini berumur 14 tahun. Tampak seumuran dengan anak laki-laki itu. Sedangkan anak perempuan tersebut berumur 11 tahun. Lebih muda 1 tahun daripada aku. Orang tua kami meninggalkan kami untuk bermain sendiri disini. Mereka merasa kami sudah cukup besar untuk ditinggal sementara mereka berempat pergi ke kasino. Orang tua macam apa yang meninggalkan anak-anaknya bermain sendiri di taman bermain sekelas DuFan? Pikirku. Ya, mereka orang tuaku.

Kami berempat kini berada di depan pintu masuk taman. Hal pertama yang kami lihat adalah roller-coaster yang meluncur dengan sangat cepat di hadapan kami. Terdengar teriakan-teriakan para penumpang roller coaster setiap kali kereta wahana tersebut meluncur ke bawah.

'Glup', aku menelan ludah. Kami akan naik itu? Pikirku. Mungkin aku akan mencoba mengalihkan perhatian mereka ke wahana-wahana lain agar menghindari dari permainan berbahaya seperti itu.

"Yuk main itu!!" Liv menunjuk roller coaster dan mengajak kami untuk menaiki wahana roller coaster tersebut. Liv langsung berlari ke arah antrian panjang dari wahana tersebut.

Aduh, Sepertinya aku telat mengalihkan perhatian mereka. Raffles, anak laki-laki tersebut langsung menjawab tanpa ragu.

"Hayuk!! Sepertinya seru!" Ujarnya sambil berlari mengejar Liv.

Aku kembali terdiam. Aku melihat anak perempuan tersebut. Rose, anak perempuan tersebut tidak berkata apa-apa. Sepertinya ia takut untuk ikut naik wahana tersebut.

"Ayo,ikut!" Teriak Liv dari dalam antrian. "Kalian takut?" Tantangnya.

"Kalau takut pulang aja!" Tambah Raf.

"Nggak! Siapa takut?" Jawabku membantah mereka. Aku tidak ingin terlihat lemah di hadapan Ros. Malu dong kalau cowok terlihat lemah dihadapan cewek,pikirku. Aku menyusul.

Ros tidak berkata apa-apa, ia hanya berjalan perlahan dan ikut mengantri bersama kami.

Liv dan Raf terlihat sangat akrab. Mereka asyik mengobrol sambil menunggu antrian. Padahal mereka baru pertama kali bertemu. Sepertinya sifat Liv yang SKSD itu sangat berguna. Ia gampang mendapatkan teman. Apalagi mereka seumuran. Sementara Ros hanya berdiri di sebelahku dalam diam. Kami bahkan tidak berbicara sama sekali. Raut mukanya tampak sedikit pucat. Sepertinya ia sangat takut untuk ikut menaiki wahana ini. Tetapi ia tidak punya pilihan lain. Kalau tidak ikut bersama kami, ia takut akan ditinggal.

Perlahan-lahan antrian semakin berkurang dan sampailah pada giliran kami. Aku baru menyadari bahwa setiap unit kereta roller coaster disini hanya diperuntukkan untuk 4 orang saja. 2 orang didepan dan 2 orang di belakang.

Liv dan Raf langsung merebut 2 bangku terdepan sedangkan aku dan Ros duduk bersama di bangku belakang.

Ros duduk di sebelah kananku. Ia menatapku dengan tatapan takut. Aku hanya menyeringai sedikit. Aku tidak mau menunjukkan bagian lemahku di hadapan Ros. Aku tidak akan berteriak ataupun terlihat takut pada saat kereta ini terjun nantinya, pikirku. Liv dan Raf asyik mengobrol berdua di bangku depan kami tanpa sedikitpun menunjukkan perasaan takut.

Kereta kami mulai bergerak. Perlahan-lahan, kereta kami mulai mendaki puncak tertinggi dari wahana ini. Kereta terhenti sebentar di puncak roller coaster. 'GLUP', Aku menelan ludah. Aku melirik ke arah Ros. Ros memejamkan matanya sekuat tenaga. Tangannya mencengkram erat pegangan besi di depannya. Tiba-tiba kereta kami terjun dengan begitu cepatnya. Nyawaku seakan masih tertinggal di puncak rollercoaster. Sedangkan tubuhku sudah ikut meluncur kebawah. Tekanan angin yang sangat kencang menerpa wajah kami.

"AAAAAHHH!!!" aku berteriak tanpa dapat menahan diri lagi. Niatku untuk stay cool hilang. Aku secara refleks berteriak.

Kereta kami tiba-tiba berbelok tajam dengan sangat cepat ke arah kanan. Tubuh Ros yang kecil terlempar kearahku. Rambut merahnya yang panjang mengenai wajahku. Tangan Ros yang semula ada di pegangan besi kini berpindah ke tanganku. Ros tidak berteriak sama sekali, ia hanya memejamkan mata sepanjang permainan.

Sekali lagi kereta kami terjun dengan cepat kebawah. Kali ini aku berhasil menahan diri untuk tidak berteriak. Perhatianku teralihkan. Tangan kiri Ros mencengkram tanganku dengan kencang. Setelah beberapa kali belokan tajam dan turunan, akhirnya Kereta kami berhenti.

'Huff' aku menghela napas panjang. Aku baru pertama kali menaiki roller coaster. Cukup mengerikan. Seharusnya Ros tidak menyadari kalau aku sebenarnya ketakutan tadi.

Liv dan Raf melihat kearah kami dari bangku depan. Tanganku dan tangan Ros masih berpegangan. Mereka kemudian saling bertukar pandang dan tertawa. Aku tidak memperdulikan tawa mereka. Akhirnya Ros melepaskan genggamannya.

Kami melanjutkan pertualangan kami di taman ini dengan permainan yang lebih ringan. Liv dan Raf selalu berjalan bersama, sedangkan Aku dan Ros hanya mengikuti kemanapun mereka pergi. Di hadapan kami sekarang, terlihat rumah cermin. Liv dan Raf langsung masuk ke dalam rumah tersebut meninggalkan kami.

Rumah cermin ini tidak ada antriannya. Aku dan Ros tanpa basa-basi langsung ikut masuk ke dalam menyusul mereka. Rumah cermin ini merupakan labirin dalam rumah dimana semua cermin-cermin disusun membentuk jalan yang sedikit tricky. Ruangannya pun dibuat gelap sehingga membuat siapapun yang masuk ke dalamnya akan kesulitan mencari jalan keluar.

Ros kembali menggenggam tanganku. Kami berjalan perlahan mencari Liv dan Raf sekaligus mencari jalan keluar. Ros memang tidak banyak bicara, tetapi dari caranya menggenggam tanganku, aku tahu ia percaya padaku. Aku tidak akan mengecewakan dia. Aku akan bersikap cool layaknya cowok tulen di hadapannya.

Dengan sigap aku menarik tangan Ros dan berusaha menuntunnya ke jalan keluar. "BRUKK!!", wajahku menghantam cermin di depanku dengan cukup keras. Wajahku terpental dan akupun terjatuh hingga terduduk di lantai. Aku tidak menyadari bahwa di depanku ada sebuah cermin. Niatku untuk staycool kembali pupus. Ros langsung tertawa terbahak-bahak. Ros yang sedari awal pertemuan kami terus-terusan diam, kini menunjukkan ekspresi bahagia dan menertawaiku. Aku menunduk malu.

Aku kembali bangkit dan menggenggam tangan Ros lagi.

"Ayo kita cari mereka pelan-pelan" ajakku.

"Iya.." jawabnya sambil tersenyum manis.

Akhirnya aku bisa melihat wajah Ros yang tersenyum manis.

Kami mencari jalan keluar perlahan-lahan. Di sekelilingku hanya terlihat pantulan bayanganku dan Ros di cermin. Sepertinya kami tersesat. Kami tidak menemukan jalan keluar. Setiap potongan jalan sudah kami lewati dan tidak ada jalan keluar. Aku yakin sudah mengarungi setiap tikungan. Aneh,pikirku. Tidak ada jalan menuju keluar. Semuanya buntu.

Setelah berkeliling tanpa arah selama beberapa saat, aku pun bersandar di salah satu cermin untuk beristirahat. Tiba-tiba, cermin di belakangku berputar. Dan 'BRUK!!' Lagi-lagi aku terjatuh hingga terbaring menghadap ke langit-langit. Ros kembali menertawaiku. Rupanya jalan keluar dari rumah cermin ini adalah cermin yang berputar ini. Aku beruntung menemukan jalan keluarnya. Akses keluar dari rumah cermin kini sudah di depan mata. Ros kembali menggenggam tanganku dan kami pun keluar bersama dari Rumah cermin ini.

Liv dan Raf sudah menunggu di depan. Mereka tertawa cengengesan menatap kami. Kali ini, Ros tidak melepaskan genggaman tanganku. Kami terus bergandengan tangan sambil mengikuti kemanapun Liv dan Raf pergi.

avataravatar
Next chapter