webnovel

Belajar Menulis

Taishi sengaja mengalah saat mereka sudah dekat sungai agar Teratai memenangkan perlombaan lari mereka. Dengan napas terengah-engah anak perempuan itu buru-buru mengisi air di bumbung bambunya dan berlari kembali ke pinggir hutan menemui Kakek Han.

Taishi hanya melihat saja tingkah gadis itu sambil tersenyum kecil. Ia juga mengisi bumbung bambunya dengan air lalu menyusul Teratai.

"Aku menang!! Apa hadiahnya?" tanya Teratai sambil mengulurkan tangannya ketika Taishi tiba, pura-pura kelelahan dan berjalan pelan menggotong bumbung airnya.

"Iya, iya ... kau menang. Aku punya hadiah untukmu," kata Taishi. Ia menaruh bumbung bambunya di tanah lalu mengeluarkan seikat bunga liar yang tadi ia petik dalam perjalanan dan sembunyikan di balik punggungnya. Teratai tampak terkesima dan menerima bunga darinya dengan penuh semangat.

"Ahhh ... indah sekali. Kau ambil ini dari mana?" tanyanya sambil menghirup bau wangi bunga di tangannya.

"Di padang rumput yang kita lewati tadi kok," kata Taishi heran, "Kau tidak lihat?"

Teratai menggeleng. "Aku tadi tidak memperhatikan sekeliling."

Taishi mengangkat bahu. Ia menyayangkan Teratai yang terlalu sibuk dengan pikiran-pikiran bagaimana mereka dapat bertahan hidup sehingga ia memang tak pernah memperhatikan keindahan yang ada di sekelilingnya.

Berbeda dengan Taishi, matanya jeli melihat hal-hal menarik di sekelilingnya, apalagi karena ia dididik di istana dengan kehalusan seorang bangsawan.

Bagi rakyat miskin, tanaman yang tidak bisa dimakan tidak ada gunanya. Bagi seorang Taishi, angin yang bertiup, bunga-bunga yang melambai, gemericik air sungai, semuanya menampilkan keindahan tersendiri dan perasaannya sangat peka menangkap itu semua.

Ia lalu duduk di samping Teratai yang mulai menyiapkan kayu bakar untuk memasak makanan dan membantu gadis itu meniup api agar membesar. Keduanya mengobrol tentang cara terbaik memasak nasi dan bagaimana mereka bisa menjerat kelinci untuk menambah lauk.

"Aku tidak bisa menjerat kelinci," keluh Taishi. Ia membayangkan daging kelinci bakar tentu akan enak sekali dimakan di saat ia sedang kelaparan seperti ini. Sudah lama ia tidak menikmati makanan enak seperti di istana dan ia mulai rindu.

"Aku bisa," kata Teratai sambil tersenyum. Ia mengaduk nasi yang sudah hampir mendidih lalu menyerahkan sendok kayunya kepada Taishi. "Kau aduk terus nasinya agar tidak gosong. Aku akan mengambil jerat dari buntalan pakaianku."

Taishi memperhatikan Teratai yang cekatan mengeluarkan tali-temali dan beberapa potongan bambu dari buntalan perbekalan mereka, sambil ia mengaduk nasi yang mereka masak agar matangnya rata.

Tidak sampai sepuluh menit, Teratai sudah mengangkat dua buah jerat dengan wajah gembira dan memamerkannya kepada Taishi. "Seorang pemburu yang baik hati mengajariku cara membuat jerat. Memang tidak selalu berhasil sih, tapi kalau beruntung kita bisa mendapatkan kelinci atau hewan kecil lainnya."

Taishi tampak sangat tertarik melihatnya. Teratai memberi tanda agar Taishi mengikutinya dan anak laki-laki itu menurut setelah memastikan adukan nasinya sudah pas.

Mereka mencari beberapa liang yang dicurigai Teratai sebagai sarang kelinci lalalu menyembunyikan dua buah jerat di sana, lalu Teratai menaruh sedikit sayuran di atasnya.

"Kelinci akan tergoda sayuran ini, dan kalau mereka melangkah untuk memakannya, jeratnya akan mengikat kaki mereka. Besok pagi kita bisa periksa apakah jerat ini berhasil menangkap kelinci atau tidak. Tapi sementara itu, malam ini kita makan nasi kepal saja dulu," kata Teratai sambil senyum lebar.

"Kau hebat sekali!" puji Taishi tak henti-hentinya. "Kau harus mengajariku membuat jerat."

"Besok ya, sekarang kita makan dulu."

Keduanya lalu kembali pada nasi yang sedang mereka tanak. Setelah nasinya matang dan mulai dingin, Teratai mengeluarkan kantung berisi garam dan bumbu lainnya, lalu mulai membuat nasi kepal. Ia menyajikan 6 buah nasi kepal untuk mereka bertiga.

Taishi makan dengan sangat lahap. Walaupun hanya diberi bumbu garam, rasanya nasi kepal buatan Teratai enak sekali. Ia berkali-kali mencuri pandang ke arah gadis itu saat Teratai sedang sibuk dengan alat musik, pakaian, atau jeratnya.

Gadis itu seusia dengannya dan berpenampilan amat sangat sederhana, tetapi kecantikannya yang luar biasa tidak dapat disembunyikan di balik penampilan lusuh dan pakaian bututnya. Dalam hati Taishi membandingkan Teratai dengan putri-putri istana yang sering dilihatnya. Gadis itu jauhhh lebih cantik dari mereka.

Ia sungguh merupakan bunga liar yang tumbuh kuat di tengah padang.

Taishi bersyukur karena Kakek Han tidak dapat melihat, karena kakek tua itu pasti akan menangkapnya mencuri pandang diam-diam ke arah Teratai terus, dan Taishi akan menjadi salah tingkah.

"Teratai ... apakah kau dapat menulis?" tanya Taishi tiba-tiba saat mereka sudah membaringkan diri di rumput dengan beralaskan karung tua. Ia memutar tubuhnya menghadap ke arah Teratai yang berbaring di sampingnya.

Teratai menggeleng.

"Aku ini bodoh, tidak bisa menulis apalagi membaca ..." jawab gadis itu.

"Mau kuajari membaca dan menulis? Aku bisa." tanya Taishi lagi.

"Benarkah..?"

"Benar. Sebentar ya .. aku akan ambil arang dan batu. Kita akan mulai sekarang." Taishi bangun dan mengambil arang bekas ia memasak nasi tadi dan sebongkah batu besar untuk menulis.

"Ta ... tapi, kenapa buru-buru?" tanya Teratai keheranan. Ia ikut bangkit dari pembaringannya.

"Aku ingin kau cepat pintar," jawab Taishi.

Ia buru-buru duduk di sebelah Teratai dan menuliskan sebuah huruf. "Pertama kau harus menghapalkan berbagai jenis huruf."

Teratai keheranan melihat antusiasme Taishi, tetapi ia menurut saja. Ia tak pernah bermimpi suatu hari akan dapat belajar menulis. Sinar bulan purnama malam itu di atas kepala mereka memberi penerangan yang cukup bagi Taishi untuk mengajari Teratai mengenal beberapa huruf paling sederhana.

Taishi sangat puas melihat ternyata Teratai sangat mudah mengerti dan semangat belajarnya sangat tinggi. Kekagumannya kepada gadis itu semakin bertambah-tambah.

Next chapter