webnovel

Bab 02 - Pria Misterius

Sekitar pukul dua belas malam, Seulgi dan Mingyu mendatangi kantor pusat keamanan. Ya, pertemuan keduanya belum berakhir sampai di TKP. Mereka masih harus memastikan sesuatu, memantau beberapa layar monitor yang sudah terhubung dengan beberapa cctv di berbagai tempat. Seulgi meminta tolong pada salah satu karyawan di sana untuk memutar ulang rekaman cctv yang merekam jalanan sepi itu.

Cctv berhasil diputar ulang, dipojok kanan atas layar salah satu monitor terlihat waktu menunjukkan pukul delapan malam. Di jam itu, Seulgi masih berada di bis, kebetulan bisnya juga melewati jalanan tersebut. Layar monitor masih menampilkan jalanan sepi tanpa pejalan kaki. Hingga pukul delapan lewat 15 menit, muncul seorang gadis berlari sembari menjinjing sepasang sepatu heels hitam.

Mingyu merekam layar monitor menggunakan ponselnya. Karena Seulgi dan Mingyu datang dengan tergesa-gesa, di antara mereka tidak ada yang membawa flashdisk untuk menyalin rekaman cctv tersebut.

Kembali ke rekaman cctv. Tak lama setelahnya, si pelaku muncul dari sudut kiri layar, berlari mengejar korban. Pelakunya terdiam di depan cctv yang terpasang di tiang lampu jalanan, lalu si pelaku mengambil sebuah batu kecil dan menoleh ke arah kamera.

Seulgi dan Mingyu maju selangkah lebih dekat pada layar monitor di hadapan mereka. Ketika keduanya sedang fokus memperhatikan, mereka terlonjak kaget saat si pelaku menimpuk kamera cctv. Layar tidak lagi memperlihatkan jalanan itu, tetapi hanya memperlihatkan garis hitam bergerak ke bawah dan atas.

Seulgi menarik napas panjang. "Jangan bilang ... Pelakunya selalu seperti ini?"

Mingyu mengangguk setuju. "Bisa jadi. Mungkin dia ingin melakukan pembunuhan itu dengan bersih, untuk menghilangkan barang bukti."

"Apa kau punya buku gambar dan pensil?"

"Ada, tapi kau harus ikut aku ke kantor. Setelah itu, aku akan membantumu mencari tempat tinggal."

"Kenapa harus begitu?"

"Karena sekarang kita adalah rekan kerja."

Jawaban itu membuat Seulgi terkekeh kecil. Baginya tak masalah, toh, kedepannya mereka akan sering bertemu di tempat kerja.

*****

Begitu sampai di kantor, Seulgi dan Mingyu bertemu dengan seorang pria berkaus hitam duduk di salah satu kursi di hadapan PC yang menyala sambil mengelap keringat. Pria itu juga tampaknya terluka kecil di bagian siku tangan.

"Ada apa denganmu?" tanya Mingyu pada pria itu.

Pria itu mengangkat kepala, kemudian menatap Mingyu yang datang bersama Seulgi. Pria itu menutupi sikunya dengan handuk kecil. "Tidak apa-apa, aku hanya habis berolahraga."

"Lalu, mengapa kau masih di sini? Bukankah semua orang sudah pulang?"

"Hanya ingin." Pria itu berpaling menatap Seulgi. "Yang di sampingmu, siapa dia?"

Seulgi sedikit menundukkan kepala. Ia memperkenalkan dirinya sebagai detektif yang akan menjadi rekan tim Mingyu. Pria itu beranjak dari tempat duduknya, melangkah mendekati Seulgi.

"Aku In Minho. Senang bertemu denganmu." Minho tersenyum lebar. Salah satu tangannya terulur, bermaksud mengajak Seulgi berjabat tangan.

Seulgi menerbitkan senyumnya. "Tentu, Detektif In."

Minho tersenyum kecewa melihat Seulgi tak menjabat tangannya. Ia menarik tangannya kembali. Minho beralih menatap Mingyu. "Apa boleh aku ikut bergabung dengan kalian?"

"Boleh saja, aku dan Detektif Han menunggumu di ruang diskusi."

Selesai menjawab pertanyaan itu, Seulgi dan Mingyu melangkah meninggalkan Minho di Unit 3 - Kasus Kekerasan. Sesampainya di ruangan diskusi, Mingyu menyodorkan buku gambar dan pensil, sesuai permintaan Seulgi sebelumnya. Gadis itu terpikir ingin mencoba menggambar perawakan tubuh si pelaku hanya dengan mengandalkan memori di otaknya.

Seulgi menatap selembar kertas putih di hadapannya. Tangan kanannya mulai bergerak, ia mencoba menemukan kejanggalan dalam kejadian tersebut. Saat ia menemukan korban tergeletak tak bernyawa, berkelahi dengan si pelaku. Sebentar, Seulgi memundurkan memorinya, memang ada satu kejanggalan saat Seulgi memegang kerah jaket si pelaku.

"Mungkin seperti ini." Seulgi menyodorkan hasil gambarnya.

Mingyu melihat secara seksama hasil gambar tersebut. Bola matanya berkedip-kedip setelah puas melihatnya. "Hei, kita ini sedang mencari pelakunya, bukan mencari sumo."

"Ini hanya ilustrasi. Maksudku, perawakan tubuh si pelaku gemuk, tapi ...." Seulgi menjeda perkataannya.

"Apa? Katakan saja."

"Tapi aku merasa ada yang aneh."

"Keanehan seperti apa?

Seulgi memejamkan mata. "Kurasa pelakunya tidak benar-benar gemuk. Saat aku membanting tubuhnya pun ... Tanganku terasa seperti memegang pakaian tebal. Padahal, pelakunya pakai jaket berbahan tipis."

"Jadi, maksudmu, pelakunya memakai pakaian berlapis?"

"Menurutku pemikiranmu itu tak masuk akal." kata Minho yang menyembul dari balik pintu. "Sekarang aku tanya balik, memangnya kau melihat ada pakaian lain di dalam jaket si pelaku?"

"Tidak, tapi aku bisa merasakannya. Mungkin pelakunya tidak mau dicurigai, maka dari itu, dia memakai beberapa baju tebal di dalamnya." Seulgi mengeluarkan opininya.

"Tapi ... Kenapa kau bisa ada di tempat kejadian? Apakah itu sebuah kebetulan, atau ...."

"Detektif In, apa kau sedang mencurigaiku sekarang?" sela Seulgi. Ekspresi wajahnya yang serius tadi, tiba-tiba berubah datar begitu mendengar ucapan Minho.

"Sudah, sudah, tidak ada waktu untuk berdebat." Mingyu menatap Minho. "Kau juga, kenapa tiba-tiba punya pikiran seperti itu? Bisa saja 'kan dia sedang melewati jalan itu dan tidak sengaja melihat kejadiannya. Lagi pula, dia juga korban sekaligus saksi mata."

"Memangnya aku salah kalau curiga padanya? Setiap orang punya pendapatnya masing-masing. Jadi, kau jangan memarahiku seenaknya."

"Aku tidak masalah kalau Detektif In mencurigaiku." Seulgi beranjak berdiri, kemudian menempelkan selembar kertas tadi di papan tulis. "Yah, anggaplah pelakunya itu bertubuh gemuk. Yang terpenting sekarang, kita tahu cara si pelaku membersihkan kejahatannya."

"Mungkin lain waktu kita bisa memotret pelakunya," usul Mingyu.

"Setuju."

Bunyi alarm ponsel membuat Seulgi dan Mingyu celingak-celinguk mencari sumber suara itu. Ternyata suara tersebut berasal dari ponsel Minho. Pria itu segera mematikan alarm di ponselnya.

"Maaf, sepertinya aku harus pergi. Kalian bisa lanjutkan diskusi tanpa aku."

Minho tergesa-gesa keluar ruangan, bahkan ia membanting pintu dengan sangat keras.

"Ada apa dengan dia?" Seulgi yang penasaran lantas bertanya.

"Entahlah. Aku pun heran, setiap kali alarmnya berbunyi, dia langsung pergi."

*****

Di jalanan gang sepi hanya ditemani cahaya lampu tiang jalanan dan pepohonan di pinggirannya. Seorang pria berjaket hitam melangkah mengikuti seorang gadis di depannya. Mendengar suara ketukan sepatu, si gadis sadar ada seseorang di belakangnya selain dirinya. Si gadis mempercepat langkah sambil mengeratkan tali tas selempangnya.

"Siapapun tolong aku!" Si gadis menengok ke sana kemari mencari seseorang. Raut wajahnya ketakutan dengan air mata yang mulai membanjiri pipi.

Pria itu menendang si gadis hingga jatuh tersungkur di permukaan aspal. Perlahan si gadis mundur. Sejenak ia terdiam, lalu berlutut di hadapan pria tersebut, memohon agar membiarkannya hidup.

"Tutup mulutmu!" pekik pria itu. Salah satu tangannya terangkat, hendak menampar wajah si gadis. Pria itu tiba-tiba menjadi pendiam, matanya memandang seseorang di hadapannya.

"Hei, Berandal, apa yang kau lakukan pada gadis ini?" tegas Mingyu. Ia dan Seulgi sedang mencari-cari apartemen kosong di daerah Gangnam. Namun, keduanya tak sengaja mendengar seorang pria membentak gadis muda.

Pria itu sedikit menurunkan topi hitamnya, lalu menarik lengan si gadis dan merangkul pundaknya. "Dia pacarku. Kami sedang bertengkar kecil. Mohon dimaklumi."

"Sebelumnya aku pernah melihat pemandangan seperti ini. Tapi, aku salah mengira. Dua orang yang kukira sepasang kekasih, ternyata hanya seorang pria sedang membunuh seorang gadis." Seulgi kemudian beralih ke arah pria misterius itu. "Apakah kali ini sama?"

"Apa benar dia pacarmu?" tanya Mingyu pada si gadis. "Jangan takut untuk bicara jujur, kami polisi."

Mendengar itu, si gadis langsung mendekat pada Seulgi dan Mingyu tanpa ragu. "Dia bukan pacarku! Sejak tadi, dia terus mengikutiku. Tolong tangkap dia."

"Maaf, tapi aku sarankan kalian jangan mempercayai perkataannya barusan. Dia sedang trauma berat karena akhir-akhir ini seseorang terus memantaunya. Jadi, dia selalu mengira orang di belakangnya akan mengikutinya."

Seulgi dan Mingyu melempar pandang. Mingyu mengangguk, Seulgi menatap sejenak si gadis yang ketakutan dan pria misterius itu. Kalau dilihat dari cara mereka bertengkar tadi, ya, memang seperti sepasang kekasih pada umumnya. Akan tetapi, Seulgi masih belum merasa tenang meski pria itu sudah memberitahu.

Mingyu menarik pergelangan Seulgi menjauhi sepasang kekasih itu. "Sudahlah, mereka hanya bertengkar kecil. Kau tak perlu ikut campur."

Seulgi menghempas kasar tangan Mingyu. "Aku tidak mau hal yang sama terulang lagi. Bagaimana kalau pria itu benar-benar penguntit? Apa kau mau tanggung jawab?"