Taishi diangkat menjadi raja Kerajaan Air sejak umurnya 9 tahun setelah ayahnya meninggal dan saat umurnya 16 ia akan menjadi raja penuh setelah dia menikah. Sementara menunggu ia dewasa, kekuasaan dipegang Paman Wan, sang perdana mentri yang ambisius dan melakukan banyak kejahatan mengatasnamakan sang raja muda. Kehidupan sepi di dalam istana tanpa orangtua dan teman membuat Taishi bertekad untuk pergi. Ia tak sabar menunggu tibanya perayaan pergantian abad saat pengawasan melemah dan ia bisa meninggalkan kehidupan di istana yang seperti penjara. Ia bertualang seorang diri dengan menyamar sebagai rakyat biasa, mencari ibunya yang pergi meninggalkan istana 15 tahun lalu. Ia tak mengira reputasinya sebagai raja di luar istana sangat buruk dan hatinya tersentuh melihat betapa rakyat hidup sangat menderita di bawah tekanan para pejabat dan perdana mentri yang korup. Taishi kemudian harus memilih antara hidup tenang sebagai rakyat biasa bersama gadis yang ia cintai, atau kembali ke istana dan menikah dengan putri pilihan perdana mentri agar bisa mengambil kekuasaan demi cintanya kepada rakyat. NB: Cerita ini saya saya hentikan sementara karena saya ingin fokus menyelesaikan novel "The Alchemists". Mohon bersabar ya ... ---------- Follow FB Page "Missrealitybites" untuk ngobrol dengan saya tentang novel-novel saya: 1. The Alchemists 2. Ludwina & Andrea 3. Katerina 4. Glass Heart : Kojiro - Nana 5. 1912-1932 6. Altair & Vega 7. Kisah dari Kerajaan Air
Hari itu langit sangat cerah. Awan kecil-kecil berarak di angkasa membuat panas mentari tidak terlalu menyengat. Benar-benar saat yang tepat untuk duduk beristirahat menikmati pemandangan di bukit Jingga, yang penuh dengan bunga itu.
Dari atas sebuah pohon Soka yang besar terdengar alunan suara seruling dengan lagu riang seperti mengajak seluruh alam menari ria. Peniupnya adalah seorang anak laki-laki berusia hampir 13 tahun. Wajahnya tampan kemerah-merahan dengan rambut panjang yang diikat dengan pita kuning.
Di sebelahnya ikut bertengger seorang wanita yang cantik sekali dan tampak jauh lebih muda dari usia sebenarnya. Wajahnya riang dan matanya yang bulat bersinar-sinar kekanakan. Tak henti-hentinya ia memuji permainan seruling anak laki-laki itu.
"Kau semakin mirip dengan ayahmu bila sedang bermain suling begitu…" Wajahnya yang ceria tiba-tiba berubah murung. "Tapi ia tak pernah memainkan lagu gembira untukku.. Aah! Laki-laki tak berperasaan..! Aku benci padanya…!"
Anak laki-laki itu menghentikan permainan serulingnya dan menoleh pada wanita di sebelahnya.
"Ibu tak boleh bicara seperti itu…" Ia mengedip nakal. "Mengakulah … Ibu kan sangat mencintainya!"
Sang Ibu menatap padanya lalu tersenyum kecil.
"Ah, Kimsan…kau selalu tahu isi hatiku… Baiklah, aku akan mengaku. Aku, Saiya sangat mencintainya.. tidak…aku teramat sangat mencintainya… Walaupun ia tak berperasaan ..."
Mereka saling pandang lalu tertawa jenaka. Senyum keduanya sangat mirip.
"Ah, sudahlah … aku lapar. Kita ke kota, yuk.. makan di restoran besar. Hari ini aku ingin makanan mahal…"
Saiya melompat turun dari dahan pohon itu diikuti Kimsan. Langkah mereka terlihat begitu ringan saat menjejak tanah.
"Kita bertanding, siapa yang paling lama sampai ke Kotaraja harus menggendong yang lainnya!" teriak Kimsan sambil berkelebat cepat menuju Barat. Ibunya tak mau ketinggalan segera menyusul.
"Baik! Kita lomba sampai gerbang Kotaraja!"
Bagaikan dua bayangan yang saling susul menyusul, Saiya dan Kimsan berlari cepat ke arah Barat. Kurang dari satu jam pintu gerbang Kotaraja telah kelihatan di depan. Masing-masing mengerahkan segenap tenaganya mencapai gerbang itu.
"Yang pertama melompati gerbang dia yang menang!" teriak Kimsan. Saiya mengangguk. Dalam hati ia sudah menyiapkan rencana untuk mengalahkan anaknya.
"Hei! Serulingmu terjatuh..!" teriaknya tepat di muka gerbang.
Kontan Kimsan berhenti untuk memeriksa apakah seruling yang ia taruh di ikat pinggang benar-benar jatuh, Saiya langsung menggenjot tubuhnya melayang tinggi dan mendarat di bagian dalam gerbang.
Pengawal-pengawal gerbang terkesiap, mereka melihat sebuah bayangan melompat dan seorang anak laki-laki berhenti tiba-tiba di dekat mereka.
"Siapa kau?" bentak seorang prajurit yang menjadi pimpinan di situ. Kimsan tidak mendengar sama sekali. Ia menggerutu karena ditipu ibunya.
"Ah, Ibu curang… Terpaksa, deh, aku harus menggendongnya…"
HUP!
Ia pun melentingkan tubuhnya menyusul Saiya masuk ke dalam kota. Prajurit-prajurit pengawal gerbang hanya ternganga tanpa dapat berbuat apa pun.
"Hahaha …sekarang kau harus menggendongku..!" seru ibunya tertawa gembira.
Kimsan cemberut, ia tak bisa marah karena mereka memang menetapkan untuk memenangkan pertandingan dengan taktik apa pun. Sebelum ini mereka sering main perang-perangan, dan ibunya memaksa ia berpikir keras mencari strategi-strategi jitu untuk menang.
Mereka masuk Kotaraja dengan gembira, mencari-cari rumah makan yang bagus. Di sebuah penginapan sekaligus restoran besar, mereka pun singgahlah. Nama tempat itu adalah Kebun Seroja dan keadaannya baik sekali, pengunjungnya ramai dan bangunan yang bertingkat itu memiliki beberapa meja di balkon hingga terasa lebih sejuk dan dapat melihat pemandangan.
Saiya dan Kimsan mengambil salah satu meja di balkon itu dan memesan makanan yang enak-enak. Sambil makan mereka melihat lalu-lalang orang di bawah mereka dan berbincang-bincang.
"Ayo, Ibu … ceritakan lagi tentang ayah… Aku kan sudah lupa."
Saiya mengerutkan keningnya sejenak, merenung, lalu mulai bercerita.
"Hmm ... Wajahnya…menurutku mirip sekali denganmu… Ia pun suka meniup seruling, tapi selama yang kudengar saat bersamanya, lagu yang ia mainkan sedih terus seolah menyatakan ketidakbahagiaannya bersamaku.. huh. Kau akan heran, Kimsan … dia orangnya sangat serius dan keras, tidak seperti ibumu yang cantik dan periang ini…"
Saiya mengerjap-ngerjapkan matanya menahan air bening di sudutnya.
"Eh..hehe.. pertama kali aku melihatnya di rumahnya yang besaaar … dan bertaman indah. Usiaku baru 12 tahun. Aku dibawa ayahku ke rumahnya untuk urusan perang, aku kebosanan lalu memainkan layang-layangku di taman. Tiba-tiba layanganku putus… aku kejar hingga sampai di telaga … dan kulihat anak laki-laki itu memegangi layanganku… Aku takut ia akan merusaknya lalu kumarahi dia. Hei... dia malah tertawa gembira…tampaknya ia senang kumarahi… Tentu saja kuanggap dia gila … aku lalu berlari menjauhinya…"
Kimsan tersenyum. Ia sudah sering mendengar bagian ini tapi ia tak bosan karena setiap kali ibunya punya cara baru untuk menceritakannya.
"Lalu bagaimana selanjutnya?"
"Ibu bertemu lagi dengannya beberapa tahun kemudian … ternyata ia melarikan diri dari rumah dan hidup mengelana ke seluruh negeri menjadi pengamen bersama seorang anak perempuan dan kakeknya yang buta… Nah, di situlah Ibu jatuh cinta padanya.
"Lalu ? Kalian menikah, bukan? Dan lahirlah aku…" tanya Kimsan lagi dengan penuh semangat.
Saiya tersenyum. Ia mengangguk-angguk. "Itu benar…"
Mereka meneruskan makannya. Kimsan tiba-tiba merasa sedih karena itu ia diam saja, tak bertanya lagi. Sering ia minta diceritakan tentang ayahnya berharap suatu ketika Saiya akan kelepasan bicara dan menyebutkan namanya… Ternyata hal itu tidak pernah terjadi.
Saiya selalu berkata ia bisa menangis tersedu-sedu bila nama itu disebutkan karenanya Kimsan tak pernah mendesak, walau pun dalam hati ia sering bertanya-tanya kenapa Ibunya bersikap demikian.
Sejak ia masih kecil sekali Kimsan ingat ia pernah memiliki seorang nenek yang meninggal waktu ia mulai pandai berlari. Sejak saat itu Ibunya tak pernah tinggal di satu tempat, selalu mengembara dan mendidiknya keras sekali dengan ilmu pedang dan bela diri. Tapi beliau amat baik hati dan sayang padanya hingga Kimsan tak pernah menganggap hidupnya menderita.
Mereka selalu berbagi dan saling mengasihi sebagai sahabat. Rasanya Kimsan sanggup hidup tanpa ayah bila Saiya selalu di sampingnya. Ia sendiri memang tak tahu apakah ayahnya sudah meninggal atau masih hidup, kadang-kadang ia tergoda untuk mencari tahu…
Tempat yang paling sering dikunjungi Saiya dan Kimsan adalah sebuah kota kecil di selatan, kota yang sangat disayangi oleh Saiya. Mereka bisa tinggal di situ sampai sebulan penuh, dan tempat yang Taishi ingat hanya didatangi sekali setahun adalah Kotaraja. Berarti … kota yang paling di benci Saiya?
Mereka biasanya hanya berjalan-jalan dan bersenang-senang seharian lalu meneruskan perjalanan keluar dari Kotaraja.
Oh, ya, ada satu hal lagi yang diingat Kimsan. Ibunya pasti mengunjungi sebuah tugu makam di Kotaraja. Makam yang sangat megah dan diapit oleh dua patung harimau putih.
Sedikit banyak tentulah orang yang dimakamkan di situ mempunyai hubungan erat dengannya. Saiya selalu bercucuran airmata saat berkunjung ke situ.
Ayahkukah…? pikir Kimsan. Saat ia menanyakannya pada Saiya, Kimsan tak mendapat jawaban apa pun. Mungkin memang dia, pikirnya sedih. Biarlah, toh, Kimsan tak mengenalnya sejak lahir sampai kini… Apa beda dengan mengetahui bahwa ayahnya telah mati…
"Hei, Ibu lihat, di bawah ada keramaian…" Suara-suara orang dari jalan membuat Kimsan terhenyak dari lamunannya. "Ada apa kira-kira, ya?"
Saiya ikut melongok ke bawah dan mendapati kerumunan orang dekat tembok yang berbicara dengan riuh.
"Pelayan! Apa yang sedang terjadi?" Ia mengangkat uang perak di tangannya dan seorang pelayan tergopoh-gopoh datang.
"Eh, anu .... Nona, ada pengumuman dari istana… Untuk memperingati hari ulang tahun Baginda, pajak dihapuskan selama tiga bulan…" Ia menerima uang perak dari tangan Saiya dengan gembira.
"Er ... malah saya dengar, kabarnya Raja negeri Gojo akan datang untuk memberi selamat ke istana sekaligus membawa adik perempuannya untuk dijodohkan pada Baginda…"
Wajah Saiya tiba-tiba menjadi pucat.
"Kenapa Ibu? Kau sakit?" tanya Kimsan yang kuatir melihat perubahan ekspresi ibunya.
"Uhk..! Ibu tersedak tulang ikan ... uhk..uhk.. Nah, sudah beres sekarang.." Saiya minum air tehnya lalu tertawa kecil. "Bodoh … aku tersedak sampai airmataku sampai keluar…"
"Makanya, jangan rakus, kalau makan ya pelan-pelan…" Kimsan menepuk-nepuk punggung ibunya, "Sudah baikan, Bu?"
"Sudah..! Sudah..jangan dipukuli lagi … Punggungku bisa memar kaubuat.."
"Maaf, deh.." Kimsan tertawa gembira. Semula ia mengira ibunya pura-pura tersedak untuk menyembunyikan airmatanya yang tampak muncul, tapi kalau ibunya bisa bercanda seperti itu tentu tidak ada apa-apa. "Hei, Ibu ... lihat! Di bawah ada pengamen..! Kita lihat, yuk..!"
Tanpa menunggu jawaban ibunya, Kimsan melompat terjun dari balkon tinggi itu. Saiya tak punya pilihan selain mengikutinya. Cepat ia membayar makanannya lalu melompat ke bawah.
"Hei, anak nakal! Tunggu aku!"
Pelayan itu ternganga mulutnya melihat perbuatan mereka. Dari awal ia sudah keheranan pada orang-orang itu. Jarang ada perempuan dan anak kecil bepergian tanpa seorang laki-laki dewasa sebagai pelindungnya.
Lalu … seingatnya tak ada ikan dalam makanan yang mereka pesan, kenapa bisa tersedak tulang ikan? Ada-ada saja perempuan tadi, pikirnya.