Puncak dari rasa sakit adalah kehilangan. Namun, Puncak dari kehilangan itu sendiri adalah mengikhlaskan. Tuhan sudah merencanakan takdir manusia. Siapapun tidak bisa lepas darinya sejauh apa ia pergi dan sejauh apa dia berlari. Aksara tau, tuhan sudah melukiskan sebuah takdir dengan apiknya jauh sebelum ia lahir. Tapi bisakah ia mengeluh? Bisakah ia berkeluh kesah pada tuhan. Aksara tau, banyak orang yang lebih buruk keadaannya dibandingkan dirinya. Tapi untuk saat ini, tolong biarkan Aksara mengeluh sekali saja. Tuhan memang maha baik, jadi tolong ijinkan ia mengeluh. Meratapi apa yang sudah terjadi. Hidupnya yang sudah mulai tertata, bak bangunan megah dengan pilar pilar tinggi menjulang, roboh dalam satu kedipan mata. Semuanya pergi satu persatu. Meninggalkan Aksara dalam sendu sembiru badai gelombang kehidupan yang mungkin tak berkesudahan.
Aksara Haidar Adyatma, putra bungsu abah Gumilang Adyatma dan ibu Laela Nurlela. Lahir di Jogja dalam persalinan normal tanpa kendala yang berarti.
Kata abah, keluarga besar Adyatma sudah menanti anak terakhirnya sebagai seorang bayi yang cantik, seperti hasil USG yang terakhir kali ibuk lakukan. Tapi mungkin, Aksa memang ingin memberi kejutan kepada keluarga besar sehingga lahir dengan jenis kelamin laki-laki.
Sebenarnya dulu ibuk tidak ingin menambah anak lagi, tiga anak yang sudah kurang ajar sejak dini cukup membuat ibuk darah tinggi di usia muda. Tapi, karena rengekan Arjuna—si bungsu pada masanya—dan desakan putra sulungnya—Yudhistira—akhirnya ibuk pasrah.
Abah Gumilang itu orang jawa tulen. Tidak cocok jika menggunakan bahasa Indonesia, medok. Sedangkan ibuk asli Bandung, berdarah murni sunda, tapi beliau di besarkan di Jogja, juga menjadi tempat di mana abah dan ibuk bertemu dulu. Maka jangan heran jika Yudhistira dan adik-adiknya lebih mahir berbahasa Jawa di bandingkan berbahasa sunda walaupun sudah nyaris 15 tahun hidup di Bandung.
Yudhistira Anjening Adyatma atau Mas Yudhis—begitu Bima, Juna dan Aksa memanggilnya—usianya dua puluh dua, sekarang masih kuliah di ITB jurusan arsitektur. Katanya sih ingin menjadi arsitek seperti yang selalu diucapkannya ketika masih duduk di bangku sekolah. Sudah masuk semester akhir tapi masih linglung jika di tanyai tentang skripsi. Jangan tanya soal asmara pada pemuda itu, karena Mas Yudhis itu cupu—itu kata Juna—maka dari itu ia masih betah menjomblo hingga sekarang. Wong bertemu perempuan saja masih sering gerogi.
Anak kedua namanya Ambimanyu Argan Adyatma, usianya duapuluh satu. Sering dipanggil Mas Abim oleh adik-adiknya, tapi abah dan ibuk memanggilnya Bima. Mahasiswa jurusan hukum, satu kampus dengan kakak dan adik pertamanya. Semena-mena dan suka berteriak-teriak di rumah. Galak terutama pada Arjuna, karena semua penghuni rumah saja tau, Mas Abim dan Juna itu tidak pernah bisa akur, ada saja yang di ributkan. Awal mulanya adalah ketika Arjuna mengaku naksir Amanda si anak kedokteran yang ternyata gebetan Mas Abim. Padahal, Amanda dengan terang-terangan menyukai Mas Yudhis.
Anak ketiga abah dan ibuk namanya Arjuna Dhilan Adyatma, Aksa sering memanggilnya Juna, susah jika di suruh memanggil dengan embel-embel mas atau Aa. Percuma, toh usia mereka hanya terpaut dua tahun, katanya. Usianya sekarang sembilan belas, kuliah juga di kampus yang sama dengan kedua kakaknya, tapi dengan jurusan kedokteran. Berbeda dengan Mas Yudhis yang cupu soal percintaan, Arjuna ini sudah khatam soal tabiat perempuan dan antek-anteknya. Sudah hafal diluar kepala tentang gombalan receh khas anak muda. Tapi anehnya, Arjuna juga masih betah menjomblo sampai sekarang. Katanya sih, belum ada yang cocok. Padahal aslinya masih meratapi nasib gadis ayu pujaannya jatuh hati pada kakaknya sendiri.
Dan sekarang, si tokoh utama dalam kisah ini. Namanya Aksara Haidar Adyatma. Orang-orang memanggilnya Aksa, tapi orang rumah sering memanggilnya Sarah. Usianya tujuh belas dan masih kelas sebelas sekarang, mengambil jurusan MIPA karena Aksa suka biologi, walaupun sebenarnya ia lebih suka bahasa. Aksa itu bukan orang pendiam, hanya saja kelewat malas, termasuk malas berinteraksi dengan orang-orang di luar lingkup pertemanannya. Bahkan Juna sudah angkat tangan mengenai kemalasan adiknya satu itu. Jangan berharap dengan Yudhistira, pemuda itu hanya akan haha hehe sembari menonton perdebatan kedua adiknya. Atau Abimanyu yang justru akan semakin mengompori.
Secara fisik, Adyatma bersaudara tidak mempunyai kemiripan yang berarti. Mas Yudhis itu mirip abah, Mas Abim dan Arjuna mirip sekali dengan ibuk sedangkan Aksara tidak tau mirip siapa.
Karena itulah Mas Abim dan Arjuna selalu mengejeknya, mengatakan jika Aksa sebenarnya adalah anak pungut yang di temukan abah saat pulang kerja di kolong jembatan. Aksa di buat ngambek seharian oleh kedua anak itu.
Mas Yudhis bukannya membujuk adiknya malah tertawa dan ikut serta dalam upaya penggodaan adiknya bersama Abimanyu dan Arjuna. Intinya, Aksa itu paling sering terbully, sering di jadikan babu oleh kakak-kakaknya. Dan paling parah sih sering di jadikan kambing hitam oleh Mas Abim dan Arjuna ketika sifat jahil kedua kakaknya mulai meronta. Menyebalkan.