"Hoaah…selamat malam. Apa aku melewatkan sesuatu?"
Saiya melangkah keluar dari kabin sambil menguap lebar. Ia meregang-regangkan tubuhnya dan memandang langit. "Astaga…kenapa langitnya gelap sekali? Sepertinya akan ada badai…"
Semua baru memperhatikan bahwa memang demikian adanya. Angin pun mulai bertiup dengan sangat kencang.
"Paman… benarkah akan terjadi badai? Apa yang harus kita lakukan?" Kimsan menghentikan tiupan serulingnya. Tukang perahu menggeleng dan wajahnya menjadi pucat sekali.
"Aku tidak mengerti…. aku.. tidak tahu… Anginnya kencang sekali. Hal ini belum pernah kualami sebelumnya…"
Hujan turun dengan deras dan angin yang kuat membuat air sungai bergolak mengapungkan perahu itu dengan ganas. Dalam waktu sebentar saja badai telah menyapu daerah itu. Ketiga orang yang ada di dalam perahu menjadi kebingungan.
"Kimsan! Berpeganglah pada tepi perahu kuat-kuat!" jerit Saiya mulai panik. "Oh, tidak…kau tidak boleh mati semuda ini…"
Perahu itu terombang-ambing dengan keras dan ia hanya bisa menutup mata. Kimsan beringsut-ingsut mendekati ibunya dan bersama-sama memegangi tepian perahu sekuat mungkin. Keduanya basah kuyup oleh hujan dan terpaan air sungai.
"Ibu…mungkin kita akan mati…" Kimsan menyandarkan kepalanya ke bahu Saiya, bibirnya menggetar kedinginan. "…Bolehkah…bolehkah aku tahu…"
Saiya sudah bisa menebak apa yang hendak ditanyakan Kimsan, apalagi kalau bukan tentang ayahnya…
Saiya sudah bertekad akan membawa rahasia itu sampai mati… Sudah 13 tahun ia pergi meninggalkan Taishi dan rasanya tak mungkin untuk kembali lagi.
"Kita tidak akan mati… bertahanlah Kimsan…"
Tepat saat itu tiba-tiba saja perahu mereka dihantam sebatang pohon yang tumbang tersambar petir. Dalam sekejap perahu terbalik diiringi jeritan tiga orang penumpangnya. Untung sekali Saiya dan Kimsan berhasil berpegangan pada pecahan kapal yang sama.
"Ibu…aku tak bisa berenang… Ibu…!!" Susah payah Kimsan bertahan dalam deraan badai itu. "Gawat, papannya terlalu kecil untuk kita berdua… Kita akan tenggelam…"
Saiya mecoba berpikir keras cara menyelamatkan dirinya dan Kimsan, tetapi air terlalu deras, anginnya sangat kencang, dan papan yang mereka pegangi terlalu kecil untuk menahan mereka berdua. Tangannya mulai terasa pegal…
"…Kimsan…anakku…" Saiya memejamkan mata dan berusaha mencari kata-kata yang tepat, "Ibumu jahat sekali kalau terus menyimpan rahasia ini…"
"Apa Ibu…?! Katakanlah padaku…"
"Kau harus berpegang erat pada papan ini, Nak… Kau harus hidup dan mencari ayahmu…dia masih hidup…"
Kimsan terkejut. Ia selalu berpikir bahwa ayahnya telah meninggal dan kini ibunya hendak membuka rahasia itu di saat nyawa mereka terancam. Jantungnya berdebar-debar.
"Siapakah dia, Ibu…?"
"Dia adalah sang…" saat Saiya meneriakkan jawabannya, sebatang pohon yang hanyut dibawa air sungai menghantam pundaknya hingga pegangannya pada papan perahu menjadi terlepas. Kimsan terpekik panik, ia hampir melepaskan pegangannya ketika Saiya dengan susah payah berhasil memunculkan kepalanya ke permukaan dan berteriak. "Istana… Pergilah ke istana.. aakh..!!"
Kimsan menjerit ngeri menyaksikan ibunya timbul tenggelam beberapa saat lalu hilang ditelan air.
"Ibu …!!! Ibuuu …!!!"
Lalu semuanya menjadi gelap.
***
Kimsan membuka mata pelan-pelan dan merasakan kepalanya sakit sekali, bahkan seluruh tubuhnya terasa remuk.
"Kau sudah sadar, Nak?"
Kimsan menoleh ke samping dan mendapati sepasang suami isteri muda dengan dua anaknya yang berdiri dio samping bale-bale tempat ia dibaringkan, sedang memperhatikannya secara seksama. Kimsan menggeleng lemah.
"Siapa namamu?" Istri nelayan itu duduk di samping Kimsan dan meraba dahinya. "Kami menemukanmu terdampar di tepi sungai terbawa banjir semalam. Siapa namamu, Nak?"
Kimsan mencoba bangkit tetapi tubuhnya terlalu nyeri untuk digerakkan. Akhirnya ia menyerah dan mencoba bicara menjawab pertanyaan isteri nelayan yang baik itu.
"A..ku… Kim.. san.."
"Nah, Kimsan…di mana rumahmu? Siapa orangtuamu? Biar kami antarkan kau pulang kepada mereka…" Nelayan itu kembali bertanya.
Kimsan tiba-tiba teringat kembali peristiwa tadi malam dan hatinya menjadi sangat pedih.
Rumah ia tak punya … dan satu-satunya keluarga yang ia miliki telah meninggal dalam banjir itu.
Ooh… tidaak… Tidaaak…!!
Melihat Kimsan memejamkan mata dengan kesedihan luar biasa, suami isteri itu saling pandang. Tangan dan kaki anak lelaki itu tiba-tiba menjadi kejang.
"Aduh … seharusnya kau tak usah menanyakan hal semacam itu … Aku yakin keluarganya meninggal dalam banjir itu…" kecam istri nelayan itu pada suaminya. "Lihatlah keadaannya…"
Kimsan telah jatuh tak sadarkan diri kembali.
"Anak yang malang. Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Entahlah…dia harus dibawa ke tabib… Mungkin saja luka-lukanya akan menjadi parah…"
"Aku tahu. Kita bawa saja anak ini ke Tabib Wangsa. Beliau pasti dapat menyembuhkannya..!" seru si nelayan tiba-tiba. Istrinya mengangguk. "Ayo, Istriku…cepat siapkan pakaian dan barang-barang anak ini, akan kugendong ia ke rumah Tabib Wangsa.
Sepasang suami istri itu bergegas membawa Kimsan ke sebuah rumah besar dengan plang bertuliskan TABIB WANGSA.